Mohon tunggu...
Ridwan Hasyimi
Ridwan Hasyimi Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja Seni

Berteater, nari, dan nulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asik (Meski Asing) The Proposal Versi Sunda

6 Maret 2021   22:42 Diperbarui: 6 Maret 2021   23:26 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agus jeung Ratna
Dina carita Nanyaan drama hiji babak
Anton Pavlovich Chekov, Jim Alim jeung Suyatna Anirun
Gus Agus Kakang Agus Tubagus
Lil Kholil Kholil Kholil bapana Ratna
Jayasasmita bapana Agus
Bibina Ratna bongkok tonggongna
Gus Agus Agus jeung Ratna
Bercinta di Lapang Dage
Dibarengan Si Belang eujeung Si Hideung
Dibarengan Si Belang eujeung Si Hideung

***

Sejak rampung ditulis pada tahun 1890 oleh Anton Pavlovich Chekov, drama Предложение (Predlozheniye) telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Julius West (1891-1918), seorang penyair, sejarahwan, dan penerjemah asal Rusia yang kemudian hijrah ke Inggris, diyakini sebagai orang pertama yang menerjemahkan drama satu babak ini ke dalam bahasa Inggris menjadi The Proposal.

Oleh Sutayna Anirun dan Jim Lim, pada tahun 1958 teks ini disadur ke dalam bahasa dan budaya Indonesia menjadi Pinangan. Dua maestro teater Indonesia itu menyadur Ivan Vassilevitch Lomov menjadi Agus Tubagus bin Jayasasmita, Natalya Stepanovna menjadi Ratna Kholil, dan Stepan Stepanovitch Chubukov menjadi Raden Rukmana Kholil. Sementara The Oxen Meadows mereka sadur menjadi Lapangan Sari Gading, Messer menjadi Si Kliwon, dan Guesser menjadi Si Belang.

Dari pemilihan nama Agus Tubagus, Jayasasmita, dan Rukmana, Sutayna dan Jim Lim berupaya mengalihkan Rusia ke Jawa Barat sebab nama-nama tersebut umum dipakai oleh ménak ‘bangsawan’ di Jawa Barat. Dalam salah satu dialog, dengan jelas disebutkan bahwa Lapangan Sari Gading terletak antara Anyer dan Jakarta. Tahun 1958 ketika naskah itu diterjemahkan, Anyer yang berada di Serang, Banten, masih merupakan wilayah Jawa Barat.

Setelah disadur ke dalam bahasa Indonesia, baik untuk tujuan eksplorasi dan eksperimen, maupun dengan maksud lebih mendekatkan lakon pada penonton, Pinangan telah banyak dipentaskan di Indonesia dalam berbagai bentuk, bahasa daerah, dan pendekatan budaya. Yang diubah bukan hanya nama-nama tokoh dan tempat, namun juga latar waktu peristiwa Pinangan itu berlangsung.


Diluar perdebatan mengenai batasan dan perbedaan terjemahan, adaptasi, saduran, dan lakon baru yang terinspirasi dari lakon yang sudah ada, upaya (sebut saja) adaptasi lakon selalu menarik diperbincangkan sebab ia sejatinya adalah proses tafsir yang barang tentu membuka katup imajinasi baru yang tak jarang memberi banyak kejutan.

Oleh tangan dingin sutradara cum founder Ngaos Art, Ab Asmarandana, hal itu terjadi. Tak sekedar mengalihbahasakan drama ini ke dalam bahasa Sunda, Abuy, sapaan akrab Ab, juga berupaya menyadurnya ke dalam budaya Sunda kiwari tanpa benar-benar meninggalkan tanah kelahirannya, Rusia.

Pertunjukan produksi Ngaos Art yang telah dipentaskan di Karangnunggal (Tasikmalaya), Studio Ngaos Art (Tasikmalaya), Padepokan Sobarnas Martawijaya (Garut), dan sejumlah tempat lainnya ini lebih memilih The Proposal ketimbang Pinangan sebagai judul pertunjukan di poster mereka. Hal ini dapat dibaca sebagai rambu bahwa mereka tidak benar-benar meninggalkan Rusia. Betapa pun Chekov-nya, Pinangan sudah “terlanjur Indonesia”. Sementara The Proposal, meski terjemahan bahasa Inggris dari Predlozheniye, masih relaitif “lebih Rusia”.

Kendati demikian, mereka tidak meninggalkan Suyatna Anirun dan Jim Lim. Toh, teks yang digunakan sebagai bahan garapan masihlah Pinangan. Nama tokoh pun masih Agus Tubagus, Ratna Kholil, dan Rukmana Kholil. Pada lagu pembuka pertunjukan, nama Chekov, Jim Lim, dan Suyatna Anirun disambat berurutan. Hal semacam itu mengingatkan pada “hadiahan”, mendoakan orang-orang tertentu yang telah meninggal maupun yang masih hidup dengan cara menyebut namanya dan mengiriminya surat Al-Faatihah. “Hadiahan” umum dilakukan sebagian masyarakat di lembur-lembur ketika hendak memulai suatu kegiatan.       

Selain “hadiahan”, yang menjadikan lagu pembuka itu unik dan dédéngéeun adalah aransemennya yang Da-Rus alias Sunda-Rusia. Selain terdengar suara suling Sunda yang khas, beberapa bagian lagu hasil gubahan Alfin Nurul Azmi itu seperti mengajak penonton tamasya ke Lapangan Merah di Moskow. Menyimak lagu (yang liriknya ditulis dibagian awal tulisan) ini, meski samar, setidaknya mampu menautkan ingatan sebagian penonton kepada Paduan Suara Tentara Merah yang sedang menyanyikan "Katyuska" yang mashur itu. 

Tak hanya menambahkan lagu, Abuy merombak lakon ini dengan menambahkan sejumlah adegan--bahkan babak—,dialog, dan tokoh baru. Sebelum “masuk” pada cerita, Agus Tubagus (Kido Pauji) terlebih dulu ber-solilokui. Ia memaparkan siapa dan bagaimana dirinya saat itu: seorang lelaki 38 tahun dari keluarga pemilik tanahh yang belum kunjung menikah alias jomblo. Di Cioray, tempat di mana lakon ini berlangsung, 38 adalah usia yang “terlalu matang” bagi seorang laki-laki untuk berumah tangga.

Agus berniat melamar Ratna Kholil (Krisma Jayanti), seorang gadis usia 28 tahun anak Raden Rukmana Kholil (Dwi Februana), seorang duda dan juragan tanah yang mendaku sebagai pemilik Lapang Dage yang terbentang dari Kubang ke Neglasari. Demi menegaskan status dudanya, sutradara menyisipkan adegan percakapan antara Rukmana dan anak gadisnya membicarakan bagaimana jika ia menikah lagi. Percakapan ini tidak berlanjut panjang sebab Ratna buru-buru mengingatkan ayahnya bahwa hal demikian tidak ada dalam naskah Chekov. Hal ini jadi semacam rambu, sebaiknya The Proposal ini tidak dicerna menggunakan kaca mata realisme sebagaimana umumnya lakon tersebut dipersepsi.

Rambu-rambu, atau yang dalam khazanah Brechtian lazim disebut efek alienasi (verfremdungeffekt), makin sering muncul seiring berjalannya pertunjukan. Pada satu adegan, ketika Rukmana duduk berdekatan dengan Agus, ia mengucapkan aside yang menyatakan bahwa ia akan ber-solilokui seraya mengatakan bahwa apa yang diucapkannya “moal kadéngéeun ku Si Agus (tidak akan terdengar oleh Si Agus)”. Di adegan lain, Ratna mengatakan “réalis wé, Pih. Mengalir (realis saja, Pih. Mengalir)” kepada ayahnya tatkala sang ayah merasa ada pengulangan adegan ‘de javu’ ketika ia harus kembali menengahi pertengkaran Agus dan Ratna prihal anjing siapa yang lebih baik, Si Belang milik Agus atau Si Hideung milik keluarga Kholil. Di satu bagian lain, Ratna menegur pemusik yang tak henti memberi musik ilustrasi adegan layaknya sinetron-sinetron.

Kecuali efek alienasi dalam bentuk dialog para tokoh, munculnya lagu yang menginterupsi adegan, yang dalam beberapa bagian dinyanyikan langsung oleh aktor, jadi poin “keganjilan” yang lain. Musik tidak hanya berperan sebagai pembangun suasa, pemberi ilustrasi, dan penegasan latar budaya Sunda, namun juga jadi sebentuk efek alienasi tersendiri. Dengan porsi kemunculan yang pas, musik cukup berhasil membangun suasana dan memberi latar tempat dan waktu yang sesuai.

Munculnya sepenggal lagu: “Abi ceurik//ngabayangkeun//meni jahat diri anjeun ka aing//anjeun ngaku boga taneuh//ngaleos sangeunahna// yang aransemennya mengingatkan pada lagu “Hati Yang Kau Sakiti” yang dipopulerkan Rosa dan belakangan oleh Lyodra, menegaskan bahwa peristiwa nanyaan ini terjadi di jaman kiwari. Selain itu, set berupa rak buku, meja, dan sofa model kekinian serta kostum yang dikenakan para pemain, jelas menandakan masa kini.

Selain musik dan bahasa, munculnya tokoh Karda yang meminta sumbangan pembangunan masjid kepada Rukmana Kholil makin mempertegas tempat berlangsungnya peristiwa tersebut. Siapa tak akrab dengan adegan semacam itu?

Di penghujung pertunjukan, Abuy menambahkan “babak tambahan” berupa adegan pernikahan Agus dan Ratna. Mengenakan busana serba putih khas pengantin seraya ditemani seorang juru rias, mereka berdua berjalan menuju “pelaminan”. Berbarengan dengan kemunculan mereka, dari arah penonton, dua orang fotografer nyuruntul masuk ke panggung membawa serta dua lampu halogen LED yang terpasang pada tripod. Dua benda itu seketika saja mengubah ruang tengah menjadi pelaminan. Rukmana berperan bak MC menyilakan tamu undangan untuk menghaturkan selamat. Burudul, sekitar tujuh orang muncul dari arah penonton. Memberi selamat, berfoto dengan pengantin, dan berpose sampai pungkas pertunjukan.

Pada adegan pernikahan itu, meski dalam suasana cair, penuh humor dan improvisasi, Abuy masih berupaya mengikat lakon ini agar tetap utuh dan sinambung dengan “babak utama”. Cerita pokok lakon soal perbedaan pandangan antara Agus dan Ratna tentang kepemilikan Lapang Dage dan anjing siapa yang terbaik, masih berlanjut sampai pelaminan dalam bentuk yang lain. Pose mereka ketika difoto jelas menunjukan itu. Dalam satu pose, mereka nampak benar-benar patukang tonggong dengan masing-masing tangan menunjuk ke arah yang berlawanan.

Sebagai komedi, pertunjukan tersebut mencapai salah satu targetnya: membuat penonton tertawa dan terhibur. Selama lebih kurang satu jam, akting Kido, Krisma, dan Dwi yang natural dan diselipi berbagai tingkah dan kata-kata bodor mampu membuat tiga puluhan penonton yang seluruhnya undangan terpingkal-pingkal malam itu, Selasa, 2 Maret 2021 di Studio Ngaos Art, Tasikmalaya.

Meski demikian, pada beberapa bagian, dinamika emosi pemain kurang nampak. Adegan cekcok yang tensinya terus menanjak kurang berimbang dengan greget emosi yang ditampakan para pemain. Ketidakberimbangan ini nampak pula ketika musik mengiringi aktor bernyanyi. Kedunya seperti berlomba untuk untuk sampai finish lebih dulu, terutama ketika Agus dan Ratna nge-rap. Tata cahaya juga masih cenderung terlalu berhati-hati, seperti segan menaik-turunkan intensitas cahaya ketika diperlukan. Adegan Agus dan Ratna di lantai dua rumah sesaat sebelum menikah kurang mendapat fokus sebab cahaya terlalu terang di ruang utama.

Diluar semua catatan-catatan tersebut, The Proposal yang rencananya akan dipentaskan keliling ini jadi sebentuk oase ditengah gersangnya panggung teater di masa pandemi. Pentas virtual memang menjamur, namun tidak mampu menuntaskan dahaga kerinduan akan “panggung yang sebenarnya”, bagi pemain maupun bagi penonton.

***

img-20210302-202157-6043a31e8ede4812ca1315d2.jpg
img-20210302-202157-6043a31e8ede4812ca1315d2.jpg
Sebagai komedi, drama The Proposal bisa dikunyah dengan renyah. Ceritanya terbilang sederhana. Suatu ketika, seorang pemuda jomblo dari keluarga pemilik tanah di Rusia, Ivan Vassilevitch Lomov, berkunjung ke rumah tetangganya, Stepan Stepanovitch Chubukov, yang juga sama-sama pemilik tanah. Lomov bermaksud melamar anak gadis Chubukov, Natalya Stepanovna, yang juga sama-sama jomblo.

Lomov yang punya penyakit jantung begitu gugup ketika hendak mengutarakan maksudnya. Saking gugupnya, ia sampai meminta minum kepada empunya rumah. Sebelum Lomov menyampaikan maksudnya, Chubukov lebih dulu menaruh curiga sebab pemuda itu datang dengan dandanan necis, tak seperti biasanya. Chubukov menyangka ia bermaksud meminjam uang. Tapi, sangkaan itu segera pupus manakala Lomov mengutarakan maksud hendak meminang Natalya.

Sebagai seorang ayah dari anak gadis yang telah manjing menikah, hal ini tentu menggembirakan. Chubukov senang bukan kepalang. Tapi ia tak segera memberitahu putrinya. Katanya, lebih baik Lomov sendiri yang menyampaikan langsung.

Natalya pun datang menemui Lomov. Sementara, Chubukov memilih meninggalkan mereka berdua. Awalnya, mereka berdua bercakap layaknya tetangga yang baik. Dari gelagat dan sapaan yang saling mereka gunakan, nampak mereka sama-sama menaruh hati. Lomov tak langsung mengutarakan maksud. Sambil mengumpulkan keberanian, ia berbasa-basi membahas ini dan itu.

Namun, percakapan sopan itu tak berlangsung lama. Suasana mulai berubah ketika mereka membahas siapa pemilik sah dari sebidang tanah The Oxen Meadows. Keduanya bersikukuh bahwa keluarga merekalah pemilik sah dari tanah tersebut. Lomov berdalih, dulu Nenek-Bibinya meminjamkan tanah itu kepada para petani Kakek-Ayah Natalya tanpa uang sewa selama empat puluh tahun. Dan setelah perjanjian usai, tanah itu dianggap kembali jadi milik keluarganya.

Ketika pertengkaran makin hebat dan keduanya saling berteriak, Chubukov datang. Bukannya menengahi, kehadirannya malah membuat suasana makin parah. Chubukov tak terima klaim sepihak Lomov Ia berdalih, para petani Kakeknya enggan membayar sewa justru karena status tanah itu bermasalah. Namun, entah sejak kapan dan bagaimana, tanah itu telah sah menjadi milik keluarganya.

Lomov yang jantungan tak kuasa melanjutkan pertengkaran. Ia keluar sambil megap-megap. Ketika hanya Natalya dan ayahnya berdua saja, Chubukov baru mengatakan bahwa maksud kedatangan pemuda itu adalah untuk melamar Natalya. Gadis yang memang kebelet kawin itu kaget dan menyesal. Ia merajuk pada ayahnya agar memanggil Lomov kembali. Chubukov takluk. Tak lama berselang, Lomov kembali lagi ke rumah itu.

Seperti di awal perjumpaan, mereka bercakap dengan sopan, berdua tanpa Chubukov. Natalya mengakui bahwa The Oxen Meadows adalah milik keluarga Lomov. Tapi, lagi-lagi, percakapan sopan itu tak berlangsung lama. Mereka kembali terlibat pertengkaran hebat ketika mempersoalkan anjing siapa yang terbaik, Messer milik Chubukov atau Guesser milik Lomov.

Lomov mengatakan bahwa kumis bagian bawah Messer lebih pendek dari bagian atasnya. Baginya, itu adalah tanda anjing yang buruk dalam berburu. Oleh karenanya, Guesser tentu lebih baik dari Messer dalam soal berburu. Ia juga menganggap harga yang dibayar Chubukov untuk membeli anjing itu terlalu mahal untuk ukuran Messer yang tidak punya keistimewaan.

Natalya tentu tak terima. Ia balik meledek Guesser sebagai anjing tua, mirip kuda yang hampir mati. Dan seperti di pertengkaran awal, Chubukov kembali mendatangi mereka. Dan, juga seperti di pertengkaran soal tanah, kehadiran Chubukov malah memperkeruh suasana. Dalam pertengkaran itu sudah tak ada lagi kata-kata sopan. Dengan nada membentak, mereka saling menyebut nama tanpa sapaan tuan dan nona, suatu tindakan kurang ajar dalam etika bangsawan Rusia.

Pertengkaran melebar. Mereka saling ejek dan menuding keluarga lawan bicaranya sebagai penjilat, koruptor, tukang selingkuh, rentenir, lintah darat, dan lain sebagainya. Melihat Lomov yang gemetaran karena penyakit jantungnya kambuh, Chubukov dan Natalya makin kompak menyerang. Dari sengketa anjing, mereka meledek Lomov yang penyakitan itu tak mampu berburu. Ia hanya ikut-ikutan berburu demi status sosial.

Puncaknya, Lomov tumbang. Ia tak sadarkan diri. Mereka panik. Disangkanya Lomov mati. Namun, tak lama ia siuman kembali. Ketika itu, sekilat saja Chubukov dan Natalya menerima lamaran Lomov. Kendati begitu, cekcok soal anjing siapa yang terbaik masih berlanjut hingga akhir cerita. Menutup cerita, Chubukov berkata bahwa ini adalah cara untuk memulai rumah tangga yang bahagia.

***

Masa ketika Kaisar dan Tsar berkuasa di Rusia adalah masa di mana sejumlah orang memiliki tanah yang luas dengan ratusan budak dan buruh tani. Sebagaimana umumnya era feodal, mereka yang memiliki tanah adalah kaum bangsawan. Sebagaimana sosialita jaman kini, mereka juga punya cara bergaul yang khas, yang jadi simbol status kebangsawanan mereka. Salah satu yang telah jadi tradisi adalah adalah berburu.

Dalam pergaulan mereka, berburu bukan sekedar hobi. Dinukil dari Russia Beyond, di masa lalu, berburu merupakan latihan bagi prajurit untuk bertempur dan menjelajah hutan. Pada abad ke-17, perburuan “naik status” menjadi kegiatan protokoler Tsar Rusia. Kegiatan yang biasanya diadakan pada musim gugur itu jadi lebih mempertontonkan kemegahan dan kemewahan selain tentunya otoritas serta kekuasaan Tsar dan para bangsawan. Berburu jadi bersifat politis karena digunakan sebagai sarana hubungan diplomatik antar kerajaan.

Para bangsawan yang menunggang kuda-kuda pilihan dan mengenakan busana khusus berburu itu biasanya membawa serta anjing-anjing untuk melacak hewan buruan. Bukan anjing sembarang anjing. Anjing yang dianggap handal hanya jenis greyhound dan bloodhound. Mereka biasanya membawa sampai 25 ekor dalam sekali perburuan.

Karena telah jadi tradisi kebangsawanan sejak lama, kepiawaian seseorang dalam berburu jadi hal yang bisa dibanggakan dalam pergaulan. Makin hebat seseorang berburu, makin ia dipangdang. Makin naik harga diri dan martabatnya. Makin keren. Hal itu berlaku juga bagi anjing-anjing mereka. Anjing yang lebih tajam mengendus mangsa dan cekatan menangkapnya, dengan sendirinya menaikan harga diri sang empunya.

Chekov hidup di masa seperti itu. Ia lahir di Tagnanrog, di Rusia selatan pada 29 Januari 1860 (menurut kalender Gregorian). Saat itu, Kekaisaran Rusia sedang ada di ujung penghabisan. Tsar Nikolai II yang berkuasa pada tahun 1894-1917 merupakan Tsar terakhir Kekaisaran Rusia sebelum pecah Revolusi Oktober yang mengubah Rusia menjadi negara komunis pertama di dunia.

Dalam suasana feodal sebagaimana digambarkan di atas, The Proposal adalah sebuah olok-olok yang jitu bagi para bangsawan. Mempertengkarkan kepemilikan tanah pada momen lamaran di tengah negeri feodal adalah satire yang cerdas. Betapa niat melamar itu musti terkubur oleh gengsi bangsawan. Betapa hasrat untuk menikah harus kalah oleh gengsi demi martabat dan harga diri.   

Demikian pula pertengkaran soal anjing siapa yang terbaik. Memori kolektif orang Rusia pada masa itu merekam anjing berburu sebagai simbol keunggulan. Dengan memainkan detil-detil yang remeh, Chekov berhasil mengangkat “isu anjing” jadi salah satu pokok yang diperdebatkan hebat.

Meski berisi olok-olok dan satire, namun para bangsawan Rusia justru menyukai lakon tersebut tak terkecuali Tsar Alexander III (1845-1894). Ia menonton The Proposal yang secara khusus dipentaskan untuknya di istana musim panasnya yang terletak dekat St. Petersburg, Rusia tak lama setelah drama tersebut rampung ditulis pada 1890.

 

The Proposal sedemikian bertaut dengan memori kolektif orang Rusia prihal bangsawan, kepemilikan tanah, buruh tani, perburuan, dan tentu saja anjing pelacak hewan buruan. Chekov memainkan hal-hal yang sekilas remeh namun justru merupakan simbol harga diri bangsawan Rusia. Karenanya ia menjadi komedi-satire. Hal yang demikian melekat itu, sampai sejauh mana ia tetap menjadi komedi-satire ketika dicangkokan ke dalam memori kolektif urang Sunda hari ini?

Baik bangsawan, kepemilikan tanah, berburu dan anjing pelacak hewan buruan, bukan hal yang tidak ada sama sekali dalam memori kolektif urang Sunda. Yang menjadikan bangsawan Sunda dan Rusia berbeda, boleh jadi, salah satunya, asal muasal gelar bangsawan itu diperoleh.

Sejak diberlakukannya politik etis di Hindia Belanda pada awal abad ke-20, ménak atau priyayi bergelar raden bukan cuma mereka yang keluarga, kerabat, dan keturunan raja. Asalkan ia pegawai pemerintah Hindia Belanda lulusan sekolahan, meski bukan dari darah biru, disebut juga sebagai ménak. Dalam beberapa catatan, misalnya dalam Tetralogi Buru-nya Pram, gelar raden bahkan bisa dibeli.

Dan meski ménak-ménak itu, katakanlah, gemar berburu, statusnya tidak sampai jadi seremoni kerajaan yang mengandung prestise tertentu sebagaimana di Kekaisaran Rusia. Oleh karenanya, anjing pelacak hewan buruan tidak sampai dijadikan sesuatu yang terlalu signifikan mengdongkrak harkat dan martabat seseorang. Dalam hal ini, ayam jago dan burung jenis tertentu boleh jadi lebih “bernilai” ketimbang anjing.

Soal cekcok kepemilikan tanah gara-gara perjanjian peminjaman tanpa uang sewa, agak jarang terdengar jadi bahan perdebatan kaum ménak. Yang umum adalah cekcok tanah warisan atau soal batas kepemilikan tanah.

Terkait perbedaan-perbedaan itu, Abuy menyadari betul. Demi mencangkokan The Proposal ke memori kolektif masyarakat Sunda, pada salah satu adegan percekcokan soal tanah, Agus menyebut bahwa yang menjadi batas Lapang Dage adalah “tangkal kadu (pohon durian)”. Hal ini cukup ditekankan. Namun, hanya sekali saja disebut. Yang lebih lanjut diperdebatkan bukan soal batas tanah, melainkan latar belakang kepemilikan tanah itu sebagaimana yang dituliskan Chekov, sesuatu yang tidak terlalu menancap kuat dalam memori kolektif masyarakat Sunda, kaum ménak sekali pun.

Demikian pula soal anjing dan berburu, Abuy tidak banyak memberi sentuhan adaptasi. Lakon dibiarkan mondar-mandir antara Rusia dan Sunda. Tetapi, meski orang Rusia dan Sunda punya memori kolektif yang berbeda terkait hal-hal tersebut, soal martabat dan harga diri, tak hanya Rusia dan Sunda, hampir semua umat manusia di muka bumi ini mengimaninya sebagai sesuatu yang patut dipertahankan dan dihormati. Sejauh mana seseorang mempertahankannya, tepat hal itulah yang abadi dan universal dari The Proposal.

Dalam konteks saduran, satire-nya The Proposal besutan Abuy bukan terletak pada olok-oloknya terhadap tingkah laku para pemilik tanah dan segala tradisinya, namun lebih pada hal yang lebih universal, yaitu harkat, martabat, dan harga diri manusia secara umum. Haruskah manusia mempertahankan semua itu sekonyol-seabsurd Agus, Ratna, dan Rukmana?

Catatan ini tentu penuh cela dan jauh dari memadai. Boleh jadi terlalu serampangan dan gegabah. Namun, lepas dari semua itu, The Proposal-nya Ngaos Art asik sebagai komedi-satire. Asik meski asing. Asing tapi asik.  

Panjalu, 3-6 Maret 2021 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun