Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sibaso

3 Februari 2019   09:13 Diperbarui: 3 Februari 2019   09:38 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : shutterstock.com

Penonton menjeritkan, "Sibaso keluar! Sibaso keluar!"

Lelaki itu muncul dari belakang panggung, mengenakan topi ala turki dengan rumbai seperti ekor kuda, dan baju corak kotak-kotak berwarna hitam, merah dan putih, dipadukan celana berwarna hitam. 

Dia memegang ulos yang sesekali dihempaskan ke lantai panggung. Seperti kerasukan jin, dia melompat-lompat. Menari dengan mata jelalatan seiring irama gordang sambilan1).  

Dia bernama Murad. Lelaki yang setiap ada tanggapan gordang sambilan, selalu langganan menjadi Sibaso. Sibaso adalah sosok yang muncul memeriahkan acara gordang sambilan, sekaligus menyemangati penabuhnya. 

Dia ibarat mediator yang mengantarkan ruh nenek moyang kepada penabuh-penabuh itu, sehingga mereka seakan tiada lelah menghantam-hantamkan pemukul  ke gordang.

Tapi sungguh, Murad telah bosan menjadi Sibaso. Tidak pernah sekalipun dia merasakan kerasukan jin. Dia hanya berpura-pura. Kaya pun tidak dibuatnya. Karena sehari-hari, dia hanya upahan penyadap karet, diselang-seling menjadi Sibaso, toh tidak bisa membuatnya makmur. Jangankan berpisah rumah dengan ibunya, melamar Makmunah saja dia tidak sanggup.


Sesekali matanya nanar menatap Kurnen, lelaki berperut buncit, berkumis melintang, yang duduk paling dekat dengan panggung. Kurnen tersenyum sambil merengkuh Siti yang baru kemarin dia nikahi. Kurnen terkenal sejagat kampung. Dia seorang kepala centeng beberapa tempat hiburan terkenal di Jakarta. 

Rumahnya dua, sesuai dengan istrinya yang sudah dua. Sebentar lagi rumahnya tiga, seiring diboyongnya Siti ke Jakarta. Kabarnya mobil Kurnen ada lima. Saat pesta perayaan pernikahannya ini, orang kampung tidak hanya dihadiahi gordang sambilan,  juga organ tunggal yang ditanggap tadi malam. Belum lagi gulai tiga ekor kambing, menjadi pemuas perut warga kampung.

"Dia memang memiliki kesaktian, Murad!" Ruhul memijit-mijit kaki Murad di gubuk pinggir kampung, usai menjadi Sibaso hampir dua jam. Luluh-lantak rasanya seluruh tulang Murad. 

Beruntung Kurnen lebih banyak mengupahnya melebihi upah yang biasa diberikan para penanggap gordang sambilan lainnya. Tiba-tiba pula dia berniat merantau ke Jakarta. Menjadi centeng terkenal dan kaya raya seperti Kurnen.

"Apakah kalau menjadi kepala centeng harus memiliki kesaktian? Aku kan Sibaso yang dipuja orang kampung?" Murad meringis.

"Ah, kau ini! Sibaso bukanlah kesaktian. Kalau mau jadi kepala centeng, harus sakti. Kalau tidak sakti, digebuki orang, modarlah." Ruhul tertawa. Tapi cepat terdiam ketika melihat mata temannya itu melotot. Dia pikir akan kerasukan jin pula si Murad ini. Buru-buru dia membuka, rahasia, "Tapi aku tahu simpanan Kurnen."

"Istri simpanan? Siapa pun tahu!"

"Bukan istri simpanan. Kurnen itu memiliki kalung babi. Siapa saja yang memiliki kalung babi, konon akan kebal senjata tajam. Kalung babi jika direndam dalam air dan diminumkan ke orang penyakitan, mudah-mudahan sakitnya bisa sembuh."

Murad terdiam. Perkara kalung babi itu memang sudah menjadi kabar turun-temurun di kampungnya. Di antara sekumpulan babi, pasti ada yang menjadi raja. Besar raja babi itu hampir seukuran anak kerbau. 

Tidak semua raja babi memiliki kalung yang terbuat dari jalinan seperti akar-akaran. Hanya seekor-dua. Biasanya kalau sedang ingin berkubang, raja babi itu akan menyangkutkan kalungnya di semak. Saat itulah ada kesempatan untuk mencurinya. 

Tapi kabar turun-temurun itu hanya isapan jempol. Sampai sekarang tidak ada seorang pun yang pernah melihat babi memakai kalung akar-akaran. Apalagi untuk memilikinya.

"Apa benar ada kalung babi itu?" Murad menggerak-gerakkan badannya. Dia merasa agak segar sekarang.

"Orang yang memiliki kalung babi itu tidak mau gembar-gembor. Kalau gembar-gembor, bisa saja kesaktiannya diuji oleh musuh. Atau bisa-bisa kalung babi itu dicuri. Aku masih ada kekerabatan dengan Kurnen. Jadi, yakinlah pada ceritaku."

Murad tidak ambil pusing cerita Ruhul. Hanya saja semakin dilupakan, cerita kalung babi itu seolah menyerang seluruh sel otaknya. Tidur membuatnya tidak nyenyak. Tambah tidak nyenyak saat melepas Kurnen kembali ke Jakarta. Setiap orang tua-tua disalamkannya uang. Khusus untuk Murad, Kurnen memberikan satu slof rokok putih merk luar negeri.

Saat keinginannya berkalung babi seolah badik yang menusuk hati, Murad menemui Jalimbat. Lelaki tua bertubuh liat itu, bertelanjang dada di depan rumahnya. Dia sedang membersihkan senapan jojal2). Dia seolah tidak peduli kedatangan Murad. 

"Pak Jalimbat," sapa Murad lembut. Sudah tiga bulan mereka tidak bertegur sapa. Mereka berdua sama-sama jatuh cinta kepada Makmunah. Berhubung Murad lebih muda dan lebih tampan dari Jalimbat, tentu saja dengan status duda yang disandang Jalimbat, jelas saja dengan mudah dia disalip Murad."Pak!" Murad lebih memperkeras suaranya, karena lelaki itu seperti tuli.

"Apa? Mau mempersoalkan Makmunah? Ambillah perempuan itu! Lamarlah kalau kau mampu!" 

Murad berjongkok di depan Jalimbat. Senyum bukanlah pelet terbaik merayu lelaki yang keras kepala itu. Perlahan Murad mengeluarkan sebungkus rokok pemberian Kurnen dari balik bajunya. 

Rokok adalah pelet mutakhir dan termanjur. Apalagi dengan merk luar negeri begitu. Mata Jalimbat membola. Seperti ular menangkap mangsa, dia cepat mengambil rokok yang diangsurkan Murad.

"Apa tujuanmu ke mari?" Asap rokok kemudian mengepul. Rongga dada lelaki tua itu seolah dipenuhi asap luar negeri yang lebih halus dan modern.

"Aku ingin ikut berburu babi dengan Bapak." Singkat jawaban Murad. Rokok di mulut lelaki itu terpelanting. Dia sangat terkejut mendengar niat Murad.

"Kau kan muslim!"

"Lho, apa masalahnya, Pak Jalimbat?"

"Aku kristiani. Jadi tidak masalah bagiku memburu babi dan memegangnya."

Murad tertawa pelan. "Bagiku juga tidak masalah, Pak. Aku hanya ikut Bapak berburu. Bapak yang menembak babi, aku hanya melihat. Memegang pun tidak. Aku hanya...."

"Hanya apa?"

"Ingin memiliki kalung babi!"

Jalimbat tertawa. Anak ingusan seperti Murad masih termakan kebohongan turun-temurun. Separuh hidup Jalimbat adalah berburu babi. Dia sudah pernah melihat babi berbagai bentuk. 

Dia tidak hanya bertemu sekumpulan kecil babi, tapi sekumpulan besar dengan beberapa babi besar sebagai penguasa. Akan hal kalung babi, ah..bermimpi saja dia tidak pernah.

"Itu berita bohong!"

"Bohong kalau untuk ini?" Murad mengeluarkan dua bungkus rokok dari balik bajunya. "Di rumah masih ada beberapa bungkus. Dan bila kita berhasil mendapatkan kalung babi, kelak kutambahi dengan upah uang."

"Tapi aku tidak akan ikut bermimpi kalung babi sepertimu."

"Jadi!" Murad menyalami tangan Jalimbat erat-erat.

* * *

Telah lima tahun Murad bergaul dengan hutan. Tapi dia baru merasakan kerasnya hutan sekarang ini. Sebelumnya dia hanya berada di hutan pinggir kampung, menyadap karet. Berdua Jalimbat, sekarang dia mendaki beberapa tanjakan bukit tajam dan licin. Berkali-kali dia harus mengaso. Berkali pula dia terpeleset. Sambil tersenyum Jalimbat mengejek halus, "Mana kekuatan Sibasomu?"

Betis dan tangan Murad mulai lecet-lecet tersabet pucuk ilalang dan ujung semak berduri. Nyamuk pun bukan main banyak dan besar-besar. Sebenarnya dia ingin membatalkan rencananya ikut berburu babi dengan Jalimbat. Tapi mimpi kalung babi dan menjadi kepala centeng di kota besar, membuatnya tidak mudah menyerah.

Beberapa kelompok babi kemudian mereka jumpai. Tapi babi-babi itu kemudian menghambur. Murad bukanlah pemburu yang ahli. Dia terlalu ribut menerabas semak-semak agar bisa lebih dekat melihat mana babi yang memakai kalung. 

Wajah Jalimbat terlihat muram. Hampir setengah hari mengarungi hutan, menghabiskan peluh bercangkir, meludeskan isi rantang makanan dan lima botol minum, tidak seekor babi pun bisa didapat. Membuang mesiu senapan jojal, memang hampir sepuluh kali. Yang tersasar hanya semak-semak atau batang pohon.

 Beruntung nasib masih berpihak kepada mereka. Seekor anak babi hutan berhasil ditembak. Tapi kata Jalimbat, babi itu hanya cukup untuk jatah Blakki dan kawan-kawannya. Anjing-anjing pemburu itu tentu telah lapar dan ingin makan besar malam nanti.

* * *

Makin panaslah hati Murad. Tidak lebih tiga hari setelah mendapat satu slof rokok merk luar negeri, semuanya telah ludes di mulut dan paru-paru Jalimbat. Puas pula dia memendam kesal pada beragam bekas luka di betis, tangan dan sebagian wajahnya. Tidak lebih panas lagi, telinganya sampai penuh oleh dengus dan ocehan Jalimbat. 

Murad bukan orang yang beruntung. Malah rejeki Jalimbat buntung. Jangankan melihat babi yang memakai kalung, setiap kali berburu, hanya satu-dua ekor anak babi yang didapat. Tuntas pula persekutuan Jalimbat dengan Murad. "Kau kudepak, sebab hanya membuat celaka!" Itu kata-kata terakhir Jalimbat.

Saat hati panas, akhirnya Murad menemui Makmunah. Perempuan itu sedang berias di depan cermin. Sebenarnya siang begini, sangat pantangan bagi mereka berdua berbincang-bincang. Bisa mengamuk keluarga besar Makmunah. Murad belum pasti akan melamar Makmunah.

 Tapi dengan pertemuan dua insan beda kelamin itu, dengan langsung bertatap mata, saling merengkuh genggam, tentulah menjadi aib yang sangat besar. Mereka hanya boleh markusip3) pada saat malam-malam yang sangat jarang. Karena tidak cukup nyali bagi Murad bermusuh dengan nyamuk di kolong rumah.

Hati panaslah yang membuat Murad nekad. Dia ingin melamar Makmunah dalam dua pekan ke depan. Telah terkumpul uang sekadar pembeli seperangkat alat sholat. Mengenai uang permintaan keluar Makmunah, juga cincin nikah, bukanlah hal yang penting bagi Murad. Hanya saja belum tentu tidak penting bagi keluarga besar Makmunah.

"Assalamu'alaikum, Makmunah." Murad memanggil kekasih belahan jiwanya dari bawah jendela. Perempuan yang sedang berias di depan cermin itu menoleh. Sesaat matanya berbinar. Sekejap kemudian seperti ketakutan. "Aku tunggu kau di teras," lanjut Murad.

Meski nyalinya ciut, Murad duduk juga di bangku teras rumah. Suara berisik anak-anak di kolong rumah, membuat nyali lelaki itu semakin ciut. Tidak pelak lagi, mereka akan mengadu ke Pak Tuan, ayah Makmunah. Biasanya sekarang ayah Makmunah sedang di tempat penggilingan padi bersama istrinya. 

Mudah-mudahan rumah Makmunah sedang sepi. Kalaupun naas, dia bisa dihakimi keluarga besar Makmunah, bila mereka tertangkap basah tengah beradu mesra. Anak-anak di kolong rumah itulah yang kelak menjadi bala bencana. Tapi sebelum Murad memanggil mereka, anak-anak  itu telah menghambur dan melesat pergi.

"Ada apa Abang ke mari? Bukankah belum kuat niat Abang melamarku?" Makmunah mengintip dari sela pintu. "Sampai Ayah dan Emak tahu, Abang bisa kualat. Bisa dimaki-maki. Lebih parah lagi diadukan ke tetua kampung."

Murad heran. Di antara kampung di seluruh kecamatan, kampung merekalah yang paling udik pemahamannya. Di kampung lain, bila saling suka, sepasang kekasih bisa saling sua sesuka mereka. Di kampung ini hanya boleh dengan markusip. 

Kecuali tadi, kalau ada niatan si lelaki ingin melamar si perempuan, barulah sepasang kekasih boleh bertemu saling tatap dan sesekali saling sentuh antar jemari. Itu pun harus ditemani kedua orang tua si perempuan.

"Abang akan melamarmu dua pekan ke depan."

"Dengan apa?"

"Seperangkat alat sholat."

"Apa Ayah dan Emak mau?"

"Ya, kau bujuklah!"

Makmunah mengeluarkan setengah badannya dari balik pintu. Tangannya sibuk menarik ujung kebaya. Tampak sangat cantik dia. Murad tidak bisa berpaling dari kekasih hatinya itu.

"Tapi sepertinya Ayah dan Emak lebih kuat melepasku ke Jakarta."

Hati Murad mendidih. Dia pikir akan ada yang melamar Makmunah, lelaki dari Jakarta. Sudah menjadi tabiat para orang tua, bila mendengar ada lelaki dari Jakarta akan melamar putri mereka, maka si putri seperti dihamburkan saja kepada si lelaki karena sukanya. 

Berbeda bila kemudian yang asalnya dari Medan, pastilah mulai berpikir-pikir. Lebih parah lagi yang datang dari kampung, apalagi seukuran Murad, tidak perlu lagi berpikir, malah mengusirnya sebagai bukti penolakan.

"Akan ada yang melamarmu?"

"Hmm!" Bersemu merah pipi Makmunah.

"Kurnen-kah?"

Makmunah mengangguk. Panas pantat Murad duduk di bangku teras. Daripada bercakap dengan perempuan itu dan akhirnya berujung perbantahan, lebih baik dia pergi. Juga untuk menghindari amukan keluarga besar Makmunah yang sebentar lagi akan mengepungnya. 

Tidak perduli lagi dia panggilan Makmunah. Dia memilih lari sekencang-kencangnya, demi menghindari bencana dan menyembuhkan rasa sakit hati yang mulai luka dan menganga.

* * *

Setengah tahun hidup dirundung luka, tibalah hari ini luka disiram cuka. Makmunah dilamar Kurnen. Kurnen menanggap gordang sambilan sekaligus Sibaso. Murad sudah enggan menjadi Sibaso. Mendengar Makmunah akan menikah saja, hatinya sudah sakit alang-kepalang. 

Apalagi harus menonton kemesraan mereka berdua. Bisa-bisa kekuatan Sibaso tidak diperoleh Murad. Bisa-bisa dia ambruk di panggung, dan pesta pernikahan Kurnen-Makmunah bakalan heboh.

Murad pura-pura sakit. Tanpa kehadiran Sibaso Murad, para penabuh gordang sambilan seperti kehilangan nyali. Mereka telah tersugesti bahwa Murad memang telah menjadi mediator roh yang memberikan mereka semangat pantang lelah. 

Kurnen akhirnya menemui Murad, setelah mendengar kasak-kusuk penabuh gordang sembilan tentang ketidakakanhadiran seorang Sibaso. 

"Kenapa kau, Murad? Sakit?"

Kendati dia sakit hati kepada Kurnen, tapi manakala seorang terpandang singgah di rumah seorang ternista, pupus sudah rasa sakit hati itu. Murad langsung duduk di pinggir dipan. Dia sehat-sehatkan hatinya, karena hatinyalah yang sebenarnya sakit. Apabila teringat kalung babi, semakin sehatlah hatinya.

"Bisa kan menjadi Sibaso sebentar siang?" Kurnen tersenyum ramah. 

"Bisa, Bang. Aku sudah sehat."

Mereka sebentar berbincang di kamar, dengan ditemani dua cangkir kopi dan sepiring ubi goreng yang dihidangkan ibu Murad dengan sangat terburu. Saat itulah Murad menanyakan pasal kalung babi, hingga membuat Kurnen tertawa terbahak-bahak. Perutnya sampai terguncang hebat.

"Siapa bilang aku punya kalung babi. Ah, bohong saja itu." Dia terdiam sejenak. "Sebenarnya aku yang sengaja menyebarkan berita itu di sini, biar aku kelihatan sebagai kepala centeng tempat hiburan terkenal di Jakarta. 

Sebenarnya aku hanyalah...." Dia terdiam. "Aku tidak memiliki ilmu kebal apapun. Aku hanya seorang pencari perempuan. Seorang kaki tangan mucikari."

"Jadi, Makmunah, Siti?" Murad tiba-tiba geram sekali. Dia menjadi berani untuk menggumul dan menghunus pisau ke perut Kurnen. 

"Oh, mereka benar-benar akan kuperisti. Yakinlah!" Kurnen seperti merasa bersalah telah mengungkapkan kehidupannya yang curang. Akan hal Murad, tetap menjadi Sibaso yang hebat hari ini, menghibur penonton dari kini sampai nanti. 

Dia sebenarnya ingin membunuh Kurnen atas perbuatannya. Tapi dia memilih menjadi penyadap karet dan Sibaso ketimbang menghuni sel penjara karena perbuatannya. Tadi sebelum naik ke panggung, dia telah mengutus Gimin ke kantor polisi kecamatan. 

Malaporkan bahwa ada bandit besar yang sedang menggerayangi kampung mereka. Bandit besar yang mungkin telah menggerayangi kampung-kampung lain. Akan hal kalung babi, Murad telah melupakannya, seperti Kurnen melupakan bahwa dia telah membodohi orang banyak.

---sekian---

Catatan kaki :

1) Gendang besar yang terdiri dari sembilan gendang, dan merupakan alat musik tradisional dari Sumatera Utara, lebih tepatnya Mandailing Natal (Tapanuli Selatan).

2) Senapan yang kadang panjangnya hampir satu setengah meter. Dengan selongsong yang semakin besar ke ujung, seperti bentuk bunga kamboja. Pelurunya adalah campuran mesiu dengan bahan lain, yang dijejalkan dari mulut selongsong dengan semacam alat. Biasanya alat penjejal mesiu dan lainnya itu terbuat dari besi.

3) Tradisi berpacaran ala kampung di mandailing. Biasanya berpacaran dilakukan muda-mudi dari balik dinding papan atau lantai rumah yang memiliki kolong. Si lelaki dengan menyuarakan suara-suara binatang tertentu, menandakan dia datang berkunjung. Bersenjatakan lidi yang dijolokkan si lelaki ke lobang dinding papan atau lantai rumah yang memiliki kolong, dimulailah ritual berpacaran itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun