Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pucuk Gigil

30 Januari 2019   14:56 Diperbarui: 30 Januari 2019   15:20 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Setelah menopause mengerkah laju umur ini tiga tahunan, berbilang kali aku tersedak oleh gelagat tak baik Paolo. Suamiku itu menjadi sangat dingin. Tak ada cumbu-rayu menjelang tidur malam, karena dia pulang selalu larut. Begitu dia rebah di kasur usai mencuci wajah di wastafel, aku pun mencoba menyela kantuknya. Aku selalu bertanya dari mana saja dia.. Jawaban darinya pastilah kuapan panjang dan kibasan tangan. Lalu dia memunggungiku, seolah diri ini hanya patung batu.

Entahlah! Apakah dia benar-benar kehilangan selera cintanya setelah aku menopause? Aku memang tak lagi bisa memberinya anak, tapi syahwatku masih bercabik-cabik. Aku juga tetap memiliki cinta yang harus dipupuk.

Menurut Hairani, teman sesama arisan, kondisi usai menopause, membuat seorang perempuan menjadi sensitif. Terutama berkaitan dengan suami dan perselingkuhan. Dibandingkan dengan pensiunan, nasib perempuan menopause setali tiga uang. 

Pensiun, adalah suatu masa pahit ketika seseorang sengaja dihilangkan kesempatannya untuk bekerja. Artinya, tak lagi bisa mendapatkan gaji bulanan tetap berikut tunjangan-tunjangannya. 

Menopause, adalah suatu masa pahit ketika perempuan telah kehilangan kesuburannya. Sumur rahimnya kerontang. Bahkan bagi sebagian, syahwatnya nyaris padam. Tersisa hanya sekelimut cinta yang terkadang bagi si menopause terasa ganjil.

"Tak usahlah terlalu menyelidik, Fatmah!" Begitu jawaban Paolo ketika kucecar dia tentang kadar kesetiannya kepadaku setelah hampir duapuluh tiga tahun menikah. Saat itu kami menikmati senja di teras rumah dengan jingga mentari rebah menyapu halaman yang menghijau.


"Tapi aku berhak tahu atas perubahanmu yang sangat drastis, Mas! Dulu kau selalu pulang tepat waktu; jam lima sore. Kalau pun melembur, paling lambat sampai di rumah selepas maghrib. Dan kau masih menyempatkan berbincang denganku di meja makan, sebelum akhirnya kita menuntaskan cerita di peraduan. Apakah karena aku sekarang sudah menopause?"

Paolo mendelik. Dia menghentikan kesibukannya membaca koran sore. Segera dia menongolkan wajahnya dari balik lembaran memualkanku itu, kemudian melipatjejalkannya ke bawah meja.

"Jangan menuduhku berselingkuh di luar sana, Fatmah!"

"Siapa yang menuduhmu berselingkuh, Mas?"

"Ucapanmu barusan  bercabang, Fatmah! Aku tahu arah pembicaraanmu." Dia mendesah. Diseruputnya kopi panas di cangkir. Lanjutnya, "dulu aku memang bisa menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Sekarang sulit. Kau tahu aku telah menjabat manajer pemasaran. Pekerjaanku banyak. Bertumpuk-tumpuk. Kalau tak kukelarkan sampai malam, kapan tugas-tugas itu terselesaikan? Fatmah, mengertilah pada posisiku kini!"

Ya, aku mencoba mengerti. Tapi tetap saja dada ini sesak. Apalagi Hairani selalu menambahkan bumbu penyedap, bahwa suami yang memiliki istri menopause kerap kali beradu dengan munculnya puber kedua. Itu artinya, suami tak hanya mencari perempuan penjaja di luar sana demi menuntaskan syahwatnya, tapi cenderung mengatasnamakan cinta. Maka, bukan tak mungkin wajah suami berubah serupa kanak-kanak yang menginginkan gulali sambil mendekati istrinya untuk sebuah lembaran. Lembaran yang harus ditandatangi istri, berupa ijin mempersilahkan si suami menikah lagi dengan perempuan muda dan mengkal. Setan alas!

Seumur-umur aku tak mau dimadu. Dimadu selalu menyengsarakan. Meski kutahu merelakan suami menikah lagi, adalah pengaman agar dia jangan gelinjingan memacari perempuan yang bermacam, lalu membawa penyakit ke rumah.

Tapi siapa yang mau berbagi cinta? Siapa yang tulus ikhlas membiarkan suaminya rebah di pelukan perempuan lain, sementara dirinya tak bisa memberikan kehisteriaan karena si keparat menopause? Kenapa pula lelaki tak memiliki nasib yang sama? Misalnya, mengalami juga menopause, menstruasi, hamil dan melahirkan. Ach, lelaki memang mendapat yang lebih baik dari perempuan!

Tapi bukan tingkah Paolo saja yang membuatku sakit hati. Meilani, putri semata wayangku, pun serupa. Dia tak lagi senang duduk-duduk bersamaku menjamu senja yang hadir di teras. Atau menonton acara gosip tentang selebritis anu di televisi. Atau mendengar ceritanya tentang suasana di kampus. Tentang dosen killer. Tentang pelajaran-pelajaran njelimet. Tentang menstruasinya yang tak teratur. Keputihan. Cara berdandan. Bagaimana bersikap manis di hadapan lelaki yang ditaksir. Bla...bla...bla.... Oh, Tuhan. Beginikah kejadian yang selalu dihadapi perempuan menopause?

"Bu Fatmah, kondisi demikian memang rata-rata dialami oleh perempuan menopause. Kita akan merasa sangat tersisih dan sengaja disisihkan oleh suami maupun anak-anak. Kita merasa asing di tengah keluarga. Padahal itu hanya perasaan saja. Suami dan anak-anak tetap bersikap baik. Tak ada yang berubah. Hanya perempuan menopause yang membuatnya berbeda," jelas psikolog langgananku ketika aku bertamu kepadanya dengan segudang masalah.

"Tapi, adakah obat untuk menyembuhan perasaan seperti itu?"

"Tak ada obat yang bisa menyembuhkan perasaan seperti itu, Bu Fatmah. Semua terletak pada keinginan ibu, mau menerima kondisi apa adanya atau malahan sebaliknya, berusaha memberontak. Bu, perasaan asing itu hanya ibu yang menciptakannya. Dan ibu juga yang sanggup membunuhnya. Paham, Bu?" Aku mengangguk. Namun aku tak tahu apakah anggukanku ungkapan kepahaman atau hanya sekedar kelinglungan semata. Entahah!

* * *

Penghujung Desember yang gigil. Hujan tetap merapat di luar sana, meski orang-orang berharap dia reda, sehingga bisa berpesta di jalanan dan lapangan kota bersama kembang api. Bersama terompet hingar-bingar.

Kuseruput teh hangat membuang gulana. Sebuah novel yang kubaca sambil lalu, kuberi tanda dengan kertas sela bergambar snoppy di titik terakhir aku membacanya. Lalu dia kuletakkan di rak.

Aku ingin menelepon Paolo di kantornya. Aku ingin menyuruhnya buru-buru membeli sekeranjang jagung yang akan dibakar di malam pergantian tahun. Mungkin juga memintanya membelikan tiga buah terompet, agar kami bertiga bisa meniupnya kuat-kuat menanti hari baru yang semoga lebih terang dari tahun sebelumnya.

Namun semua itu harus dilesap dalam bilik kesabaran. Ingatlah, beberapa kali pergantian tahun acara-acara menggairahkan itu tak menjambangi rumahku. Paolo tetap asyik dengan kantornya. Meilani sibuk di luaran sana, bersama cerita-cerita kampus, atau lelaki-lelaki yang berniat menaksirnya. Begitu dinginnya. Sangat gigilnya, sehingga kurasakan berada di pucuk gigil sebuah gunung es yang meranakan jiwa.

"Aku mungkin pulang besok pagi," kata Paolo di telepon. Hanya itu. Lalu horn telepon berdetak.

"Banyak acara di kampus, Ma. Pulang dini hari, ya!" Meilani menyambung dengan suara cemprengnya dari tempat antah-berantah.

Aku merasa dirajam oleh cambuk-cambuk dari kawat berduri. Tak hanya jasmani yang terkoyak-cabik, nurani juga tertusuk-badik. Orang-orang yang dekat denganku itu, semakin jauh. Aku telah kehilangan segalanya. Kehilangan cerita-cerita indah. Ya, ya. Semua telah melupakan seorang renta yang menjagal hari-hari dengan detak jam tak bersahabat.

"Belum tidur, Bu?" Pinem, pembantuku, muncul di ambang pintu kamar. Dia tersenyum. Dia membawa senampan roti bakar, juga segelas susu yang masih mengebul. Segelas lagi aku tak tahu isinya, sedikit buram. Mungkin jatah Pinem sendiri.

"Belum! Masuklah!" Senyumku lebar. Tapi kutahu Pinem melihatnya tawar.

"Bebarapa hari ini ibu kelihatan gundah. Kenapa, Bu?" Dia meletakkan seluruh penganan dan minuman di atas meja rias.

"Bukan beberapa hari, Nem. Tapi beberapa tahun! Ah, aku menjadi tersisih dari keluargku. Orang-orang dekatku itu menjadi sangat asing."

Pinem tersenyum. "Itu hanya perasan ibu saja. Saya sekian tahun lalu, mengalami kondisi sama seperti ibu. Tapi saya berusaha meredam tersebab semuanya hanya kecurigaan palsu yang menggelayuti benak ini. Buktinya, hingga sekarang semua aman-aman saja. Tak ada yang selingkuh. Tak pula anak melawan kepada bundanya."

Aku menepiskan tangan. Rasa penat ini hanya tertebus sambil memejamkan mata menunggu lelap itu menjerat.

* * *

Hujan bertambah rapat. Kaca jendela yang memisahkanku dari dunia luar tak juga bisa memilah rasa gigil dari kehangatan rumah yang kuanggap tak bersahabat. Detak jam sudut dengan pendulum yang melenggang-lenggok dari kanan ke kiri, hanya menambah sunyi. Kembali lagi bersemedi menunggu pergantian tahun. Pinem telah terlelap dengan mimpinya, mungkin bertemu Parjo pembantu tetangga sebelah yang menduda.

Paolo tak memberi kabar lagi, meski sebuah desah yang menghangati badan. Pun Meilani tenggelam digulung kesibukannya. Terbayang aku Paolo dikelilingi beberapa perempuan di sebuah pub. Perempuan-perempuan berbikini, memegang terompet tahun baru. Paolo tak meresleting celananya yang kemudian kedodoran.. Dia mengenakan topi kerucut. Wajahnya dipenuhi pasta lipstik.

Terbayang aku Meilani mendekam di kamar sebuah kos-kosan bersama lelaki berjambang dan berdada bidang. Musik menghentak menggema. Botol bir bergetar di atas meja beling. Meilani merasuk ke bawah ketiak si lelaki. Si lelaki menenggelamkan hasrat perempuannya ke puncak surgawi. Oh, Tuhan. Betapa aku tak bisa memisahkan orang-orang yang kucintai dari dosa menelikung.

Bunyi telepon akhirnya mengisi kekosongan ini. Malas-malasan kuseret langkah menuju ruang tamu. Kuangkat horn telepon. Terdengar olehku suara memburu seorang perempuan nun si seberang sana. Dia mengatakan Meilani dibawa ke rumah sakit. Dalam bayanganku, Meilani pasti telah memakai narkoba.

Tapi tak perlu mengira-ngira dulu. Kususul mimpi Pinem dan menyeretnya ke dunia nyata. Berdua kami melesat menembus hujan. Menyetop taksi, lalu linglung mengitari kota yang berkelap-kelip dengan ribuan lampu hias.

Setengah jam lamanya, aku bagai tersengat listrik setiba di koridor rumah sakit. Seorang dokter memanggilku sebelum langkahku memasuki ruangan tempat Meilani terbaring pucat. Meilani menggapaiku dengan tangis. Kuteruskan langkah, lalu memeluk kepala putriku itu. Sebelum akhirnya kutemui dokter di luar ruangan.

"Putri saya kenapa, Dok!"

Dia tersenyum bijak. "Putri anda sehat-sehat saja." Dia menyalamiku. "Selamat, dia positif hamil. Anda ibunya, kan?"

Aku mengangguk. Tapi hatiku bagai digebuk dengan puluhan alu sehingga membuat pandangan ini nanar. Ketika si dokter menjauh, barulah kutemui lagi Meilani dan mencecarnya dengan beberapa pertanyaan menusuk. Pinem kubiarkan terkunci di luar sana.

"Siapa pelakunya, Meilani?" Kesabaranku hampir habis. "Tolong katakana sebelum kau membuatku gila!"

Samar dia menggumam, "P-a-p-a!"

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun