Mohon tunggu...
Muhamad Baqir Al Ridhawi
Muhamad Baqir Al Ridhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lagi belajar nulis setiap hari.

Blogku sepi sekali, kayaknya cuma jadi arsip untuk dibaca sendiri. Hohohoho. www.pesanglongan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kayaknya Mengingat Kematian Adalah Kebutuhan Jiwa

15 Januari 2021   07:51 Diperbarui: 15 Januari 2021   07:55 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Dulu aku pernah mencoba menerapkan nasihat Karma Ura itu dengan buku Selasa Bersama Morrie (Mitch Albom). Tetapi karena membaca 209 halaman kurasa cukup lama, maka aku mengganti cermin perenunganku itu. Aku ganti dengan Syair Al-I'tiraf, Abu Nuwas yang dilagukan dengan lembut oleh Habib Haddad Alwi Assegaf (silakan kalau mau dicoba, Anda bisa menemukannya di YouTube).

Di hari pertama, yang terjadi cukup menggetarkan hati. Aku menangis ketika merenungi tiap arti yang aku baca dari syair itu dan membayangkan momen, detik-detik Abu Nuwas hendak meninggal. Di hari kedua pun sama, aku menangis. Namun di hari ketiga, entah kenapa aku tidak menangis lagi. Tidak bisa menangis lagi. Waktu itu aku malah berpikir, kalau aku keseringan merenungi kematian maka merenungi kematian tidak jadi peristiwa yang sakral lagi. Buktinya aku tidak bisa menangis lagi. Karena aku sudah terbiasa.

Ter-bi-a-sa?

Pikiran anehku berbicara, "Hei, hati-hati bagaimana kalau law of attraction-lah yang terjadi. Hukum tarik-menarik dan yang tertarik adalah hawa-hawa kema---hiiihh... "

"Heh! Kalau begitu berarti aku masih takut kematian," sahut lainnya.

"Memang. Maka dari itu aku berhenti melakukan itu setiap hari."

Namun sekarang, sesudah membaca tulisan Mas Sabrang itu, aku merenungi itu lagi. Aku ingin merenung kematian lagi. Aku ingin menyadari bahwa kematian adalah keniscayaan dan bisa terjadi kapan saja.

Aku juga punya argumen lain dan baru untuk itu. Mungkin kalau aku merasa ingin menangis berarti aku belum menerima apa-apa yang sudah aku lakukan. Belum menerima dosa-dosa yang sudah aku lakukan. Belum menerima takdir yang Tuhan kehendaki. Tetapi aku tetap harus menangis, karena kejujuran, karena itu juga penyembuh rasa penyesalanku. Buktinya sesudah itu rasanya sangat melegakan. Sedangkan ketika aku tidak menangis, mungkin itu pertanda bahwa aku sudah menerima perbuatan-perbuatanku dulu. Segala dosa-dosaku. Aku sudah menerima takdir Tuhan. Aku sudah menerima apa yang mestinya aku terima. Aku menerima hidupku apa adanya. Bagaimana pun keadaannya.

Maka, sepertinya, patut untuk aku coba lagi dan aku di-setiap-harikan lagi.

Kalau bisa.

Aku tutup dengan dalil dulu ya:

Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho (menerima) dan diridhoi-Nya (diterima-Nya).

(QS: Al-Fajr: 27-28)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun