Oh, tentu saja tidak! Seperti kata  Mas Zaldy, cinta saya memang tinggal sedikit karena sudah banyak dibagi ke berbagai teman cantik ketika SMA,  tapi tak usah cemas, sampai kapan pun rasa cinta itu tak akan habis, meski tiap hari istri mengambilnya.
"Bagaimana tentang ngidam saya!" ketusnya kesal. Saya terkejut, lalu menanyakan apakah dia ingin mangga muda. Dia membuang wajah. Rautnya amat keselnya. Saya meletakkan koran ke atas meja. Perlahan memeluk tubuh dan mengurut pundaknya dengan penuh kasih sayang. Saya berharap dia mengganti keinginannya.
"Uh, Â bukan mangga muda! Dasar, belum tua sudah pelupa. Saya ingin Abang mengundang Bang Sinaga malam Minggu ini. Itu pun kalau Abang tak ingin anak kita ngences." Dia masuk ke dalam kamar. Setelah tubuhnya lenyap, dia berkata setengah berteriak, "Saya ingin kita makan bersama-sama seperti dulu."
Alamak! Bagaimana jadinya kalau seorang musuh diajak makan bersama? Itu tandanya saya telah melemparkan kain putih tanda menyerah. Padahal sejak kecil, saya tak pernah mengalah untuk urusan apapun. Bahkan perang-perangan. Kalau saya mengajak si Naga makan bersama, bukankah itu membuatnya bertambah ngelunjak? Dia akan menginjak-injak harga diri saya.
Tapi ngidam istri harus dituruti. Perkara anak ngences, sebenarnya bukan masalah besar. Masalah besar timbul, bila dia mengadu kepada bapak mertua. Dulu saat melamar Atikah, saya berjanji kepada bapak mertua, bahwa saya akan memenuhi kebutuhan istri luar dalam. Tentu termasuk pasal ngidam.
Karena itulah, begitu pagi hari sudah rapi, saya tak langung meluncur ke kantor, melainkan ke warung kopi tempat biasa si Naga mangkal. Kawan-kawan yang sedang bermain domino, langsung menyalami saya erat-erat. Bahkan ada yang memeluk segala. Mereka kangen lantaran hampir setahun saya menghilang dari situ. Tepatnya setelah timbul benci saya kepada si  Naga.
Alasan saya hanya kebetulan lewat, dan ingin sarapan lontong Medan. Mereka tertawa berderai. Permainan domino dilanjutkan kembali. Saya kemudian menikmati lontong Medan, usai berbasa-basi dengan penjualnya. Hlah, lontong Medan. Perut saya terasa mau pecah baru melihatnya saja. Saya memang sudah sarapan nasi goreng buatan istri. Bahkan nambah sepiring. Bagaimana menjejalkan lontong itu ke dalam perut yang hampir pecah ini?
Dengan ekor mata, saya melihat Pantun merapat. Saya akhirnya selamat dari rasa kenyang, karena piring lontong berpindah ke depan muncungnya. Seakan lintah, dia bersantap dengan lahap. Dia pun bersendawa kala agak kenyang. Setengah bercanda, dia mengatakan perutnya belum penuh.
"Eh, pernah melihat si Naga, ndak?" tanya saya. Dia celingak-celinguk mencari sesuatu. Setelah menemukannya, dia mencungkil sela giginya yang jarang.
"Sama sepert Abang, dia juga hampir setahun tak mangkal di sini. Barangkali dia sudah merasa kaya. Maksud saya baru merasa kaya. Ayok, ah! Ketimbang membicarakan Sinaga, kita main catur saja." Dia mengambil meja catur. Tapi belum genap dia menyusun bidak, saya langsung melesat pergi. Dia menceracau tak jelas. Tawa riuh meningkahi ceracauannya.
***