Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Deru Debu (Cerber Bagian Keenam "Ke Jakarta")

3 Juli 2015   08:52 Diperbarui: 3 Juli 2015   08:52 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keringat dingin menjalari tubuh Kyai Ali dan Kecik. Hanya saja mereka yakin tak akan terjadi sesuatu yang membahayakan diri mereka. Mustahil Herman dan teman-temannya mau berbuat nekad di tempat ramai seperti ini.

“Hai, akhirnya kita ketemu lagi. Kenapa kalian tadi mengebut? Takut kalau-kalau kami bajing loncat, ya?” Tawa Herman pecah diiringi teman-temannya. Sujak dan Regar, karena mendengar suara riuh itu, segera menyusul ke belakang truk BG 5544 MA itu.

“Ada apa?” Sigap Sujak mendekati Kyai Ali dan Kecik. Regar telah siap dengan sebilah pisau. 

“Oho,   telah   terjadi   kesalahpahaman   rupanya.   Aku   hanya   ingin mengembalikan dongkrak kalian. Tadi tertinggal di tempat kalian mengganti ban truk.”

“Dongkrak?” Mata Sujak melotot. Dia akhirnya tertawa. Mereka kemudian saling  bersalam-salaman.  Jeep  dan  penumpangnya  langsung  merangsek  ke  depan. Herman melambai sebagai tanda perpisahan.

 Hampir tiga jam, iring-iringan kendaraan terbebas dari rintangan tanah longsor. Bau keringat di kabin truk yang disopiri Sujak, mulai mekar. Menyerbak ke mana-mana. Ada kelakar demi kelakar diciptakan untuk menghalau jenuh. Masing-masing bercerita tentang masa lalu dan harapan ke depan. Kecik hanya sekali-sekali menjawab bila ditanya.

Rerimbun hutan yang sekian lama menyekap jalan mereka, berganti tanah datar dengan ratusan atau mungkin ribuan pohon kelapa sawit, bersaling-silang dengan ilalang yang terhampar, mungkin sampai sejauh mata memandang. Kecik melihat ada sekumpulan rumah yang ditemukan jarang-jarang. Sebagian dikelap-kelipi lampu listrik, sebagian lagi disungkup gelap, seperti tanpa penghuni.

Kendaraan di depan hanya ada iring-iringan truk. Sesekali Sujak memainkan lampu bila berpapasan dengan kendaraan yang berlawanan arah dengan mereka.

Kelakar orang-orang di kabin mulai sepi. Sujak digantikan Lobe memegang kemudi. Kecik yang terkantuk-kantuk, rebah di pangkuan Kyai Ali. Malam telah sangat jauh merangkak, sehingga dinginnya pukul empat fajar, seperti ketukan-ketukan di kaca jendela truk yang tertutup setengah.

Embunlah yang mengetuk-ngetuk itu. Lobe merinding. Menyesal dia tak mengenakan jaket berbulu miliknya. Mengenakannya sekarang, sama saja menciptakan badai yang dapat memelintir lehernya. Coba, siapa yang sanggup menghentikan truk sebentar, kemudian mengambil tas butut di jok belakang. Harimau itu pasti langsung mengaum. Lobe sama sekali tak mau memacing amarah harimau Sujak.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun