Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepuluh Hari Ramadhan

5 Maret 2019   14:57 Diperbarui: 5 Maret 2019   14:56 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ma, kemarilah, aku mau bicara!" Mas Farid malahan lebih dulu memanggilku. Hati ini menjadi tak karuan. Mula-mula aku yang ingin menginterogasi dan mencak-mencak. Tapi kali ini, sama seperti di hari-hari lain, selalu aku yang didului. Hmm, dia terlihat amat serius di sofa ruang tamu. Apakah dia akan membicarakan masalah perceraian? Atau, lebih parah dari ibu, tentang rencananya memaduku? Kuremas tangan. Tiba-tiba aku tak berani memikirkan untuk menjadi janda di usia tiga puluh lima tahun.

"Ada apa, Mas?"

O, kenapa kau menjadi lembek begini, Nita? Bukankah kau sudah merancang kata-kata agar lelaki di depanku tak berkutik dan bercerita tentang tingkahnya di luar sana? Bercerita tentang perempuan selain dirimu. Itulah salah terbesarmu, selalu tak sanggup menekan suami seperti dia. Sekali-sekali perempuan harus melawan, Nita! Bangkitlah!

"Sudah lama sekali kita menikah, dan kurasakan lama pula kita menjadi seperti orang asing di rumah ini. Aku sadar alpa kepadamu. Entah dirimu. Telah kucoba untuk menjadi suami yang menarik dan manis. Bahkan aku rela membeli parfum mahal yang sebetulnya amat kuhindari. Lebih merapikan diri yang sesungguhnya kurasakan risih. Ya, ini demi kebaikan kita. Agar rumah tangga kita lebih harmonis seperti dulu. Hangat. Tapi kau seperti tak melihat semua itu. Kau terlalu sibuk dengan urusan rumah dan rumah. Urusan tivi dan segala sengkarut kehidupan." Dia menghela napas panjang. Aku menelaah kata-katanya. Sedikit aku mulai menangkap apa maksudnya. Tapi lebih banyak aku gamang dan hanya mampu meremas kedua tangan.

Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari saku piyamanya.

"Ya, mungkin aku harus berjuang untuk mendapatkan cintamu lagi. Untuk kali kedua setelah pernikahan kita, aku ingin menyematkan cincin berlian ini ke jari tanganmu. Semoga kau sadar bahwa aku masih sangat mencintamu!"


Cincin itu menghiasi jemariku. Aku terpana. Apakah ini benar terjadi atau hanya sandiwara? Yang pasti kurasakan hangat tubuh Mas Farid memelukku. Aku ingin menangis. Terharu. Meskipun di dalam bilik hatiku yang paling dalam masih ada curiga, apakah ini tulus, atau cara bersolek Mas Farid yang mencoba mengelabuiku? Entahlah!

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun