Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Relawan - Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Orang biasa saja, seorang ayah, sejak tahun 2003 aktif dalam kegiatan community development. Blog : mediawarga.id e-mail : muh_ridwan78@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hari Santri: Pengakuan Sejarah atau Politik Belah Bambu?

25 Oktober 2015   00:55 Diperbarui: 25 Oktober 2018   17:11 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa Demokrasi Terpimpin dianggap sebagai masa terkelam bagi partai-partai Islam. Setelah mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959, Soekarno yang sudah terobsesi menjadi Presiden seumur hidup di Indonesia memaksa pembubaran Partai Masyumi pada 17 Agustus 1960 karena dianggap anti-revolusi, anti Nasakom dan dituduh terlibat dalam pemberontan PRRI di daerah-daerah kantong Masyumi di Sumatera.

Akibat pembangkangan tersebut, Soekarno memasukan Masyumi ke dalam kelompok “kepala batu” bersama dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang juga dibubarkan. Oleh Soekarno, Masyumi dianggap duri dalam daging yang mengganggu jalannya revolusi dan harus disingkirkan. Karenanya, Soekarno membungkam tokoh-tokoh Masyumi. Banyak mantan tokoh Masyumi, seperti Mohammad Natsir, Hamka, Burhanuddin Harahap, Mohammad Yunan Nasution, Prawoto Mangkusasmito, Isa Anshari dan Syafruddin Prawiranegara, yang mendekam dalam penjara tanpa proses hukum yang wajar.

Sebaliknya, tiga partai lainnya, yakni NU, PSII dan Perti, berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut. Dalam demokrasi terpimpin ini, NU dianggap paling menikmati iklim politik yang diciptakan Soekarno dengan sistem Nasakom karena menjadi pendukung utamanya.

Sementara tokoh-tokoh Masyumi dipenjara, banyak tokoh NU ikut ambil bagian dalam demokrasi terpimpin dan menduduki posisi-posisi kunci di Pemerintahan diantaranya: K.H. Idham Chalid, K.H. Achmad Sjaikhu dan K.H. Saifuddin Zuhri. Para ulama NU berpendapat bahwa masuk ke dalam  sistem demokrasi terpimpin adalah ijtihad politik pihak pesantren.

Untuk mendukung pandangan dan pendiriannya, NU menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh. Diantaranya kaidah   ma la yudraku kulluhu la yutraku ba’dhuh (sesuatu yang tidak dapat diperoleh secara utuh atau 100%, jangan ditinggalkan meskipun hanya diperoleh sebagiannya saja).

Bagi NU, masuk ke dalam sistem demokrasi terpimpin lebih baik dan akan lebih mudah mewarnainya dari pada di luar sistem. Oleh mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Buya Ahmad Syafii Maarif, proses ini disebut periode kolaborasi  yakni kerjasama partai-partai Islam (minus Masyumi) dengan PKI dan kelompok nasionalis.


Namun, yang jelas, apa pun yang dipilih oleh partai-partai Islam, menolak atau menerima demokrasi terpimpin, kedua-duanya sama hancur. Masyumi dibubarkan, NU juga terjungkal pasca gagalnya kudeta PKI pada 30 September 1965, dan perjuangan politik Islam di Indonesia kembali gagal.

Menurut Buya Syafii Maarif, ada tiga faktor utama kegagalan politik Islam di era demokrasi terpimpin. Pertama, dikalangan partai Islam sendiri tidak dapat kata sepakat dalam menghadapi konstelasi politik saat itu.

Kedua, dari sudut historis, perpecahan tidak terlepas dari pertentangan paham antara kelompok modernis dan tradisional. NU sebagai kelompok tradisional sering terlibat polemik khilafiyah dengan Persis dan Muhammadiyah (sampai sekarang masih terjadi). Ditambah, adanya ketidakpuasan atas kekuasan ditubuh Masyumi oleh NU.

Ketiga, perpecahan ditubuh partai-partai Islam dibaca dengan sangat jeli oleh Soekarno. Karenanya, Soekarno memainkan politik belah bambu; mengangkat yang satu dan menginjak yang lainnya. Soekarno membubarkan Masyumi dan membela partai-partai tradisional lainnya sebagai salahsatu pilar penopang kekuasaannya.

Trauma politik belah bambu inilah yang mungkin ditafsirkan oleh Muhammadiyah, HSN bisa membuka luka lama yang hampir mengoyak-ngoyak persaudaraan dan persatuan antar ummat Islam di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun