"Tigabelas!"
Klik! Telepon selular dimatikan. Dia kembali pada sikap semula. Dia menunggu ketukan di pintu kamar. Sekilas dia lihat lemari, mudah-mudahan senjatanya aman. Dia menekuk-nekukkan lima jari tangan ke atas paha. Sepertinya dia cemas.
Tak lama, ketukan bergema. Pramono berdiri. Membuka pintu dengan harap-harap cemas. Seperti apakah lelaki yang bernama Pinto itu? Sangar, layaknya pebisnis narkoba? Atau, barangkali kemayu, senang bersolek? Hmm, dia membayangkan seorang lelaki gagah dengan dada bidang. Mudah diajak bergaul, juga cepat faham situasi. Darahnya berdesir, tapi dia berusaha untuk tetap waras, agar semua rencana berjalan lancar.
Ternyata orang yang berdiri di depan pintu kamar adalah si room boy. Dia membawa dua piring nasi goreng dan dua gelas jus mangga. Setelah dia meletakkan seluruh pesanan di meja, barulah Pramono sadar. Wajah si room boy masam. Pasti karena dari tadi belum mendapat tip. Begitu digenggamkan uang seratusan ribu ke tangan si room boy, wajahnya kontan sumringah. Berulang-ulang dia mengucapkan terimakasih, sehingga telinga Pramono penuh.
"Pokoknya seluruh yang terjadi di sini kau buat aman, ya!"
"Siap, Bos!" Si room boy tersenyum nakal. Ujung matanya menangkap seorang lelaki lain berdiri di ambang pintu. Lelaki bertubuh atletis, dibalut jas ketat. Tatapannya yang tajam, membuat si room boy buru-buru keluar.
"Pasti anda Pinto, kan?" Pramono senang. Harapannya tentang sosok lelaki gagah kiranya berhasil.
"Ya! Barang yang kubawa sudah cukup. Uangnya mana? Harus tunai, tanpa panjar, apalagi sampai berbentuk cek atau giro."
Pramono menutup pintu. Sebelumnya dia pastikan suasana di lorong-lorong hotel sepi tanpa orang. Lalu dia persilakan Pinto agar rileks. Sepiring nasi goreng dan segelas jus mangga, diangsurkannya kepada lelaki itu. Sementara dia sendiri langsung melahap makanan dan minumannya karena lapar yang sangat sejak turun dari pesawat sekian jam lalu.
"Aku tak mau terjebak! Sekarang kembali ke bisnis kita," tegas Pinto.
"Sabar dulu! Duduk di sini! Bukankah bisnis kita terus berlanjut dan kita menjadi mitra selamanya." Sembunyi-sembunyi Pramono memperhatikan sekeliling badan Pinto. Sepertinya lelaki itu sudah siap atas segala bencana yang bakal menimpa. Pramono melihat tonjolan di pinggang kiri Pinto. Pasti sebuah senjata laras pendek. "Membawa senjata?" sindirnya.