Mohon tunggu...
Tankulava
Tankulava Mohon Tunggu... Guru - Rifai el-Carbon

Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN-SU

Selanjutnya

Tutup

Analisis

ORGANISASI: Kenapa Aku Harus Terlibat..?

31 Agustus 2020   04:48 Diperbarui: 31 Agustus 2020   15:26 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

images-46-5f4c3552097f36249b5cfac2.jpeg
images-46-5f4c3552097f36249b5cfac2.jpeg

Di sini penulis membedakan antara ilmu dan pengetahuan meskipun sejatinya kedua hal tersebut haruslah selaras. Dalam kajian filsafat ilmu keduanya harus bekerja sama agar mendapat suatu kebenaran, karena ketika hanya salah satu yang dipergunakan maka kebenaran itu tidak mendapatkan hasil yang fundamental dan otentik. Filsafat ilmu juga membahas bahwa ada beberapa cara pandang untuk mencapai sebuah kebenaran rasio-empirisme merupakan cara terbaik untuk mendapatkan sebuah kebenaran karena memiliki kelemahan dan cacat yang sedikit dibanding yang lainnya.  Dalam penafsiran yang sederhana ilmu bersifat teoritis dimana bisa didapatkan melalui alat Indra manusia. Sementara pengetahuan bersifat empiris yang didapat dari hasil pengalaman.

Disaat terlibat dalam sebuah organisasi sudah tentu pengetahuan akan bertambah serta menjadi luas. Sebab kebanyakan organisasi  lebih kepada action atau lebih tepatnya lebih banyak bergerak untuk melakukan sebuah perubahan yang baik. Spesifiknya setiap organisasi memiliki permasalahan internal dan eksternal. Jika memang terlibat secara langsung sebagai militansi atau istilah akrabnya dikenal sebagai organisatoir akan mendapat pengalaman tentang penyelesaian masalah yang dihadapi. Berbeda jauh dengan simpatisan organisasi yang hanya ingin mendapatkan kenikmatannya saja.

Layaknya seperti organisasi, setiap manusia juga memiliki masalah tersendiri yang mana permasalahan tersebut tidak jauh dari kemampuannya sendiri untuk menghadapi dan mengatasinya. Dengan beberapa pengalaman yang ia dapatkan dari organisasi tersebut tentu tidak akan menyulitkannya untuk mencari solusi Atau menjadi motivator terbaik dengan memberikan solusi untuk penyelesaian masalah orang lain.

3. Public Speaking

images-51-5f4c35b2097f36249b5cfac4.jpeg
images-51-5f4c35b2097f36249b5cfac4.jpeg

Secara etimologi, kata public berasal dari bahasa Inggris yang berarti “masyarakat umum” sedangkan speaking adalah berbicara atau berpidato.[2] Istilah public speaking berawal dari para ahli retorika, yang mengartikan sama yaitu seni (keahlian) berbicara atau berpidato yang sudah berkembang sejak abad sebelum masehi.[3] Dalam sejarahnya yang panjang, istilah public speaking lebih dikenal dengan sebutan retorika atau dalam bahasa Inggris rhetoric bersumber dari bahasa Yunani rhet yang berarti orang terampil dan tangkas dalam berbicara. Pengertian retorika berkembang meliputi kemahiran melahirkan suatu gagasan, pandangan, pendapat, kelancaran berbicara, kepiawaian mempengaruhi orang banyak dengan kata-kata, daya kreasi dan improvisasi.[4]

Emm Griffin menjelaskan sebagaimana Aristoteles bahwa retorika adalah sebuah kemampuan seseorang dalam setiap fakta keadaan yang digunakan untuk mempengaruhi.

Retorika sering digunakan untuk mengambil keputusan dalam argumen, debat legislatif, rapat politik, khotbah agama dan sambutan dalam perayaan spesial.[5]

Keahlian dalam berbicara memang sangatlah dipentingkan, mengingat agar pesan yang disampaikan bisa dengan mudah dicerna oleh audiens. Dalam ilmu Mantiq kemampuan ini dinamakan dengan balaghah dimana seseorang tidak hanya mampu menarik perhatian audiens namun ucapannya tersebut memiliki makna tersendiri dan audiens bisa terhanyut dalam lautan retorikanya. Contohnya Sayyidina Muhammad SAW yang memiliki public speaking paling baik. Sehingga beliau bukan saja sebagai utusan tuhan beliau juga pemimpin pertama yang memiliki kharismatik. Sehingga setelah wafatnya pun beliau ucapan, timah laku, dan sikap beliau menjadi tauladan bagi umat manusia yang tidak terbatas halang lingkup umat Islam. Sebagai mana di gambarkan Michael H. Hart dalam bukunya The 100, A Rangking of The Most Influential Persons In History.

Pada zaman prasejarah sebelum masehi, semasa hidupnya filsuf alam yang bernama Socrates. Public Speaking ini dekenal denga shopies, dimana pada masa itu orang-orang yang lihai dalam retorika dipanggil ke istana untuk menjadi guru privat para birokrat kerajaan atau sebagai juru bicara mereka. Namun kaum shopies ini berbeda dengan kaum filosof. Kaum shopies ini hanya bisa berkata bijak dihadapan para rakyat, namun tidak pernah berbuat atau mencapai sebuah kebijaksanaan melainkan hanya ungkapan yang membuat rakyat semakin berharap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun