Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kereta Malam

6 Februari 2019   15:38 Diperbarui: 6 Februari 2019   20:43 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay

Seseorang menjawab dari seberang dengan suara lembut, "Hallo Saraswati. Kau masih ingat menelepon kami? Tuhan, tiga tahun sudah kami menunggu dering telepon darimu." Suara Sam terdengar parau. 

"Ya, maaf, aku mengganggumu dini hari begini. Kalian baik-baik saja, kan?"
"Ya, kami sehat-sehat saja. Imah sekarang bertambah kurus."
Aku mendesah. "Bagaimana dengan istri... eh... maaf. Maksudku penggantiku. Apakah sudah..."

Sam cepat menyela. "Kami tetap mengharapkanmu Saraswati. Tidak seorang pun perempuan yang berhak menjadi Ibu Kartini di rumah kita. Hanya kau seorang!" Dia terdiam agak lama.

"Pulsa mahal, Sam!" Aku menggoda. Dia tergelak ragu-ragu.

"Saraswati, aku minta maaf atas semuanya. Aku terlalu egois. Jujur kukatakan, bahwa kepiawaianmu menjadi sekretaris telah menyulut kecemburuanku. Tapi itu dulu. Sekarang kami sangat menginginkanmu lagi. Tidak perduli apakah kau telah menjadi seorang direktur sekalipun. Tidak perduli apakah kau sesibuk apapun. Tapi kau adalah pilihan kami. Ibu kami."

"Aku bersedia, Sam. Aku akan kembali. Kita memang harus sama-sama mengerti hak dan kewajiban masing-masing."

Mendadak kudengar suara nyaring Imah. Dia memanggilku; Ibu. Tuhan, aku ingin cepat-cepat pulang. Aku ingin kembali ke pangkuan orang-orang yang mencintai dan menyayangiku. Ah, Kartini memang tidak pernah mengharapkan kaumnya melupakan kodratnya sebagai ibu keluarga, di samping tugasnya menjadi ibu kehidupan. 

Lama kudengar tawa Imah yang nyaring, sampai tanpa sadar matahari telah menyembul dari timur. Dan kopiku pun sudah dingin. Dan sepinggan mie rebus pun sudah mengembang. Seorang penjemputku sekonyong melambai di ujung peron. Aku tersenyum lega. Kubayar makanan dan minumanku, lalu bergegas menyongsong hari.
---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun