Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Istri Ngidam Naga

18 November 2019   15:18 Diperbarui: 18 November 2019   16:05 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi : pixabay/artie_navarre

Saya tak habis pikir kenapa ada fenomena ngidam pada saat istri hamil. Mulai dari ngidam makan mangga muda yang dibeli di pasar, hingga hasil curian---dan itu memang tuntutan--- dari pohon milik tetangga. Lebih gawat lagi bila dia ngebet makan mangga muda pada tengah malam, sementara kalian tinggal di perumahan yang jauh dari pasar. Kalau bukan lantaran cinta istri dan calon bayi, mungkin kamu ogah melakukannya. Apalagi mata sudah lima watt, yang bila menolak tidur terkadang bisa kuwalat besok paginya.

Tapi teror ngidam kamu itu belum seberapa ketimbang yang saya alami. Andai bisa dibayar dengan uang, biar jutaan melayang, saya ikhlas, asal istri tak ngidam yang begituan.

Kau pasti kenal dengan pria Batak bernama R. Sinaga, kan? Katakan saja iya! Sesama teman harus saling membela.

R. Sinaga itu rekan bisnis saya di perusahaan migas, kendati pada awalnya saja. Setelah lihay urusan lelang, dia menjelma rival bisnis saya. Setiap proyek yang hampir saya dapatkan, dengan mudah dia hanguskan. Dia bagaikan naga, menyemburkan api ke mana-mana.

Maka saya tak lagi menyebutnya Pak Sinaga, melainkan si Naga. Mudah-mudahan kau faham maksud saya.

Meski setiap kali kami bertemu, dia selalu mencoba melemparkan senyum termanis yang dia punya, saya anggap itu kamuflase. Tipu-tipu. Mungkin dia menganggap saya pengusaha cemen. Saya sering kalah setiap bertarung.

Saat kami bersahabat, dan pertama kali dia bermain lelang di kota ini, Naga kerap sowan ke rumah saya. Dari yang namanya kongkow, makan, hingga tidur bersama---tentu saya bukan penganut lgbt---pernah kami lakukan. Tapi setahun belakangan ini, kami menjadi musuh abadi.

Saya tak pernah lagi menawarkannya bertandang ke rumah saya. Alhasil, Naga tak juga ingin menawarkan diri agar diundang. Baguslah, sebagai musuh, dia telah pintar bersikap.

"Bagaimana, Bang?" Istri kembali bertanya. Hujan yang turun di halaman, tak bisa menyejukkan  hati saya.

Saya kesal, ingin marah. Tapi petuah ibu, pantangan marah kepada  istri yang sedang hamil. Janin di rahimnya akan kecik kundu atau jatuh semangatnya. Jadi saya tetap menjaga agar ujung bibir tetap menyunggingkan senyum.

"Bagaimana apanya, Dek?" Saya pura-pura tekun membaca koran. Istri manyun. Dia merasa suaminya seolah tak hirau lagi. Apa sudah tak cinta? Apa karena dia menjelma balon dengan perut tak rata?

Oh, tentu saja tidak! Seperti kata  Mas Zaldy, cinta saya memang tinggal sedikit karena sudah banyak dibagi ke berbagai teman cantik ketika SMA,  tapi tak usah cemas, sampai kapan pun rasa cinta itu tak akan habis, meski tiap hari istri mengambilnya.

"Bagaimana tentang ngidam saya!" ketusnya kesal. Saya terkejut, lalu menanyakan apakah dia ingin mangga muda. Dia membuang wajah. Rautnya amat keselnya. Saya meletakkan koran ke atas meja. Perlahan memeluk tubuh dan mengurut pundaknya dengan penuh kasih sayang. Saya berharap dia mengganti keinginannya.

"Uh,  bukan mangga muda! Dasar, belum tua sudah pelupa. Saya ingin Abang mengundang Bang Sinaga malam Minggu ini. Itu pun kalau Abang tak ingin anak kita ngences." Dia masuk ke dalam kamar. Setelah tubuhnya lenyap, dia berkata setengah berteriak, "Saya ingin kita makan bersama-sama seperti dulu."

Alamak! Bagaimana jadinya kalau seorang musuh diajak makan bersama? Itu tandanya saya telah melemparkan kain putih tanda menyerah. Padahal sejak kecil, saya tak pernah mengalah untuk urusan apapun. Bahkan perang-perangan. Kalau saya mengajak si Naga makan bersama, bukankah itu membuatnya bertambah ngelunjak? Dia akan menginjak-injak harga diri saya.

Tapi ngidam istri harus dituruti. Perkara anak ngences, sebenarnya bukan masalah besar. Masalah besar timbul, bila dia mengadu kepada bapak mertua. Dulu saat melamar Atikah, saya berjanji kepada bapak mertua, bahwa saya akan memenuhi kebutuhan istri luar dalam. Tentu termasuk pasal ngidam.

Karena itulah, begitu pagi hari sudah rapi, saya tak langung meluncur ke kantor, melainkan ke warung kopi tempat biasa si Naga mangkal. Kawan-kawan yang sedang bermain domino, langsung menyalami saya erat-erat. Bahkan ada yang memeluk segala. Mereka kangen lantaran hampir setahun saya menghilang dari situ. Tepatnya setelah timbul benci saya kepada si  Naga.

Alasan saya hanya kebetulan lewat, dan ingin sarapan lontong Medan. Mereka tertawa berderai. Permainan domino dilanjutkan kembali. Saya kemudian menikmati lontong Medan, usai berbasa-basi dengan penjualnya. Hlah, lontong Medan. Perut saya terasa mau pecah baru melihatnya saja. Saya memang sudah sarapan nasi goreng buatan istri. Bahkan nambah sepiring. Bagaimana menjejalkan lontong itu ke dalam perut yang hampir pecah ini?

Dengan ekor mata, saya melihat Pantun merapat. Saya akhirnya selamat dari rasa kenyang, karena piring lontong berpindah ke depan muncungnya. Seakan lintah, dia bersantap dengan lahap. Dia pun bersendawa kala agak kenyang. Setengah bercanda, dia mengatakan perutnya belum penuh.

"Eh, pernah melihat si Naga, ndak?" tanya saya. Dia celingak-celinguk mencari sesuatu. Setelah menemukannya, dia mencungkil sela giginya yang jarang.

"Sama sepert Abang, dia juga hampir setahun tak mangkal di sini. Barangkali dia sudah merasa kaya. Maksud saya baru merasa kaya. Ayok, ah! Ketimbang membicarakan Sinaga, kita main catur saja." Dia mengambil meja catur. Tapi belum genap dia menyusun bidak, saya langsung melesat pergi. Dia menceracau tak jelas. Tawa riuh meningkahi ceracauannya.

***

Saya bertemu dia di salah satu perusahaan migas itu dengan kondisi saya kalah lelang. Berbeda dengannya bisa tersenyum jumawa karena menang telak. Dia mencoba tersenyum ke arah saya. Biasanya saya langung melengos. Tapi kali ini saya harus berani membuang ego. Jatah untuk saya tinggal sehari lagi. Bila malam Minggu saya belum bisa menghadirkan sosok si Naga di meja makan, alamat istri merajuk. Saya siap-siap berhadapan dengan bapak mertua yang super cerewet. Sekiranya istri tak sampai minggat, paling tidak dia mengadu via telepon.

Saya membalas senyumnya yang tanggung itu. Eh, ternyata dia tertawa lebar. Dia mengembangkan saya seperti elang hendak menangkap anak ayam. Dan sayalah anak ayam itu. Dia memeluk saya erat-erat. Menanyakan apa kabar istri saya, sehingga terbit curiga ini, apakah sebenarnya dia  mencintai istri saya?

Dia menyeret saya ke kantin. Dia memesan dua piring gado-gado Mak Icah. Gado-gado yang selalu membuat saya klepek-klepek dari dulu. Sambil memandangnya curiga saat kami bersantap, saya tidak menemukan kepura-puraan di wajahnya. Dia tetap seperti si Naga setahun lalu. Banyak cerita, suara besar, dan suka tertawa. Dia juga bertanya kemana saja saya selama setahun ini. Mungkin hanya pertanyaan basa-basi. Setiap ada lelang di perusahaan migas, kami tetap saja menjadi rival. Ah, kawan satu ini memang pintar bersandiwara agar salah satu dari kami tak sakit hati. Dia sengaja menunjukkan bahwa saya baik-baik saja. Maksud baik-baik ini adalah saya tidak membencinya.

***
Makan bersama di rumah saya memang makan besar. Tetiba istri bersantap dengan lahap. Wajahnya tampak selalu bersemu merah saking bahagianya. Si Naga berulang-ulang menggoda, mungkin calon anak kami berjenis kelamin perempuan. Istri saya sepertinya tambah cantik. Dia juga menyanjung masakan istri saya. Dia kembali seperti berada di dangau, usai panen padi. Sambil merasai juadah raja-raja kampung; gulai daun ubi tumbuk, sambal tuk tuk, ikan asin dan jengkol bakar. Dia menggoda akan menuntut istri saya kalau istrinya sampai protes gegara celana mulai kesempitan.

Tentu saja acara makan bersama itu bertambah besar ketika bapak dan ibu mertua ikut bergabung. Mulailah cerita kampung memenuhi meja makan. Istri terpaksa dengan senang hati "meminjam" nasi dari tetangga sebelah.

Saya menjadi merasa aneh. Gairah saya yang turun sejak membangun permusuhan dengan si Naga, tumben-tumbenan muncul lagi. Ngidam istri menjadi berkah yang tak terkira. Ketika si Naga permisi pulang, saya mengatakan, "Terima kasih atas kunjungannya, Pak Rudol Sinaga."

Dia tertawa. Sambil berbisik dia mengatakan, akan sangat membutuhkan bantuan saya atas proyek yang dimenangkannya kemarin dulu itu.

Sapta, 181119

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun