Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Jangan Sebut Saya Pikun

7 Februari 2019   14:01 Diperbarui: 8 Februari 2019   20:57 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Sayang, ujung-ujungnya dia berterus terang sudah memiliki kekasih. Bahkan yang paling menyakitkan, dia tak sengaja mengatakan tentang tujuannya ke restoran. Sebenarnya dirinya adalah suruhan Sasongko, anak sulung saya. Dia disuruh mengawasi saya. Syukur-syukur bisa meluluhkan hati saya, demi menerimanya sebagai grandfather sitter (bukan babysitter) saya.

Akhirnya, rasa cinta yang terpendam ini menjadi emosi menggelegak. Saya tak jadi menikmati makanan dan minuman itu. Saya pergi setelah membayar seluruhnya. Saya katakan kepadanya bahwa si tua ini bukanlah pikun. Saya tetap gagah meskipun berusia lanjut. Ingatan saya masih terang, bahkan lebih terang dari ingatannya.

Dia berusaha meminta maaf berkali-kali. Saya tak perduli. Saya bergegas pergi meninggalkan restoran, lalu menyetop taksi. Saat itulah saya melihatnya berdiri di luar sana dengan wajah tertunduk. Saya tahu dia menangis. Taksi saya suruh berhenti, dan si perempuan saya serahi uang duaratus ribu. Saya ucapkan terima kasih atas waktunya menemani saya.

Taksi pun lekas meninggalkan semuanya. Tapi membekaskan kekesalan di hati ini. Juga setumpuk kejanggalan. Saya merasa asing. Saya merasa telah kehilangan sesuatu. Mungkinkah karena meninggalkan perempuan itu. Atau...

Pikiran saya terus berkecamuk hingga  di rumah. Kebetulan Sasongko bertamu. Dia mengernyit heran. Sontoloyo itu pasti kecewa karena Lolita, suruhannya, tak berhasil menjadi lollipop yang sanggup mendiamkan saya.

Setelah membuka sepatu dan kaos kaki, segera saya duduk di sofa seraya memesan segelas jeruk hangat kepada pembantu. Kehadiran Sasongko tak saya perdulikan. Saya menganggapnya tak ada.

"Pak, Bapak telah...." Dia menggantung ucapannya karena saya langsung menyela.

"Ya, saya telah meninggalkan perempuan suruhanmu, bahkan membuatnya menangis. Kau tak senang? Apakah kau lebih setuju membiarkan bapakmu ini bersedih, ketimbang membuat perempuanmu itu menangis? Sudah saya bilang berkali-kali, jangan membuat saya seperti si pikun yang renta. Umur memang tua, namun semangat juang tetap membara. Saya masih bisa mengalahkanmu bermain bulutangkis dua set langsung," tembak saya membuat matanya seperti terjengkang. Dia tak sanggup menjawab karena memang kurang bisa berolahraga.

Sesudah pembantu menghidangkan segelas jeruk hangat, Sasongko kembali berbicara. Kali ini lebih lembut. Katanya, "Maksud saya, Bapak telah meninggalkan mobil di suatu tempat. Bukankah tadi Bapak pergi dengan menyetir mobil sendiri."

Oalah! Saya baru tersadar, Kekalahan telak karena saya tak sadar meninggalkan mobil di parkiran restoran. Terus terang, hal ini sangat kuat menohok ulu hati saya. Saya tak lagi sanggup berbicara. Lupa membawa sesuatu yang besar seperti mobil, kembali ke garasi rumah, merupakan bukti yang akurat betapa saya sudah pikun.

Bahkan besok-besoknya, kepikunan berlanjut terus. Dari kelupaan meletakkan kacamata di mana. Lupa mandi. Lupa gosok gigi sebelum tidur. Bahkan sampai tak ingat bersepatu ketika berkunjung ke perusahaan ekspedisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun