Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Keluarga Kelinci

25 November 2019   12:38 Diperbarui: 25 November 2019   12:56 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Bersusun sarden di kamar berukuran tiga kali tiga meter, lima anak terbujur di atas kasur gulung tipis, berebut oksigen. Drama terbujur ini hanya beberapa saat. Selanjutnya ada  jempol kaki mampir di mulut. Ada bau kentut mempersimpat ruang gerak oksigen. Pun saling tindih atau terjang. Kami semua melakukannya dalam kondisi bawah sadar.

Ibu di kamar lain dengan adik bungsu berumur tiga bulan. Sedangkan Ayah terkapar di depan tivi yang sedang meneriakkan gol gol gol. Entah dia sedang menonton, atau sebaliknya tivi yang menonton dia, aku tak tahu. Sempat terdengar suaranya mengomel sebelum aku terlelap. Ayah tiap malam bertarung dengan nyamuk hingga paginya wajahnya bentol-bentol.

Oh, maaf. Aku salah. Tabiat wajahnya memang berbentol karena waktu muda, wajahnya berjerawat batu. Aku berharap para nyamuk suka menonton sepak bola. Jadi, mereka membiarkan Ayah terlelap,  melepaskan lelah karena seharian menggenjot becak.

Berebut kamar mandi adalah drama kami selanjutnya kala bangun pagi. Ayah sudah berangkat membecak ke pasar induk. Dia tak lagi ikut mempertengkarkan ruangan berukuran dua kali satu setengah meter itu; tempat mandi merangkap kakus. Dapat kau bayangkan bagaimana sakitnya menahan pup, sementara di dalam kamar mandi ada anak yang sedang melanjutkan tidurnya yang nanggung. Aku sering melakukan itu, hingga rumah seakan rubuh karena suara amukan. Ibu mencoba menengahi amukan dengan meminjam pup---eh, salah---maksudku meminjam kakus tetangga untuk pup saudaraku.

Jangan kata pula bila ada yang menenggak air bak mandi hingga tersisa segayung. Sementara air PAM sudah puasa. Akhirnya tewaslah air segalon untuk mandi ekstra hemat. Timbul masalah bila ingin minum. Lagi-lagi Ibu harus bermuka tambeng meminjam ke tetangga. Untungnya pula tetangga itu rajanya air. Usahanya memang air isi ulang.

Paling sial kalau kami sudah mengelilingi meja makan. Siapa lambat hanya mendapat sesendok nasi, kuah sayur, dan sejumput sambal. Tapi aku cerdas. Sebelum mandi, aku sudah menyisihkan nasi dan lauk-pauknya. Aku dengan santai mandi dan bersolek. Ya, tentu saja tak khawatir tentang sarapan. Hingga hari itu nasib sial menimpaku. Aku lupa menyimpan bakal sarapanku ke dalam lemari. Alhasil si pus melantaknya, dan menyisakan nasi putih. Pagi itu aku baru merasakan sarapan dengan nasi yang berenang di kuah sayur pedas.

***

Aku tak sanggup lagi tinggal bersama keluarga kelinci. Sepulang sekolah, aku bermaksud menemui Asop. Aku menunggunya di seberang gerbang sekolahnya. Saat dia keluar, aku  bergegas mendekatinya. Menariknya ke belakang semak.

Dia melotot, terkejut melihatku. Tapi kemudian dia tertawa. Saat aku ingin kami membincangkan hal yang penting, bergegas dia mendekati seorang lelaki yang nongkrong di kedai kopi. Mereka berbincang sebentar. Tampaknya tercapai kesepakatan. Lelaki itu melaju dengan mobilnya.

Asop kembali ke dekatku. Lalu rencana itu kuutarakan. Meski masih ragu dan takut, Asop akhirnya mau kuajak ke tempat Bang Kandre.

Aku nekad merelakan rambut panjangku berakhir pendek. Asop dikenakan wig oleh Bang Kandre. Dua jam kemudian semua selesai. Bang Kandre takjub. Dia memuji sendiri hasil karyanya. Pantas saja dia menjadi pekerja salon, meski ada yang kurang. Maksudku dia kurang melambai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun