Yang menarik, jenis database yang digunakan pun berbeda. Hong Kong dan Pakistan lebih banyak menggunakan rekam medis elektronik, sementara Indonesia, Malaysia, dan Filipina lebih mengandalkan database registri klinis. Perbedaan ini mencerminkan tahap perkembangan sistem kesehatan dan infrastruktur digital masing-masing negara.
Tantangan yang Harus Dihadapi
Meski menjanjikan, data warehouse kesehatan juga memiliki keterbatasan yang perlu dipahami:
 1. Penyederhanaan Data yang Berlebihan
Untuk melindungi privasi pasien, beberapa informasi detail harus dihapus atau digeneralisasi. Sayangnya, ini bisa menghilangkan informasi penting. Misalnya, data ras dan etnis sering tidak lengkap atau tidak konsisten antar sumber, padahal informasi ini penting untuk memahami kesenjangan kesehatan.
 2. Akses yang Rumit
Mendapatkan akses ke data warehouse tidak mudah. Peneliti harus melewati berbagai tahap persetujuan yang bisa memakan waktu berbulan-bulan. Selain itu, menganalisis data dalam jumlah besar membutuhkan keahlian statistik tingkat lanjut dan infrastruktur komputasi yang mumpuni.
 3. Jeda Waktu yang Panjang
Data dalam warehouse adalah rekaman peristiwa masa lalu. Dari kejadian sampai data tersedia untuk penelitian bisa memakan waktu 2-5 tahun, bahkan lebih. Di Massachusetts, 90% studi membutuhkan lebih dari 2 tahun dari pengumpulan data hingga publikasi. Ini menjadi masalah ketika kita butuh respons cepat terhadap krisis kesehatan yang berkembang pesat.
 4. Titik Buta dalam Data
Data warehouse hanya merekam apa yang terjadi dalam sistem kesehatan formal. Penggunaan narkoba ilegal, pengalaman trauma masa kecil, diskriminasi, atau kemiskinan sering tidak tercatat. Akibatnya, analisis hanya melihat "ujung gunung es" tanpa memahami akar masalah yang sebenarnya.