Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Jangan Sebut Saya Pikun

7 Februari 2019   14:01 Diperbarui: 8 Februari 2019   20:57 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Tapi pilihan kedua itu dilarang, karena restoran bebas asap rokok. Terpaksalah saya mengunyah permen karet sambil menunggu roti bakar dihidangkan beserta secangkir cappuccino, dan itu tadi, seloki vodka.

Hmm, anak-cucu saya memang brengsek. Mereka selalu mengatur segala kehidupan saya. Padahal dari dulu hingga sekarang, sayalah yang memberikan mereka "hidup". 

Mengapa sekarang mereka ceriwis dengan kata-kata memualkan; Bapak, jangan jalan-jalan terlalu jauh bila tak ditemani seseorang. Kalau ada apa-apa, coba siapa yang mau membantu. Bapak jangan lupa bawa inhaler. Nanti bengek Bapak kambuh. Bapak jangan merokok. Bapak jangan makan es krim. Jangan mengunyah permen karet. Jangan.... Setan!

Seorang perempuan berumur sekitar tiga puluhan tahun, akhirnya meluruhkan kekesalan saya. Dia berwajah cantik. Pipinya montok dengan dada sedikit membusung. Perempuan yang menjadi idola saya sejak dulu.

Tapi apa yang bisa diharapkan pada lelaki tua seperti saya? Perempuan itu pasti tak tahu ketampanan saya sekian puluh tahun lewat. Dia hanya bisa melihat saya sekarang. Seorang lelaki yang wajib dibantu. Dikasihani.

Setelah menghabiskan seloki vodka, saya menambahkan dua loki lagi, yang membuat perempuan itu mengakhiri sikap berdirinya dan mendekati meja di seberang saya. Begitu mata kami bersitatap, dia langsung tersenyum.

Dia memberi isyarat, dengan jari telunjuk, seolah menanyakan apakah kursi di samping saya ada pemiliknya. Buru-buru saya menjawab dengan kode gelengan kepala.

"Sendirian, Pak?" tanyanya lembut. Dia memesan sepiring spaghetti dan segelas lemon hangat.

"Ya, kamu?" balas saya. Dia menjawab bahwa dia sendirian juga.

Obrolan pun panjang, sampai menyinggung masalah bisnis saya. Mengenai umur, saya selalu menghindari membicarakannya. Saya hanya mengatakan sekilas, tentang hidup saya yang membujang setelah ditinggalkan mendiang istri saya.

Naluri kelelakian saya muncul. Saya berharap banyak kepada perempuan itu, yang belakangan saya tahu bernama Lolita. Saya berharap dia belum mempunyai kekasih, apalagi seorang suami. Saya ingin menikahinya. Toh saya masih sanggup menghidupinya lahir maupun batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun