Mohon tunggu...
Riduan Situmorang
Riduan Situmorang Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Riduan Situmorang seorang alumni dari SMA Seminari Menengah Christus Sacerdos P. Siantar dan sedang kuliah di FBS Unimed. Lahir di Simandampin, 31 Desember 1987

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bagaimana Meregenerasi Petani?

20 Mei 2019   10:05 Diperbarui: 20 Mei 2019   10:12 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagaimana Meregenerasi Petani?

Bukan hanya halaman depan, pertanian tak bisa dimungkiri sesungguhnya adalah takdir negara ini. Sejarah dan berbagai literatur sudah menuturkan hal ini. Dalam sebuah lirik lagu, misalnya, disebut begini: orang bilang tanah kita tanah surga; tongkah kayu dan batu jadi tanaman. 

Lirik ini persis seperti kisah kecemburuan orang Jepang kepada nenek saya yang dulu pernah hidup pada masa penjajahan. Konon orang Jepang berkata kepada nenek saya begini: "Hidup di Indonesia itu nikmat. Tinggal buang batang singkong sembarangan, tak usah diurus, maka itu akan panen."

Dan, sesungguhnya, negara ini dikunjungi banyak kaum untuk berdagang tak lain tak bukan adalah karena kesuburannya. Tak tanggung-tanggung jumlahnya, mulai dari Persia, Arab, Cina, Eropa. 

Pada akhirnya, bangsa Eropa, seperti  Inggris, Portugis, Belanda malah menjajah dan menjarah Indonesia. Mereka menjadikan  Indonesia sebagai lumbung uang untuk membiayai keserakahan kaumnya. Dibuatlah, misalnya, monopoli oleh VOC, sistem tanam paksa, hingga pengembangan perkebunan swasta besar melalui dikeluarkannya Agrarischwet 1870.

Kaum penjajah, bayangkanlah, harus rela mempertaruhkan nyawanya demi sampai ke Nusantara. Nyawa dianggap sepadan dengan kesuburan tanah Ibu Pertiwi. Tak sampai di situ, mereka juga harus mengorbankan banyak hal untuk berperang semata agar tanah subur itu bisa mereka nikmati hasilnya. Dan, segala pengorbanan itu bagi mereka lebih dari sepadan. 

Terbukti, sebagaimana dituliskan Agus Pakpahan, hasil Tanam Paksa pada 1860 saja sudah mencapai 32 juta guilder atau sekitar 78% dari total pengeluaran pemerintah Belanda pada saat itu.

Beraneka Ragam

Hasil pertanian kita pun beraneka ragam. Semua bisa dibudidayakan. Kopi, misalnya, pada 1800-an, gula (1920-an), lalu karet (1960-an). Sayangnya, takdir dan halaman depan bangsa ini tidak kita sahuti dengan baik. Malah, takdir itu, kita buang jauh-jauh. Saban hari, misalnya, orang tua bekerja keras di sawah umumnya dengan satu mimpi utama: agar anak tak lagi menjadi petani. 

Bahkan, orang tua rela melepas beberapa petak sawahnya asal anaknya punya modal untuk sekolah atau bekal untuk berangkat ke kota. Bagi kita, takdir ini nyata-nyata begitu getir.

Kita tak sadar betapa nun jauh di negara maju, seperti Israel, mereka berupaya sekeras mungkin mengolah tanah gersang menjadi tanah subur. Kita malah sebaliknya: menjual dan menjerumuskan tanah subur. Apa pasal? Karena selain ditanamkan dalam-dalam ke benak kita sebuah doktrin bahwa petani adalah sebuah profesi miskin, kepada kita juga disematkan stigma bahwa petani itu profesi rendahan. 

Terkait ini, saya punya seorang teman di desa. Entah mengapa, saat SMA, dia tak lulus UN. Dia tak bisa lanjut kuliah, sementara saya lanjut. Dia pun menjadi petani.

Seturut jaman yang semakin modern, dia tak bermodalkan cangkul lagi untuk mengolah tanah, tapi sudah dengan traktor kecil. Dampaknya, hasil panennya melimpah. Dan, kini, secara ekonomi, dia jauh lebih kaya. Tetapi, entah mengapa, jika kami berjumpa seperti dalam reuni, dia selalu merasa minder. Dia selalu merasa gagal karena berprofesi sebagai petani. 

Padahal, teman saya itu termasuk petani beruntung. Dia petani yang tak miskin. Dia berkecukupan. Kalau bertemu dengan rekan sebaya, dia selalu membayar lebih banyak dari kami. Tetapi, meski demikian, tetap saja ia merasa gagal.

Teman saya itu hanya satu gambaran betapa generasi kita sangat malu menjadi petani. Semakin malu lagi karena umumnya petani tidak seperti teman saya yang berkecukupan itu. Umumnya petani hidup miskin. 

Kiranya, selain merasa gagal karena petani dianggap profesi rendahan, alasan yang paling sah mengapa profesi ini begitu dihindari adalah karena kemiskinan begitu dekat dengan profesi mereka. Bukan berarti kemiskinan merupakan anak kandurng, apalagi takdir dari pertanian. Kemiskinan umumnya hanya salah satu dampak dari salah urus pertanian.

Akan Ditolak

Betapa tidak, dalam data BPS 2017, misalnya, disebutkan bahwa indeks yang diterima petani hanya sebesar RP127,96. Bandingkan dengan indeks yang harus dibayar: sebesar 131,37. Petani benar-benar dirugikan. Mereka rugi secara tenaga, rugi pula secara materi. 

Jika tak salah urus, pemerintah seperti tak benar-benar mendukung profesi petani. Justru, ada kesan, pemerintah lebih mengarahkan generasi muda ke profesi lainnya. Bukti ini tak hanya soal bagaimana pemerintah tak hadir mengedukasi generasi muda tentang takdir bangsa ini.

Mari kita lihat data. Menurut studinya, BPS dan PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis), misalnya, menyebutkan bahwa pertumbuhan harga beras periode 2007-2016 mencapai angka 124,2 persen. Sementara harga gabah kering giling hasil panen hanya 99,6 dan 99,2 persen. 

Ada ketimpangan luar biasa. Maka, jangan terkejut jika generasi muda kita ogah bertani. Apalagi kemudian, menurut Arif Budimanta, pendapatan mereka hanya kisaran Rp438.125,00-Rp692.563,00. Siapa yang mau hidup dengan pendapatan itu?

Terus terang, melihat fakta ini, saya khawatir, ke depan, takdir bangsa ini akan ditolak. Halaman depan akan dihindari. Orang tua akan semakin kencang menjual lahan agar anaknya tak menjadi petani. Gejala ini sudah benar-benar terlihat. Ini terafirmasikan dalam laporan Sensus Pertanian 2013, bahwa pemuda yang bekerja di sektor pertanian menurun dalam 10 tahun belakangan. 

Seturut kemudian, lahan pertanian pun menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 tercatat 7,1 juta hektare (ha). Luasan itu menurun jika dibandingkan tahun 2017, yakni seluas 7,75 juta ha.

Padahal, andai kita menyahuti takdir dan menghiasi halaman depan Nusantara ini dengan baik, kita berpotensi besar menjadi negara adiluhung di dunia. Kita punya lahan yang luas. Kita punya iklim yang mendukung. Kita dianugerahi cuaca yang ramah. 

Berkaca pada Israel yang menjadi negara adidaya di bidang pertanian dan perkebunan pada posisi kondisi lahan mereka sangat terbatas, belum lagi cuaca yang tak mendukung, kita semestinya punya potensi yang sangat besar untuk melebihi perolehan mereka. Hanya saja, kendalanya saat ini adalah generasi muda semakin tak meminati potensi pertanian.

Anak muda semakin abai pada lahan pertanian sehingga mereka tak merasa khawatir banyak lahan yang sangat bagus untuk pertanian digusur dan diolah menjadi lahan industri. Jika generasi muda semakin ogah bertani sehingga ke depan kita harus menimpor sembako, lantas apa yang semestinya kita lakukan? Tentu saja sederhana: regenerasi petani. 

Namun, jawaban sederhana ini mengandung tindakan yang tak sederhana. Tak sederhana karena pemerintah tak bisa lagi hanya mendukung, tetapi harus mempropagandakan betapa pertanian itu potensial menjadi sumber kemakmuran ekonomi di masa depan.

Dalam hal ini, pemerintah harus hadir untuk membongkar berbagai mitos bahwa petani ini profesi rendahan, juga bahwa petani itu sangat dekat dengan kemiskinan. Pemerintah harus berada di sisi petani. Harga harus teratur. Jangan lebih banyak beban daripada panen. 

Jangan ketika panen tiba, impor meraja lela. Di samping itu, pemerintah juga harus mendukung modernisasi pertanian. Hal ini perlu supaya petani tak dianggap profesi lumpur semata. Modernisasi dalam artian alat-alat teknologi canggih harus segera didesain.

Saya jadi teringat tahun 2015 yang lalu. Ketika itu, saya bersama dengan PLOt  mengadakan pertunjukan keliling di Jerman. Jerman adalah negara maju. Tetapi, yang membuat saya terkesima bukan soal infrastruktur yang mewah atau gedung yang menjulang. Yang membuat saya terkesima adalah alamnya yang asri. Perkebunan dan pertanian mereka sangat luas. 

Bahkan, di kota sekalipun ada kebun. Yang jauh membuat saya lebih terkesima lagi adalah bukan lahan pertanian, melainkan luas dan rapinya lahan itu, tetapi hampir tak satu pun orang yang kelihatan. Ibaratnya, tak ada pekerja, tetapi hasilnya melimpah.

Beda di tempat kita. Petaninya banyak, tetapi hasilnya minim. Orang Jerman ke lahan naik mobil mewah, tetapi kita malah sebaliknya. Mengapa? Karena menjadi petani di sana bukan soal takdir, tetapi soal pilihan. Mereka orang-orang terlatih. Bertani bukan nasib sial, melainkan sebuah profesi mulia. 

Kita sebenarnya bisa menirunya melalui edukasi bahwa bertani itu tak harus kotor-kotor dan bukan pekerjaan murahan. Ini bisa dilakukan kalau sudah ada integrasi antara ilmu dan teknologi lalu diterapkan dalam perkebunan.

Ogah Menjawab

Inilah yang sudah dilakukan Israel. Petani dan pekebun mereka tak lagi kotor-kotor. Warga kita ogah kotor, tentu saja. Selain itu, pemerintah juga mendukung pemasaran hasil pertanian sehingga warganya ramai-ramai menjadi petani. 

Beda dengan kita, jangankan pemuda secara umum, pemuda sarjana dari Ilmu Pertanian pun jatuh-jatuhnya belajar tinggi-tinggi hanya agar bisa bekerja di kantor pertanian, sykur-syukur menjadi PNS di kementerian terakit, bukan agar bisa memodifikasi pertanian dengan bekal ilmu yang sudah ditempuh.

Intinya, karena takdir dan halaman depan bangsa ini ada pada pertanian, pemerintah harus hadir untuk mendukung pemuda sebagai petani. Mendukung bukan soal memberikan lahan, tetapi juga bagaimana membantu agar hasil panen menjadi komoditas berharga.

Ada pertanyaan dari Bung Karno ketika mendirikan IPB yang ogah kita jawab hingga hari ini: kenapa dari kalangan-kalanganmu begitu kecil minat untuk studi ilmu pertanian? Pertanyaan ini bisa diturunkan lagi: kenapa generasi muda semakin menghindari profesi pertanian.

Saya sebut ogah karena kita sebenarnya tahu jawabannya sangat sederhana: karena pemerintah tak pernah benar-benar mendukung profesi petani dari dulu hingga saat ini! Jadi, bagaimana membuat agar orang muda kembali bertani? 

Sedikit mungkin, berkacalah pada negara-negara maju yang tak hanya mengintegrasikan sains dengan pertanian, tetapi juga membantu agar hasil pertanian itu mewah secara ekonomi sehingga warganya pun tak merasa terkutuk dan terkucil ketika memilih profesi sebagai petani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun