Mohon tunggu...
Rieka Yusuf
Rieka Yusuf Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Memiliki ketertarikan dalam jurnalistik, media, kiasan, dan origami.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Dilema Media Online antara Cuan dan Aturan (Pemberitaan Kriminal pada Tribunnews.com)

29 Juni 2020   14:57 Diperbarui: 29 Juni 2020   15:31 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelanggaran kode etik pada berita kasus mutilasi tersebut sudah ditemukan mulai dari judul ( ...potongan tubuh tercecer) berita yang diterbitkan oleh Media Tribun Timur pada Tribun-Video. Meski berita tersebut tidak dikategorikan sebagai berita bohong, fitnah, dan cabul, pelanggaran etika ditemukan karena berisi kalimat-kalimat yang menunjukkan kesan sadis atau kata-kata yang tidak etis untuk disampaikan kepada publik. Hal ini dibuktikan dari penjelasan kronologi penemuan mayat yang menceritakan bagian-bagian tubuh korban mutilasi secara detail, dan tentu memberikan efek imajinatif bagi pembaca.

"Tangan dan kaki yang ditemukan ditemukan terpotong menjadi empat dan kedua tangan yang juga dipotong menjadi empat bagian. Potongan kedua kaki dan tangan ditemukan di tangga sisi timur bersama potongan tangan. Sementara kepala dan tubuh korban masing-masing ditemukan di tangga bagian tengah dan kamar mandi."

(Dikutip dari berita 'Wanita Termutilasi di Malang, Potongan Tubuh Tercecer di Tangga hingga Kamar Mandi Pasar Besar' Tribun Timur pada 15/5/19)

Hal ini menjadi tidak etis, lantaran kalimat yang digunakan berlebihan dan menimbulkan efek imajinatif yang sadis. Selain itu, mengingat jangkauan media online sangat luas, berita tersebut memungkinkan dibaca oleh berbagai kalangan. Pada pemberitaan tentang mutilasi di atas mungkin menjadi informasi mengenai temuan, namun penjelasan secara mendetail bagaimana potongan tersebut ditemukan seharusnya dihindari. Cukup menjelaskan bahwa korban dimutilasi menjadi beberapa bagian, dan tubuhnya ditemukan di berbagai sudut pasar merupakan informasi yang layaknya disampaikan. Selain penggunaan kata-kata yang memiliki kesan sadis, penyesuaian SEO yang membuat berita tersebut tidak singkat dan padat juga dilakukan dengan diksi 'mutilasi, potong, dan mayat' secara berulang.

Seperti penjelasan sebelumnya, judul clickbait dan isi berita dengan diksi-diksi provokatif digunakan untuk melibatkan emosi para pembaca. Semacam ada ketertarikan atau rasa iba ketika suatu kronologi dijelaskan dengan menekankan hal yang memicu emosi, misalnya dengan kata-kata bermuatan unsur sadis. Ketika hal tersebut terus dibiarkan, merujuk pada pernyataan Septyana Yundri sebelumnya, realitas peristiwa yang dianggap khalayak akan terbentuk sesuai berita yang disampaikan oleh media dengan bahasa sebagai mediumnya. Hal yang sama juga diungkapkan Abdul Malik (2017) dalam jurnalnya yang mengatakan bahwa penelitian mengungkapkan berbagai perilaku buruk yang terjadi di masyarakat banyak disebabkan oleh imitasi dan pengaruh dari apa yang mereka baca di media massa.

Ini berarti, jika pelanggaran sejenis terus dilakukan, akan menciptakan realitas peristiwa kriminal yang dianggap 'wajar', bahkan memiliki kecenderungan ditiru oleh masyarakat. Khalayak juga akan memahami suatu peristiwa kriminal memang pantas disampaikan sedemikian sadisnya. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam melihat realita sosial. Bukan tidak mungkin, ketakutan berlebihan akan muncul, lalu masyarakat merasa enggan melihat dunia luar yang dianggap penuh dengan kejahatan sadis. Akibatnya kontribusi masyarakat terhadap kontrol sosial berkurang. Parahnya, terdapat juga kecenderungan bagi sebagian orang untuk melakukan hal yang sama.

Dampak tersebut tentu bertentangan dengan fungsi pers sebagai lembaga yang selain memiliki andil untuk memberi informasi, tetapi juga mampu mengedukasi masyarakat. Selain itu, dalam teori pers tanggung jawab sosial yang dikembangkan oleh Denis McQuail, juga menjelaskan bahwa pers dituntut untuk bertanggung jawab atas tulisan atau beritanya kepada publik. Teori ini juga memiliki asumsi utama mengenai kebebasan  memiliki nilai yang sepadan dengan tanggung jawab atas kebebasan itu sendiri. Dengan kata lain, kebebasan yang dipahami dalam sistem demokrasi ataupun liberal suatu pers, bukan merupakan kebebasan yang mutlak dan absolut, melainkan terbatas pada tanggung jawab sosial.  Praktik jurnalistik sejenis, dengan pemakaian diksi berlebihan pada pemberitaan kriminal maupun seksualitas mengingatkan kita pada istilah 'koran kuning' atau Yellow Journalism.

  • Tendensi Praktik Yellow Journalism oleh Tribunnews.com

Menurut Ensiklopedia Pers Indonesia (EPI), Yellow Papers (Koran Kuning) merupakan surat kabar yang isinya lebih banyak megandung sensasi, rumor, dan hal-hal yang tidak berkaitan dengan upaya pencerdasan manusia. Koran kuning juga merupakan sebuah paradigma yang lahir pada zaman industri modern ketika ditemukan mesin cetak canggih yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan dunia hiburan. Selain istilah koran kuning, terdapat juga sebutan Yellow Journalism (Jurnalisme Kuning) dan Gutter Journalism (Jurnalisme Got).

Istilah-istilah tersebut merujuk pada media yang biasanya melakukan pemberitaan mengenai kriminal dan seksualitas. Keberadaannya saat ini memiliki stigma negatif bagi kalangan tertentu. Hal ini dikarenakan muatannya yang tak hanya berisi berita asusila, skandal, atau pun kriminal, tapi juga menggunakan judul-judul sensasional yang memanfaatkan sisi emosi pembaca, dengan diksi yang berlebihan. Bahkan, terkadang judul yang digunakan tidak memiliki relevansi dengan isi berita. Meskipun demikian, koran kuning juga masih memiliki pasar yang biasanya merupakan masyarakat dengan tingkat ekonomi serta literasi rendah.

Di Indonesia, Jurnalisme Kuning semakin marak pasca penghapusan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang diganti dengan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Reformasi seolah menjadi kesempatan bagi para media untuk mengekspresikan kebebasannya. Di masa itu, Pos Kota memiliki peranan penting sebagai pelopor dan menyebarluaskan praktik Koran Kuning. Saat ini, seiring perkembangan teknologi praktik tersebut juga mulai mengekspansi media baru. Isitilah yang tepat digunakan adalah jurnalisme kuning, lantaran media yang dimaksud tidak berbentuk cetak seperti koran.

Penjelasan mengenai beberapa pelanggaran etika dalam penerapan bahasa jurnalistik oleh media TibunNews.com menjadi salah satu bukti. Penggunaan judul dan bahasa yang sensasional serta dramatis digunakan media tersebut untuk meningkatkan kunjungan situs yang akan berpengaruh terhadap pendapatan media. Strategi yang digunakan untuk memenuhi target standar Google membuat TribunNews.com memiliki tendensi Jurnalisme Kuning versi daring. Menurut Abdul Malik dalam jurnalnya yang berjudul Jurnalisme Kuning, 'Lampu Kuning' Etika Komunikasi Massa, banyak pihak menyebut bahwa Jurnalisme Kuning adalah praktik jurnalisme yang mengaburkan makna. Dikatakan demikian, sebab berita sebagai produk jurnalistik telah keluar dari substansinya karena didominasi oleh aspek-aspek bersifat sensasi, sadis, vulgar, bahkan cabul yang didramatisir, jauh dari realita sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun