Mohon tunggu...
Richa Miskiyya
Richa Miskiyya Mohon Tunggu... Penulis

Perempuan biasa dengan kehidupan biasa, namun selalu menganggap jika kehidupannya itu luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Ibu, Cahaya Pertama untuk Anakku

6 Desember 2020   23:55 Diperbarui: 8 Desember 2020   10:35 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak terasa, sudah 3,5 tahun saya menjadi seorang ibu dari seorang gadis kecil yang cantik dan pintar. Setelah resmi menyandang status sebagai ibu, ada banyak hal yang membuat saya sadar, bahwa menjadi ibu tidaklah mudah.

Saya pun mulai memahami, bahwa ibu bukan sekadar tempat bersandar, bukan pula hanya tempat merengek ketika lapar. Tapi ibu juga harus bisa sebagai tempat belajar dan menjadi sosok yang selalu bersedia untuk mendengar.

Menjadi Ibu yang Banyak Ilmu

Menjadi ibu adalah anugerah, dimana kita diberi Tuhan sebuah tanggung jawab yang harus dilaksanakan sepenuh hati, tak boleh dikhianati.

Maka dari itu, setelah melahirkan, saya mengambil keputusan untuk menjadi ibu rumah tangga yang akan membersamai anak sepanjang hari, sepanjang waktu. Banyak yang menyayangkan, tak sedikit yang mempertanyakan.

"Sia-sia kamu kuliah hingga S2 kalau hanya jadi ibu rumah tangga."

"Memangnya nggak sayang sudah sekolah tinggi tapi nggak jadi pegawai negeri?'

Begitulah kata-kata yang sering saya dengar, dan biasanya hanya saya balas dengan senyuman. Saya bangga menjadi seorang ibu dengan pendidikan tinggi, karena dengan ilmu yang saya miliki dan pengetahuan dari buku-buku yang saya baca, mampu menjadikan saya seorang ibu yang tak hanya mengasuh dengan hati, tapi juga dengan ilmu yang saya miliki.

Ibu yang berilmu tahu jika ASI ekslusif itu penting, ibu yang berilmu juga akan tahu bagaimana agar anak terhindar dari stunting, karena tugas ibu yang paling krusial bukanlah memasak dan mencuci, melainkan seorang ibu harus bisa mengajarkan nilai-nilai kebajikan dan menumbuhkan karakter anak agar ia kelak menjadi pribadi yang mandiri, baik hati, dan tak mudah berkecil hati.

Dengan memiliki ilmu, ibu juga akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan si kecil. Ibu akan bisa menjawab dengan kalimat yang bisa dipahami saat anak bertanya, "Ma, kenapa waktu bayi dulu aku kecil badannya?", "Ma, kenapa kapalnya di atas laut?" , "Adek bayi keluarnya darimana?" dan beragam pertanyaan unik lainnya.

dokpri
dokpri
Pelukan Ibu dan Kalimat I Love You

Sebagai seorang ibu, ada hal yang terus menerus saya lakukan setiap harinya hingga sekarang, yaitu memastikan bahwa anak menyadari kalau dirinya dicintai.

Setiap hari saya selalu memberikan pelukan untuknya dan mengucapkan kalimat 'I Love You', yang kemudian ia balas dengan 'I Love You Too'. Mungkin terkesan klise dan sederhana, namun dengan anak tahu dan sadar bahwa ia dicintai, maka anak akan paham bahwa dirinya berharga dan istimewa.

Kesadaran tentang rasa cinta yang diberikan orang-orang di sekitarnya, akan membuat anak lebih bahagia, sehingga ia akan mampu mengkomunikasikan apa yang ia inginkan dengan lebih baik. Hal ini juga akan meminimalisir tantrum dan menyingkirkan emosi yang tak terkendali.

Tiga Kata Ajaib

Sejak anak saya mulai bisa bicara saat usianya 1 tahun, saya mulai mengenalkannya dengan 'Tiga Kata Ajaib', yaitu Maaf, Terima Kasih, dan Tolong.

Tiga kata yang bagi saya menjadi sebuah kewajban untuk digunakan agar nantinya akan menjadi kebiasaan, karena anak-anak haruslah memiliki kepekaan untuk mau mengucapkan maaf, tolong, dan terima kasih.

dokpri
dokpri
Mengawali kebiasaan pengucapan tiga kata ajaib ini, saya dan suami mulai memberikan contoh, saat-saat seperti apa kata-kata ini harus diucapkan. Misalnya saja, saya tak pernah malu untuk meminta maaf kepadanya saat saya salah, biasanya ia akan meminta maaf juga dan kamipun saling berpelukan hangat.

Setelah terus menerus diberikan contoh, akhirnya sekarang anak saya tak segan untul meminta maaf ketika salah, mengucapkan terima kasih saat menerima bantuan, dan meminta tolong saat ia butuh bantuan. Misalnya minta maaf setelah menumpahkan minuman, meminta tolong untuk membukakan bungkus pemern, juga berterima kasih saat dibelikan jajan kesukaannya.

Meski seringkali dilakukan di dalam rumah, tapi tentu saja hal ini tidak perlu menjadi masalah, entah itu di dalam ataupun di luar rumah, karena dengan kebiasaan yang baik akan memberikan hasil yang baik pula di kemudian hari.

dokpri
dokpri
Berbagi, Sekarang dan Seterusnya

"Ma, nanti kita berbagai, ya." itulah kalimat yang seringkali dikatakan oleh anak saya setiap harinya. Ya, setiap kali ia menemukan sesuatu yang menurutnya enak, ia tak segan-segan untuk berbagi pada saya maupun ayahnya.

Konsep berbagi ini kami ajarkan pada anak saya sedini mungkin, agar ia tahu bahwa memberikan apa yang ia miliki tidak akan membuatnya kekurangan, karena justru akan membuatnya bahagia.

Bermula dari mengajarkannya memberi makan kucing yang setiap hari mampir ke rumah, kemudian mengajarkan ia bagaimana bahagianya memberi makan ayam, kini ia tak segan untuk berbagi apa yang dia miliki.

Saat mengajarkan pada anak konsep berbagi, sebisa mungkin saya menghindari kata-kata yang seharusnya digunakan untuk mengajak berbagi, akhirnya menjadi kalimat bernada ancaman, misalnya "Ayo nasinya dimakan, nanti dimakan kucing, lho."

Kalimat seperti itu, akan membuat anak berpikir kalau kucing tidak boleh dikasih makan, ini akan membuat anak meyakini bahwa tidak memberi makanan pada kucing adalah sikap yang baik. Padahal konsep berbagi harus kita tanamkan sejak dini, bukan hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga makhluk hidup lainnya.

Menjadi Ibu yang Seru

Anak-anak senang bermain, maka dari itu saya juga selalu berusaha menjadi ibu yang seru ketika diajak bermain. Meskipun kadang tidak mudah, karena saat anak saya ingin bermain, saya harus memasak atau mencuci.

Jika memang saya sedang tidak bisa bermain, maka saya akan mengatakannya pada anak saya. Biasanya dia akan bisa memahami, meski terkadang ia juga merengek untuk ditemani.

dokpri
dokpri
Saat bermain dengannya, sebisa mungkin saya akan menjadi ibu yang seru, bermain dengan serius, dan menempatkan diri seolah-olah kami teman sebaya. Kami biasanya bermain petak umpet di dalam rumah, saat dia bersembunyi di balik gorden dengan kaki yang jelas-jelas terlihat, atau bersuara ketika bersembunyi di dalam lemari, biasanya saya akan pura-pura tak tahu dan pura-pura bingung mencarinya.

Kemudian dari tempatnya bersembunyi, ia akan keluar sambil berteriak, saya pun pura-pura terkejut, dan di sana saya lihat ia tertawa bahagia. Ya, sesederhana itu kebahagiaannya.  

Menjadi Ibu yang Mau Mendengar dan Mengapresiasi

"Ma, dengerin aku, dong." Begitu protes anak saya ketika saya sedang sibuk dan tak mendengarkan ketika diajaknya berbicara tentang tokoh kartun kesukaannya.

Biasanya saya langsung terhenyak dan kemudian sadar bahwa salah satu tugas ibu adalah menjadi pendengar yang baik untuk anaknya. Karena menjadi pendengar yang baik ini, saya akhirnya tahu apa saja yang anak saya suka dan tak suka, apa yang anak saya mau dan cita-citakan, dan apa yang anak saya tak ingin lakukan.

Tak hanya menjadi pendengar yang baik ketiika berbicara, sebagai ibu saya juga berusaha untuk mengapresiasi sekecil apapun usaha anak.

Saya sangat tahu bagaimana rasanya direndahkan dan pekerjaan yang kita lakukan tidak dihargai, maka dari itu, sebisa mungkin saya tak melakukan itu pada anak.

Anak saya sekarang sangat hobi menggambar. Apa saja akan ia gambar, saya selalu bilang kalau gambarnya bagus, saya juga tak pernah mengintervensinya ketika ia memulaskan warna biru ke daun-daun pohon yang digambarnya.

Dari apresiasi yang saya berikan, sekarang anak saya semakin semangat untuk menggambar, apa saja yang ia lihat akan digambarnya. Pernah suatu ketika saya bertanya kenapa ia mewarnai bintang dengan warna biru?

"Nanti kalau aku kasih warna kuning bintangnya enggak kelihatan, Ma." Begitu argumennya, karena menurutnya warna kuning tak akan terlalu terlhat ketika dipulaskan di kertas warna putih, ia ingin bintangnya bercahaya dengan warna yang terlihat. Saya tersenyum dan mengangguk menerima argumennya.

Saya Bukan Ibu yang Sempurna

Saya sadar, bahwa saya bukanlah ibu yang sempurna. Saya masih sering marah, masih sering emosi, hingga tak jarang berteriak padanya. Biasanya setelah itu saya akan menangis sambil memeluknya dan minta maaf.

Anak saya akan menghapus air mata saya dan berkata, "Iya, iya, aku juga minta maaf ya, Ma udah bikin Umma marah." Di situlah saya belajar bahwa anak terkadang bisa lebih bijak dari orang tuanya.

Sejak menjadi ibu saya belajar bahwa anak tak selalu ingin mainan baru, ia hanya ingin ditemani ketika bermain. Kemarahannya adalah caranya menunjukkan rasa kesepiannya, dan tangisannya adalah caranya untuk menunjukkan bahwa ia merasa sedih dan kesakitan.

Menjadi ibu memang tidak mudah, karena saya merasa selalu ada pelajaran baru yang bisa saya ambil setiap harinya. Setiap hari saya berusaha untuk selalu belajar dan mencari ilmu dari buku-buku dan artikel parenting, karena pekerjaan ibu bukan sekadar memasak atau membacakan buku sebelum tidur.

Ibu adalah mata air segala ilmu yang pertama dan paling utama, karena karakter anak akan terbentuk dari rumah. Sebagai ibu, saya selalu ingin menjadi tempatnya bercerita dan bertanya, juga menjadi tempatnya pulang saat ia merindukan sebuah pelukan. (*)   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun