Mohon tunggu...
Riduan Situmorang
Riduan Situmorang Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Riduan Situmorang seorang alumni dari SMA Seminari Menengah Christus Sacerdos P. Siantar dan sedang kuliah di FBS Unimed. Lahir di Simandampin, 31 Desember 1987

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bagaimana Meregenerasi Petani?

20 Mei 2019   10:05 Diperbarui: 20 Mei 2019   10:12 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terkait ini, saya punya seorang teman di desa. Entah mengapa, saat SMA, dia tak lulus UN. Dia tak bisa lanjut kuliah, sementara saya lanjut. Dia pun menjadi petani.

Seturut jaman yang semakin modern, dia tak bermodalkan cangkul lagi untuk mengolah tanah, tapi sudah dengan traktor kecil. Dampaknya, hasil panennya melimpah. Dan, kini, secara ekonomi, dia jauh lebih kaya. Tetapi, entah mengapa, jika kami berjumpa seperti dalam reuni, dia selalu merasa minder. Dia selalu merasa gagal karena berprofesi sebagai petani. 

Padahal, teman saya itu termasuk petani beruntung. Dia petani yang tak miskin. Dia berkecukupan. Kalau bertemu dengan rekan sebaya, dia selalu membayar lebih banyak dari kami. Tetapi, meski demikian, tetap saja ia merasa gagal.

Teman saya itu hanya satu gambaran betapa generasi kita sangat malu menjadi petani. Semakin malu lagi karena umumnya petani tidak seperti teman saya yang berkecukupan itu. Umumnya petani hidup miskin. 

Kiranya, selain merasa gagal karena petani dianggap profesi rendahan, alasan yang paling sah mengapa profesi ini begitu dihindari adalah karena kemiskinan begitu dekat dengan profesi mereka. Bukan berarti kemiskinan merupakan anak kandurng, apalagi takdir dari pertanian. Kemiskinan umumnya hanya salah satu dampak dari salah urus pertanian.

Akan Ditolak

Betapa tidak, dalam data BPS 2017, misalnya, disebutkan bahwa indeks yang diterima petani hanya sebesar RP127,96. Bandingkan dengan indeks yang harus dibayar: sebesar 131,37. Petani benar-benar dirugikan. Mereka rugi secara tenaga, rugi pula secara materi. 

Jika tak salah urus, pemerintah seperti tak benar-benar mendukung profesi petani. Justru, ada kesan, pemerintah lebih mengarahkan generasi muda ke profesi lainnya. Bukti ini tak hanya soal bagaimana pemerintah tak hadir mengedukasi generasi muda tentang takdir bangsa ini.

Mari kita lihat data. Menurut studinya, BPS dan PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis), misalnya, menyebutkan bahwa pertumbuhan harga beras periode 2007-2016 mencapai angka 124,2 persen. Sementara harga gabah kering giling hasil panen hanya 99,6 dan 99,2 persen. 

Ada ketimpangan luar biasa. Maka, jangan terkejut jika generasi muda kita ogah bertani. Apalagi kemudian, menurut Arif Budimanta, pendapatan mereka hanya kisaran Rp438.125,00-Rp692.563,00. Siapa yang mau hidup dengan pendapatan itu?

Terus terang, melihat fakta ini, saya khawatir, ke depan, takdir bangsa ini akan ditolak. Halaman depan akan dihindari. Orang tua akan semakin kencang menjual lahan agar anaknya tak menjadi petani. Gejala ini sudah benar-benar terlihat. Ini terafirmasikan dalam laporan Sensus Pertanian 2013, bahwa pemuda yang bekerja di sektor pertanian menurun dalam 10 tahun belakangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun