Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Cinta Monyet Sang Loper

7 November 2019   16:16 Diperbarui: 8 November 2019   06:54 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay

Aku masih ingat saat itu tahun 1979, entah bulan dan hari apa aku lupa. Yang pasti itulah hari pertama Ayah mempercayakanku menjadi loper koran.

Setelah berhasil membagi-bagikan koran dan majalah kepada pelanggan, aku pastikan akan duduk di bawah pohon mangga Kadek, sambil melihat anak-anak mandi di sungai. Sekaligus aku tenggelam dalam dunia kata-kata. Ya, aku memang maniak membaca.

Maka kala Ayah menanyakan apakah aku mau menggantikannya meloper koran, sebab encoknya sering kambuh karena faktor usia, aku pun menjawabnya dengan melonjak meninju langit. Kupeluk Ayah dengan suka cita. Membaca lebih enak bagiku ketimbang ayam panggang spesial buatan Ibu.

Aku juga bisa bertahan tak makan siang bila sedang mendapat cerita menarik dari koran atau majalah. Hasilnya dapat ditebak, ada bilur-bilur bekas lidi kelapa di betisku. Ibu paling tak suka aku sakit karena tak makan. Dia malu, karena baginya, tidak makan itu artinya orang miskin.

Ayah tentu mengajak Ibu berbincang di teras rumah. Dia membelaku. Ayah katakan jangan terlalu keras memarahiku. Ibu akan membela diri seperti yang sudah, mestinya membaca tak melupakanku akan arti makan.

Biasanya Ayah diam. Ketika bangun pagi, Ibu akan memandikanku, meski malu rasanya dimandikan karena sudah tamat esde. Serampung mandi, akan kutemukan secangkir susu dan sepinggan nasi goreng spesial bertabur abon di meja makan. Selalu begitu. Ibu suka marah-marah kepadaku, tapi dia akan memperbaiki tingkah lakunya menjadi baik-baik saja, seolah dia ibu yang paling anti marah sejagat.

Kembali ke urusan mengantar koran dan majalah ke pelanggan, di hari kelima bertugas, saat itulah aku bertemu perempuan berambut kepang dua dengan lesung pipit sebelah kanan. Manis sekali. Aku mengangsurkannya majalah wanita dewasa dengan dada berdesir. Ah, anak kelas satu esempe, apakah wajar jatuh cinta?

"Pak Murad di mana?" tanyanya.
"Ayah berjualan di toko," jawabku sambil tertunduk.

Hanya sebatas dua kalimat itu, aku pergi mengayuh sepeda dengan sangat lambat. Kupastikan sekali lagi melihatnya. Dia tersenyum sangat manis. Sadarlah aku mulai mencintanya.

Cih, cinta monyet! Itu kata teman-teman apabila salah satu dari kami ada yang cinta-cintaan. Tapi kupikir merasakan cinta itu lebih asyik ketimbang melihat monyet. Maka kuputuskan menambah kalimat ketika kami berjumpa lagi. Dia sedang membaca majalah remaja. Tanpa kutanya, dia mengatakan bahwa majalah wanita dewasa yang kuberikan sebelumnya adalah milik ibunya. Aku tak menangapi, kecuali cepat-cepat memperkenalkan diri.

Namaku Darum. Dia tertawa geli. Namaku hanyalah kebalikan nama ayahku; Murad. Ayah memang suka membolak-balik huruf. Ayah itu ahli bahasa. Maksudku dia pensiunan guru Bahasa Indonesia. Berjualan koran dan majalah baru dilakoninya sekitar tiga tahun setelah pensiun. Itu pun dia harus mengalah kepada usia, dan menurunkan tahta loper koren kepadaku.

Oh, Tuhan! Ternyata setelah asyik membaca di bawah pohon mangga, aku baru ingat belum tahu siapa namanya. Bodoh sekali! Apa yang harus kulakukan ketika melihat dia, tapi dia tak melihatku. Apakah dengan kata; hey! Itu tak sopan, kan? Tentulah di hari ketiga kami bersua, aku langsung menembaknya. Dia bernama Mike.

"Bukankah itu nama cowok," selorohku. Dia merengut manis sekali. Ingin aku mencubit pipinya.
"M-i-k-e! Bukan Maik!"

"Oh, aku lupa karena terlalu lama tinggal di Inggris," dia menjulurkan lidah. "Kau juga bukan alat pengeras suara, kan? Maksudku michrophone." Dia habis-habisan memukul bahuku. Aku tergelak senang. Hari-hari selanjutnya aku tak dapat menghitung berapa kalimat yang menghambur dari mulut kami. Mike itu orang baru di kampungku. Ayahnya seorang opseter atau lebih tepatnya kepala PU.

"Kami baru sebulan di sini," katanya.
"Kenapa aku tak tahu, ya?"
"Apa kau ketua erte yang harus tahu siapa saja wargamu?"

Hmm, ternyata Mike satu kelas denganku. Maksudku sama-sama kelas satu. Dia satu lima, sedangkan aku satu dua. Aku sering memboncengnya ke sekolah bila ayahnya sedang ada halangan. Saat itulah aku memutuskan menjadi penyair. Tepatnya penyair cinta. Satu syair per hari aku setor kepadanya. Mungkin dalam setahun bisa tiga ratus syair karena dipotong hari libur.

"Aku suka syairmu." Dia mengacungkan jempol. Kami sedang membaca majalah remaja di bawah pohon mangga.

Aku suka kamu, kataku hanya dalam hati. Aku belum mampu mengungkapkannya. Setelah duduk di kelas dua esema barulah aku mengatakan cinta kepadanya. Ketika ayahnya mengetahui aku mencintai putrinya, dia mulai kasak-kusuk memisahkan kami. Bisa apa aku sehingga berani sekali mendekati Mike? Apakah dia bisa kunafkahi dengan syair-syair?

"Hloh, kita kan masih pacaran. Bukan ingin menikah," aku tergelak.
"Tapi Ayah ingin kita berpisah."
"Bagaimana denganmu?"
"Sama sekali tak ingin berpisah." Mendengar komitmen itu, aku ingin memeluknya. Sayangnya aku belum mendapat SIM A alias surat izin memacari anaknya dari ayah Mike. Dan lebih menyakitkan, beberapa hari setelah itu kami akhirnya berpisah. Tentu bukan lantaran kearoganan ayahnya, melainkan si ayah dimutasikan ke daerah Jawa.

***

Pak Yusak masuk ke ruangan kerjaku sembari tertunduk-tunduk. Segera kumatikan laptop, lalu mematah-matahkan jemari tangan. Capek sekali rasanya! Tapi aku berhasil merampungkan editan draft novel itu. Aku berjanji kepada pihak penerbit, draft novel itu akan kuantar nanti malam.

Pak Yusak kupersilahkan duduk, sementara aku mengambil minuman dingin dari lemari es. Aku berjalan ke jendela kaca, menumpukan kedua belah tangan di bingkainya. Hei, cantik sekali bunga-bunga mawar yang bermekaran di halaman itu! Kenapa selama ini aku kurang memerhatikannya?

"Ada apa, Pak Yusak?" Aku berbalik ke arahnya.
"Ada tamu ingin bertemu Bapak."
"Sudah tahu kan aku tak ingin diganggu?"
"Dia tetap ngotot, Pak."
"Laki apa perempuan?"
"Perempuan!"

Mendengar kata "perempuan", aku menyuruh Pak Yusak mempersilakan dia masuk. Karena mendiang ibuku seorang perempuan, dan aku sangat menyayanginya, tentu aku tak mengecewakan setiap perempuan. Ini bukan berarti setiap lelaki bersedia kukecewakan.

"Masuk!" kataku saat mendengar suara ketukan yang pelan. Seseorang pun melongokkan kepalanya, hingga seluruh kenangan seakan melesak ke mataku. Perempuan itu. Gadis kecil berkepang dua, berlesung pipit, dan pemilik senyum termanis di dunia."

"Murad, kau kah itu?" Dia menjerit tertahan seperti ingin memelukku.

"Salah! Aku bukan Murad. Dia itu ayahku. Dan aku Darum." Dia tersenyum malu. Setelah mempersilakannya duduk, aku memanggil Bik Nah melalui interkom agar membawa segelas jus mangga, seperti kesukaan Mike junior.

"Suka jus mangga, kan?"
"Sebenarnya aku ingin es teh manis. Tapi karena kau sudah memilihkannya, terpaksa aku terima."
"Oh ya, kau Maik, kan?"

"Jangan kata kau lama tinggal di Inggris. Dengar, M-i-k-e. Ingat itu." Kami sama-sams tertawa. Entah kenapa kami kembali mengulang kisah-kisah lama yang asyik untuk dikenang. Kemudian berakhir dengan ceritanya mengapa dia ingin bertemu dengan aku.

Pertama, karena novel-novelku sebagian menceritakan masa kecil kami, juga tentang tokoh perempuan berkepang dua, berlesung pipit, dan pemilik senyum termanis di dunia. Kedua, karena novel-novelku rata-rata bisa menghanyutkan pembaca.

"Ketiga karena aku akan menjadi salah seorang aktris yang akan membintangi film perdana dari salah satu novelmu. Aku ingin mengenal lebih dekat penulisnya, agar bisa lebih menjiwai film itu. Yah, ketimbang dengan penulis skenario yang barangkali sudah banyak melakukan modifikasi."

"Ya, novelku yang berjudul Mike, eh maksudku Maik Mohan itu, ya?
"Camkan bahwa aku bukan aktris smackdown!"

Aku tertawa senang. Kau harusnya melihat ini, karena kami semakin akrab. Apalagi saat syuting perdana, kami memulakan dengan bersantap kepiting asam manis di sebuah restoran mewah. Tentunya bersama para kru. Dan perlu juga kau tahu, aku sekarang mulai sering ikut fitness untuk mengecilkan perut yang membuncit. Yakinlah, aku akan berhasil menggaet hati Maik, maksudku M-i-k-e. Yakin juga aku akan berhasil mengajaknya dinner. Aku ingin mengatakan cinta kepadanya untuk yang kedua kali..

Tapi jangan pula menertawakanku ketika di hari ketiga syuting, seorang pria tampan menemui sutradara. Usut punya usut dia ada urusan penting dengan Mike. Sehebat apakah dia, sehingga bisa memangkas waktu kerja perempuan cantik itu begitu saja? Aku merutuk dalam hati.

Setengah jam kemudian, Mike keluar dari ruang make up. Dia menyeret tangan lelaki itu, lalu membawanya ke hadapanku.

"Eh, kenalkan teman masa kecilku; Murad."
"Itu nama ayahku," ralatku.
"Maaf, maksudku Darum." Dia tersenyum geli. Aku merasa di atas awan.
"Dan ini siapa?" tanyaku.
"Dia Priambodo. Ayah dari tiga krucilku."

Lelaki itu menyalamiku dengan hangat. Sementara aku merasa amat lemas. Tolong, siapa saja yang bisa menyelamatkanku ketika terjatuh dari atas awan.

Sapta, 071119

 ---sekian--- 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun