Mohon tunggu...
Muhamad Baqir Al Ridhawi
Muhamad Baqir Al Ridhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lagi belajar nulis setiap hari.

Blogku sepi sekali, kayaknya cuma jadi arsip untuk dibaca sendiri. Hohohoho. www.pesanglongan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kayaknya Mengingat Kematian Adalah Kebutuhan Jiwa

15 Januari 2021   07:51 Diperbarui: 15 Januari 2021   07:55 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kayaknya Ingat Kematian Adalah Kebutuhan Jiwa

Kemarin saja, 13 Januari 2021, aku yang biasa memantau website Caknun.com menemukan tulisan menarik dari idolaku, Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh son of Cak Nun. Di segmen 'tetes', dia membuat tulisan berjudul Kesadaran dan Perubahan Perilaku. Dan kalimat-kalimat terakhirnya itu sangat mengena padaku.

Ketika orang sadar bahwa dia akan mati, perilakunya pasti sama sekali berubah. Karena dia akan menjaga dirinya agar tidak berbuat sesuatu yang akan dia sesali.

Gara-gara itu aku jadi ingat buku The Geography of Bliss (Eric Weiner) yang pernah aku pinjam dan baca dari perpustakaan kota Pekalongan. Tepatnya, aku ingat isinya itu. Ingat waktu Eric Weiner berada di Bhutan, dan sowan ke Karma Ura, direktur Pusat Kajian Bhutan. Ketika Weiner menceritakan serangan paniknya dan meminta nasihat, Karma Ura bilang, "Anda harus memikirkan tentang kematian selama lima menit setiap hari. Itu akan menyembuhkanmu."

"Bagaimana bisa?" tanya Weiner.

"Hal inilah, rasa takut akan kematian ini, rasa takut akan meninggal sebelum kita mencapai apa yang kita inginkan atau ingin melihat anak-anak tumbuh dewasa. Hal inilah yang mengganggu Anda."

"Tetapi mengapa saya ingin memikirkan hal yang membuat depresi?" tanya Weiner lagi.

"Orang-orang kaya di negara Barat, mereka belum pernah menyentuh mayat, luka yang segar, barang yang busuk. Ini yang menjadi masalah. Ini merupakan kondisi manusia biasa. Kita harus siap untuk saat-saat kita berhenti berada lagi di dunia ini."

Kalau bicara "merenungi kematian" aku tidak lupa melibatkan buku membaca buku Selasa Bersama Morrie (Mitch Albom). Bagiku itu adalah buku pengingat kematian. Buku itu berisi perbincangan Mitch dan Morrie yang sekarat. Iya sekarat: Morrie mengidap penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS), atau penyakit Lou Gehrig, sebuah penyakit ganas, tak kenal ampun yang menyerang sistem sarafnya. Yang membuatnya semakin memburuk seiring berjalannya waktu, hingga menyebabkan kelumpuhan.

Obrolan mereka pun jadi tampak intim dan penuh makna. Saat membacanya aku merasa berada di sana, menyimak kata-kata Morrie langsung. Soalnya mengilustrasikan kondisi Morrie yang sekarat dengan tulisan yang sederhana nan cukup. Tidak begitu detail, tapi cukup menggambarkan. Dan bisa membikin nuansa percakapannya begitu mendalam.

Kendati buku ini tergolong tipis, aku menghabiskannya agak lama. Banyak perenungan, refleksi yang otomatis terjadi saat aku membaca setiap lembarnya. Bahkan aku merasa sayang sekali untuk membalikkan halamannya. Aku merasa ingin lama-lama merenung. Aku ingin halaman buku ini lebih banyak lagi.

Dulu aku pernah mencoba menerapkan nasihat Karma Ura itu dengan buku Selasa Bersama Morrie (Mitch Albom). Tetapi karena membaca 209 halaman kurasa cukup lama, maka aku mengganti cermin perenunganku itu. Aku ganti dengan Syair Al-I'tiraf, Abu Nuwas yang dilagukan dengan lembut oleh Habib Haddad Alwi Assegaf (silakan kalau mau dicoba, Anda bisa menemukannya di YouTube).

Di hari pertama, yang terjadi cukup menggetarkan hati. Aku menangis ketika merenungi tiap arti yang aku baca dari syair itu dan membayangkan momen, detik-detik Abu Nuwas hendak meninggal. Di hari kedua pun sama, aku menangis. Namun di hari ketiga, entah kenapa aku tidak menangis lagi. Tidak bisa menangis lagi. Waktu itu aku malah berpikir, kalau aku keseringan merenungi kematian maka merenungi kematian tidak jadi peristiwa yang sakral lagi. Buktinya aku tidak bisa menangis lagi. Karena aku sudah terbiasa.

Ter-bi-a-sa?

Pikiran anehku berbicara, "Hei, hati-hati bagaimana kalau law of attraction-lah yang terjadi. Hukum tarik-menarik dan yang tertarik adalah hawa-hawa kema---hiiihh... "

"Heh! Kalau begitu berarti aku masih takut kematian," sahut lainnya.

"Memang. Maka dari itu aku berhenti melakukan itu setiap hari."

Namun sekarang, sesudah membaca tulisan Mas Sabrang itu, aku merenungi itu lagi. Aku ingin merenung kematian lagi. Aku ingin menyadari bahwa kematian adalah keniscayaan dan bisa terjadi kapan saja.

Aku juga punya argumen lain dan baru untuk itu. Mungkin kalau aku merasa ingin menangis berarti aku belum menerima apa-apa yang sudah aku lakukan. Belum menerima dosa-dosa yang sudah aku lakukan. Belum menerima takdir yang Tuhan kehendaki. Tetapi aku tetap harus menangis, karena kejujuran, karena itu juga penyembuh rasa penyesalanku. Buktinya sesudah itu rasanya sangat melegakan. Sedangkan ketika aku tidak menangis, mungkin itu pertanda bahwa aku sudah menerima perbuatan-perbuatanku dulu. Segala dosa-dosaku. Aku sudah menerima takdir Tuhan. Aku sudah menerima apa yang mestinya aku terima. Aku menerima hidupku apa adanya. Bagaimana pun keadaannya.

Maka, sepertinya, patut untuk aku coba lagi dan aku di-setiap-harikan lagi.

Kalau bisa.

Aku tutup dengan dalil dulu ya:

Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho (menerima) dan diridhoi-Nya (diterima-Nya).

(QS: Al-Fajr: 27-28)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun