Mohon tunggu...
Rida Nugrahawati
Rida Nugrahawati Mohon Tunggu... karyawan -

-- Penyuka Imajinasi dan Cerita Fiksi -- 🏡 Kuningan-Jabar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Nak, Abaikan Saja Mereka

3 Desember 2018   21:23 Diperbarui: 3 Desember 2018   21:34 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : potretpendudukindonesia.com

Mendengar suatu keanehan di malam hari membuatku terbangun. Mungkin itu suara percakapan tetangga sebelah. Atau mungkin suara angin. Entahlah yang pasti aku merasa lelah, tak ingin terganggu dengan keanehan-keanehan seperti itu.

Malam demi malam selalu terdengar suara aneh. Tepat pada malam ini aku memberanikan diri melihat keluar. Membuka tirai jendela dan menengok kanan kiri namun tak ada siapa pun bahkan dedaunan diam, tak ada angin.

"Apa mungkin itu hantu, tapi ah tak mungkin" ucapku.

Aku mematikan lampu dan langsung melanjutkan tidur.

"Toktoktok.."

Terdengar suara ketukan dari arah jendela. Jantungku berdebar kencang apakah itu orang jahat atau mungkin hantu. Aku kembali membuka tirai jendela, kali ini aku melihat bayangan hitam. Aku memperhatikan bayangan itu.


"Astaga.." ucapku kaget karena melihat anak kecil berdiri di balik jendela.

Anak kecil laki-laki berusia sekitar 3tahun memakai pakaian lusuh, sobek dan tak memakai sandal. Wajahnya terlihat kebingungan. Aku membuka jendela.

"Kenapa dek?" tanyaku.

Sayangnya setelah aku bertanya berkali-kali tak satu pun ia menjawab. Ia tiba-tiba menangis. Terdengar suara ketukan pintu, mungkin itu ibuku. Anak kecil itu berisyarat agar aku tak memberitahu keberadaannya kepada siapa pun. Aku mengangguk dan langsung berjalan untuk membuka pintu.

"Iya Bu.." ucapku.

"Mutia kamu belum tidur? Tadi ibu mendengar kamu berbicara dengan siapa? Kenapa jendela terbuka seperti itu?" tanya ibu.

"Mutia terbangun Bu, ada teman menelepon tadi tak ada sinyal makanya Mutia membuka jendela" jawabku.

"Apa hubungannya sinyal dan jendela? Hmm ya sudah tutup jendelanya dan cepat tidur" ucap ibuku.

"Ibu besok pagi jadi pergi ke Bandung?" tanyaku.

"Iya tadinya akan besok pagi tapi dipercepat jadi malam ini. Ibu akan pergi ke Bandung bersama ayah. Kakakmu tak jadi ikut. Mutia berubah pikiran akan ikut?" tanya ibu.

"Tidak ibu, Mutia di rumah saja" jawabku.

"Iya, hanya sehari ibu dan ayahmu ke Bandung. Jaga dirimu baik-baik, jangan main jauh-jauh" pinta ibu.

"Oke ibu hati-hati jangan lupa oleh-olehnya. Bu, katakan pada ayah tolong belikan barang yang kemarin aku katakan" ucapku sambil mengecup pipinya.

"Baiklah, cepat sana tidur" ucap ibuku sambil menutup pintu.

Setelah beberapa saat aku melihat keluar melalui jendela. Anak itu masih duduk di balik jendela kamarku. Merasa sangat kasihan, ia terlihat kedinginan. Aku memberikan isyarat agar ia masuk ke kamarku. Aku langsung menutup jendela setelah anak itu berada di kamarku.

"Apa kamu tak dapat berbicara dek?" tanyaku.

Ia hanya mengangguk dan menangis. Aku berkata agar ia jangan menangis takut jika ada yang mendengar. Ia langsung terdiam, menatap dalam mataku. Ia terlihat sangat lusuh dan kotor akhirnya aku mengajak untuk membersihkan badannya. Ia mengangguk terlihat senang.

Sebenarnya mandi malam tidak dianjurkan namun daripada tubuhnya kotor. Aku memandikannya menggunakan air hangat. Ia hanya tersenyum, tertawa. Untung saja aku masih menyimpan kaos dan celana keponakan perempuanku di dalam lemari. Bagiku tak masalah daripada ia memakai pakaian kotor.

Aku pergi ke dapur sendiri mencari makanan untuk anak itu. Aku terlalu fokus mencari makanan di kulkas sampai-sampai tak melihat kakak sedang berdiri di samping kulkas.

"Ko kamu tumben de malam-malam begini makan?" tanya kakak.

"Memang tak boleh kak kalau aku makan malam-malam? Aku lapar sekali kak" jawabku.

"Tapi aneh saja" ucap kakakku.

Aku mengabaikan perkataan kakak dan langsung pergi ke kamar. Aku membawa roti tawar, selai, susu hangat dan nugget. Dengan lahapnya ia menghabiskan semua makanan.

"Besok aku antarkan kamu ke rumah, rumahmu jauh tidak dari sini?" tanyaku.
Ia mengangguk dan menunjuk pipi kanan dan kiri.

"Oh jaraknya seperti ini, jadi masih dekat ya" ucapku sambil menunjuk pipi kanan dan kiri.

Ia mengangguk dan tersenyum.

"Apakah kamu mempunyai nama?" tanyaku.

Ia menggeleng.

"Ya sudah aku beri nama Rasya saja bagaimana?" tanyaku.

Ia mengangguk dan memelukku. Aku mengajaknya untuk tidur karena waktu menunjukkan pukul 00.15. Ia tidur di sebelahku memeluk boneka kesayanganku.

***
Rasya menggoyang-goyangkan tubuhku. Itu mengganggu tidurku.

"Mutia bangun sudah siang, tolong kunci pagar rumah kakak akan pergi traveling ke luar dulu" terdengar suara kakak.

"Mutia cepat bangun.."

"Iya kak, Mutia sudah bangun"

Aku langsung turun dari tempat tidur, di depan kamar sudah ada kakak. Ia mendorong tubuhku agar cepat ke depan rumah. Kakak pergi, aku langsung mengunci pagar rumah.

"Rasya ke mana kok di dalam kamar tidak ada?" tanyaku dalam hati.

Aku terus mencarinya ternyata ia sedang di dapur memakan sisa makanan kakak.

"Jangan, itu makanan bekas. Aku buatkan lagi makanan untukmu. Kamu duduk dulu di situ" ucapku.

Aku memasak nasi goreng sosis untuknya. Aku meminta untuk menghabiskan makanan dan menunggu di situ. Karena aku akan mandi dan bersiap-siap. Setelah pakaianku rapi, ia menarik menuju kamar mandi. Aku lupa belum memandikan Rasya.

"Jadi rumahmu dekat apa, bisakah kamu memberi isyarat kepadaku?" tanyaku.

Dia terdiam. Aku sangat kebingungan. Akhirnya aku membuka google maps.

"Kamu sekarang lihat handphoneku, kira-kira tempat mana yang kau ingat?" tanyaku.

Ia menunjuk ke arah sungai dekat lampu merah itu.

"Apakah rumahmu dari lampu merah dekat sungai ini belok ke kiri dan dekat penampungan sampah yang ini?" tanyaku sambil menunjuk handphone.

Ia mengangguk. Karena memang aku merasa pernah melihat anak ini di daerah sungai tempat penampungan sampah ketika bulan lalu aku memberi hadiah kepada anak-anak di sekitar itu.

Aku mengeluarkan motor, mengunci pintu rumah, pagar dan langsung berangkat ke lampu merah dekat sungai itu. Rasya duduk dibelakangku. Di tengah perjalanan, Rasya menarik-narik bajuku. Aku berhenti dan bertanya.

"Ada apa Rasya?"

Ia menunjuk ke arah apotek sambil terus menarik baju. Aku dan Rasya masuk menuju apotek, ia terlihat senang sambil berlari. Sebenarnya ada apa dengan Rasya.

"Silahkan mba  cari obat apa?" tanya apoteker.

"Hmm sebentar mba" jawabku.

"Kamu mengajakku kesini untuk apa? Kamu sedang sakit? Kamu ingin membeli obat?" ucapku sambil memegang dahi, leher dan tangannya.

Ia mengangguk dan menunjuk obat. Aku langsung menggendongnya. Ia menunjuk obat anti biotik, pereda nyeri dan beberapa vitamin. Aku langsung membelinya.

"Terima kasih, semoga lekas sembuh" ucap apoteker.

Aku melihat Rasya begitu bahagia seperti ada hal lain yang membuatnya seperti itu. Aku juga terus berpikir mengapa anak sekecil ini dapat mengetahui obat-obatan. Aku menghiraukannya, mungkin ia mengira permen.

Di sepanjang jalan aku terus berpikir, karena sangat penasaran perihal obat tadi. Akhirnya sampai di lampu merah, belok kiri ada sungai.

"Rasya sebentar lagi aku akan mengantarmu pulang, apa kamu senang? Jika kamu senang peluk aku dari belakang" ucapku sambil tertawa, Rasya ikut tertawa.

Sampailah kita di tempat penampungan sampah. Sungguh tak tega aku melihat banyak rumah di sekitarnya. Menurutku itu tak layak. Mengapa kesenjangan sosial sangat terlihat disini.

Tiba-tiba terlihat anak lelaki kurang lebih berusia 10 tahun berlari mendekati.

"Kamu kemana saja?" tanya anak itu.

Rasya memberikan isyarat seperti menceritakan bahwa ia bersamaku. Anak itu hanya mengangguk sepertinya memang mereka sudah akrab karena mengerti bahasa tubuh Rasya.

"Oh begitu. Kak maafkan adikku ini ya. Dia memang sedikit nakal. Semenjak sebulan yang lalu kakak memberi kami hadiah di depan pos itu setiap hari Fahmi duduk disana. Katanya menunggu kakak pemberi hadiah. Suatu ketika kami sedang berjalan, kami melihat kakak sedang duduk di depan rumah yang bagus. Adikku ingin menemuimu tapi aku selalu menahannya. Setiap malam Fahmi kabur dari rumah katanya ia ingin menjahili kakak. Tapi tadi malam Fahmi tak pulang juga. Aku tak bisa mencari Fahmi karena ibuku sedang sakit di rumah. Aku sangat khawatir" ucapnya menjelaskan panjang lebar.

"Oh seperti itu, tak apa. Jadi namanya Fahmi dan namamu siapa?" tanyaku.

"Namaku Farhan kak" ucapnya.

Fahmi memberi obat tadi pada Farhan. Kedua anak lelaki itu terlihat senang. Aku di ajak menuju rumah mereka. Banyak orang disana.

"Ibu..." ucap Farhan sambil berlari, Fahmi dan aku ikut berlari.

"Nak ibumu sudah kritis" ucap salah seorang ibu-ibu.

"Ya sudah kita bawa ke rumah sakit saja" ucapku.

"Tapi kami tak punya biaya" ucap Farhan.

"Tenang saja, soal biaya aku yang menanggung. Sebentar aku menelepon ambulan dulu" ucapku sambil menelepon.

Beberapa saat kemudian mobil ambulan datang membawa ibu mereka menuju rumah sakit. Tak ada satu warga yang ikut. Aku sedikit kesal. Sayang, ibu mereka tak dapat tertolong lagi. Mereka menangis dan memelukku sangat erat. Aku menangis juga.

***
Semua proses pemakaman sudah dilalui, aku merasa tak tega melihat mereka. Kulihat rumah tak layak dengan atap yang sudah harus diganti. Hanya ada kami bertiga dirumah ini.

"Jadi dimana ayahmu?" tanyaku.

"Ayah sudah meninggal setahun yang lalu karena sakit" jawabnya.

"Farhan apakah aku boleh bertanya sesuatu?" tanyaku.

"Iya kak boleh" jawabnya.

"Jadi mengapa Fahmi tak dapat berbicara?" tanyaku.

"Ia sebenarnya dapat berbicara. Namun, sepertinya ia setiap hari merasa tertekan, membuatnya lebih memilih diam daripada berbicara. Mereka terlihat sangat membeci kami" ucapnya.

Pantas saja tadi tak ada satu warga yang ikut ke rumah sakit.

"Memangnya kenapa?" tanyaku sambil mengelus rambut Fahmi.

"Soalnya orang-orang di sekitar sini sangat memandang rendah kami. Mereka tak pernah menganggap kami ada. Teman-temanku juga setiap hari mengejek karena tak punya ayah, tak punya penghasilan. Meskipun sebenarnya orang tua mereka hanya mencari sampah untuk dijual" ucap Farhan, wajahnya terlihat bersedih.

"Ditambah sekarang ibu sudah tak ada" sambung Farhan sambil menundukkan wajah.

"Apakah kamu tak mempunyai keluarga lagi?" tanyaku.

"Sebenarnya ada namun mereka juga sama tak menganggap kami ada, mereka orang berada sedangkan kami hanya orang susah kak" jawabnya.

Aku mengelus pundaknya.

"Aku pergi dulu ya, aku akan mencari makanan untuk kalian. Kalian jangan kemana-mana" ucapku.

"Iya kak" ucap Farhan.

Aku membeli makanan yang banyak untuk mereka. Aku terus terbayang bagaimana jadinya jika mereka hanya tinggal berdua disana. Apakah aku harus membawanya tinggal bersamaku atau membiarkan mereka tinggal disana.

Setelah membeli makanan aku langsung berpamitan untuk pulang ke rumah karena waktu sudah malam. Fahmi terus-menerus menarik tanganku. Sepertinya ia tak ingin aku pergi. Tapi bagaimana lagi, keluargaku pasti tak akan mengizinkan. Karena itu rumah orang tuaku.

***
Keesokan harinya aku mengunjungi mereka. Aku akan membawa Fahmi ke psikolog untuk menyembuhkan keterlambatan bicara Fahmi. Kebetulan ia temanku. Langsung aku ceritakan penyebab Fahmi seperti itu. Psikolog langsung menerapi Fahmi di temani Farhan, aku menunggu diluar ruangan.

Terlihat dua orang suami istri sedang menunggu. Aku penasaran mengapa mereka berdua ada disini.

"Bu, ingin ke psikolog juga?" tanyaku sambil tersenyum.

"Iya dek, kami sepertinya ingin bercerita berbagai permasalahan hidup" katanya.

"Kami merasa tertekan karena anak-anak kami yang sudah kami urus sampai besar malah meninggalkan kami begitu saja. Kami sebagai orang tua seperti tak ada harganya" sambungnya.

"Oh seperti itu" ucapku sambil tersenyum, karena tak tahu akan bertanya apa lagi.

Fahmi dan Farhan keluar dari ruangan psikolog. Ibu itu terlihat sangat kaget. Aku penasaran sebenarnya kenapa harus kaget.

"Sebentar" ucap ibu itu.

"Apa kalian masih ingat aku?" tanya ibu itu ke Farhan dan Fahmi.

"Siapa nama anak-anak itu dek?" tanya ibu itu kepadaku.

"Yang ini Fahmi, yang ini Farhan" jawabku.
Farhan langsung bersembunyi di belakangku.

"Fahmi? Farhan?" ucapku.

"Dia ibu jahat, dia yang membuang Fahmi waktu kecil kak. Dulu ketika ayah masih ada dia sering datang ke rumah kami dengan gaya sombongnya. Aku benci kak" ucap Farhan.

"Iya maafkan aku nak, semenjak kepergian ayah Farhan aku terus mencari keberadaan kalian namun tak menghasilkan apa pun. Karena kalian sudah pindah rumah" ucap ibu itu.

"Dulu aku menyesal ingin membawa Fahmi pulang lagi ke rumah. Sekarang aku merasakan karma bagaimana di abaikan anak tercinta. Mungkin ini yang harus aku terima karena sudah menelantarkanmu nak" ucap ibu sambil menangis.

"Itu memang kesalahan kami, kami tak ingin mempunyai anak yang di vonis akan mengalami keterlambatan bicara. Itu akan merusak reputasiku di dunia bisnis" ucap bapak itu.

"Tapi Fahmi sebenarnya dapat berbicara" ucap Farhan.

"Sungguh?" tanya ibu itu.

Aku langsung menceritakan alasan Fahmi terlambat berbicara. Nyatanya vonis dokter salah. Ia seperti itu bukan karena vonis dokter tapi karena hal lain. Ibu itu terlihat sangat menyesal. Jika dulu ia mengabaikan perkataan dokter dan mengurus Fahmi dengan baik, mungkin Fahmi akan lancar berbicara.

"Apa aku dapat membawanya pulang?" tanya ibu, bapak itu.

Aku tak tahu harus bagaimana. Tapi Fahmi sepertinya ingin tinggal bersama orang tua kandungnya. Karena sejahat apapun orang tua, ia tetap orang tua kita.

Fahmi, Farhan, ibu dan bapak itu masuk ke ruang psikolog. Aku menunggunya di luar. Mungkin psikolog dapat membantu menyelesaikan masalah mereka.

***
Kicauan burung di pagi ini sangat menambah semangatku. Bersiap-siap bertemu Fahmi dan Farhan di depan pos dekat penampungan sampah. Tak ada siapapun di sana. Mengantuk, itu yang aku rasakan ketika harus menunggu lama.

"Kakak...."

Aku kaget seperti ada yang memanggilku. Ternyata benar itu suara Fahmi, ia sudah dapat berbicara meskipun masih terbata-bata.

Aku melihat Fahmi bersama orang tuanya dan Farhan. Mereka membawa banyak sekali hadiah dan makanan. Mereka akan membagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar sungai dekat penampungan sampah.

Warga-warga mulai berdatangan. Ketika sekarang Fahmi sudah bertemu orang tuanya yang mapan, ia tak lagi dipandang rendah oleh orang sekitar sini. Mereka seperti memuji Fahmi dan orang tuanya.

Aku mulai berpikir apakah orang-orang sekarang melihat segala sesuatu dari materi? Jika tak memiliki apa-apa akan di pandang rendah? Jika memiliki segalanya akan di agung-agungkan?  Entahlah, setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda-beda. Hal terpenting sekarang Fahmi sedikit-sedikit sudah lancar berbicara dan bahagia bersama orang tuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun