Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Etika Debat Rocky Gerung Vs Prof. Henry, Nyasar

31 Agustus 2020   16:46 Diperbarui: 31 Agustus 2020   16:57 2392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Fajar.co.id

 Sebenarnya saya sebagai pribadi cukup mengerti, content debat panas Dua Sisi, antara Rocky Gerung, Prof. Henry dari Menkominfo dan Ali Mochtar Ngabalin di TV One pada hari Kamis, 27 Agustus 2020 lalu, jika diadakan dalam ruang terbatas.

Yang jadi masalah, ketika Rocky dan Henry, dalam diskusinya terkesan 'menyerang pribadi' dari pada debat tentang isi diskusi mereka yang fokus pada 'Influencer', terjadi di TV. 

Mereka berdebat tetang hasil temuan Indonesian Corruption Watch (ICW), terkait dana pembiayaan Influencer yang mencapai Rp. 90.45 milyar, yang semua orang melihat bagaimana kualitas debat keduanya, sebagai orang terpelajar

Yang saya ingin bahas di sini bukan besarnya dana, atau dikemanakannya. Tetapi lebih pada bagaimana kedua tokoh tersebut mengedepankan etika berdebat.

*****
Saya mengenal peran 'etika' dari sejak masa anak-anak. Saya dikenalkan bagaimana bersikap, terhadap teman, kepada orang yang lebih tua, tetangga atau kepada orang lain yang tidak dikenal. Kedudukan etika ini begitu penting, seolah-olah tidak ada habisnya dibicarakan.

Sampai sekarang pun, etika tidak pernah selesai dibahas. Setiap daerah punya etika sendiri. Apa yang dianggap biasa di Aceh, bisa jadi dianggap luar biasa di Jawa. Demikian sebaliknya.  

Contoh kecil, di Aceh, orang dewasa pria di sana, tidak biasa mengenakan celana pendek, kecuali pendatang atau Turis. Ini adalah contoh sepele soal pakaian. Sementara di Jawa, pemandangan ini terlihat sangat umum.

Suatu hari, dalam perjalanan dari Malang menuju Surabaya, kami naik bus umum, tapi kami belum tahun harus turun di mana. Merasa belum tahu, kami bertanya pada salah seorang penumpang yang ada di depan saya.

Saya agak terkejut ketika yang menjawab bukan hanya satu orang yang berada di depan kami, sebagai orang utama yang kami tanya. Melainkan beberapa orang ikut serta menjawab, seperti 'berdebat'. 

Bagi kami, di Aceh, ini tidak umum. Di Aceh, sepertinya kami tidak 'akrab' pada situasi seperti ini. Mungkin karena memang budaya yang berbeda.

Di sinilah peran etika yang sangat subyektik. Apa yang baik bagi kita baik, belum tentu dianggap benar bagi orang lain. Yang benar pun bagi kami, belum tentu baik bagi orang lain.  Demikian sebaliknya.

Universal Ethics

Meskipun demikian, di dunia ini, ada norma-norma yang sifatnya universal, yang berlaku di seluru dunia dan harus kita jaga. Misalnya, mencemooh, itu di mana-mana sama persepsinya. 

Mencemooh itu tidak baik. Apakah di Eropa, Amerika, Asia atau Australia tidak beda. Kalau ada orang bicara kemudian kita potong pembicaraannya, itu juga tidak etis. Menyerang pribadi saat diskusi, itu pula tidak elok.

Di dunia ini kita mengenal 'bahasa' yang kedudukannya dimuliakan sebagai bentuk sikap penghargaan antara manusia satu terhadap lainnya. Lebih spesifiknya, ada kata-kata universal di dunia ini yang berlaku di mana-mana. Semua sepakat, semua seragam. 

Yakni kata-kata: maaf (sorry), permisi (excuse me) dan terima kasih (Thank you). Tiga kata ini sangat mujarab. Tiga kata itulah tolok ukur sikap, yakni baik buruknya  seseorang di mata orang lain.

Mau bertamu, bertanya di jalan, di pasar, dalam kendaraan, di pusat pertokoan, kantor-kantor umum, di stasiun kereta, bandara, berdebat, hingga toilet umum. Semuanya relevan dan bisa digunakan. Seolah satu paket.

Contohnya, :"Permisi pak, boleh mengganggu sebentar. Di mana letak Kantor Pos ya? "

Sesudah mendapatkan jawabannya, yang bertanya umumnya menyampaikan ucapan 'terima kasih'. Tidak jarang juga diikuti, :"Maaf sudah mengganggu."

Sebaliknya, mereka yang pelit, bisa jadi tidak menggunakan ketiga kata tersebut. Mereka ini dianggap sebagai orang yang 'tidak punya etika'. Perlakuan tersebut berlaku universal.

Pergeseran Nilai

Namun zaman sudah mulai berubah, sejak memasuki era digital. Orang mulai merasa tergesa-gesah dalam banyak hal, merasa waktunya sempit, serta menggunakan media elektronik sebagai sarana utama dalam pergaulannya. 

Perubahan zaman ini diikuti dengan adanya pergeseran sikap. Di antaranya membuat orang, ada yang tidak tahu atau tidak mau tahu bagaimana harus membawa diri. Karena aturannya berbeda. Orang tidak tahu etika email, etika kirim atau menerima pesan, etika penggunaan huruf dan warna huruf, dan lain-lain.

Akibatnya, orang lain yang merasa tahu etika, bisa salah persepsi. Hanya karena di pihak yang satu tidak tahu kapan menggunakan huruf besar atau huruf kecil, pihak kedua menganggap pihak satu tidak punya etika saat kirim pesan yang ditulis dalam Capital Letter semuanya.

Oleh sebab itu muncul ilmu baru, misalnya Email Ethics. Dalam ilmu ini dipelajari bagaimana cara-cara mengirim atau menulis email yang memenuhi syarat etika. Ada yang paham, jutaan lainya tidak mengerti. Ada yang sekilas tahu lewat teman.

Makanya, kita tidak bisa begitu saja kita menyalahkan orang lain, terkait kirim-mengirim pesan elektronik ini.

Demikian pula dalam etika berbedat di depan public. Sebenarnya sudah ada etikanya. Semuanya mengalami pergeseran nilai.
Meski demikian, sebagai orang terpelajar yang tentu saja tahu adat serta bagaimana hidup beradab, diharapkan tahu begaimana hars bersikap, terutama jika berhadapan dengan orang lain.

Viralnya video pembicaraan Rocky Gerung dan Profesor Henry, dosen Universitas Airlangga adalah contoh nyata yang kita sesalkan. Seharusnya, sebagai tokoh public, mestinya menjadi panutan, tidak secara vulgar menunjukkan sikap demikian. Terlebih di era zaman digital ini.      

Rocky Gerung dan Profesor Henry

Dua orang professor ini pasti tahu, bagaimana etika berdebat. Jadi tidak perlu dikritik. Pasti mereka tidak akan menerima kritikan kita, seolah mereka paling tahu bagaimana harus bersikap. 

Padahal, kedua-duanya 'salah' ketika saling menyerang bukan pada isi utama atau bahan diskusinya, namun keduanya saling menyerang pribadi masing-masing. Ada kesan debat ini tidak lebih dari saling membully.

Misalnya, saya kutip sebagain percakapan mereka berikut ini dari Warta Kota.Tribunnews.com (31/8/2020):

"Supaya orang seperti Rocky ini tahu fakta. Dia hanya bicara secara imajinasi dan teori-teori yang kadang-kadang di kampus saya sudah ketinggalan zaman," ungkap Henry.

"Saya Guru Besar Universitas Airlangga," tambahnya. 

Ucapan profesor itu justru mendapat sindiran dari Rocky Gerung.

"Mudah-mudahan otakmu besar juga," sindir Rocky Gerung. "Minimal saya profesor beneran, kalau Anda 'kan belum tentu," balas Henry.

Ini merupakan contoh diskusi yang tidak sehat, yang tidak memberikan pembelajaran pada masyarakat tentang bagaimana pentingnya menjaga etika saat berdebat, di tengah sengitnya perbedaan pendapat. Ternyata, etika tidak memandang gelar. Profesor pun bisa salah sikap. Diskusinya jadi nyasar.

Rocky Gerung asal Sulawesi Utara dan Henry Subiakto asal Yogyakarta. Dua latar belakang suku yang berbeda, dan jauh pula perbedaan karakternya. Tetapi etika debat tidak mengenal asal suku dan karakter pelakunya. Etika berdebat di mana-mana sama, harus tetap dikedepankan. Khususnya kalangan terpelajar. 

Agar tidak nyasar, kalau berdebat sebaiknya jangan menyerang pribadi atau individu lawan bicara. Kalau ini terjadi, yang professor pun gelarnya, bisa-bisa 'diturunkan' derajadnya oleh pemirsa. Mereka dianggap sebagai orang yang tidak tahu adab dan kurang berpendidikan.  Tuh kan?  

Malang, 31 August 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun