Akhir tahun 2009, saya kembali ke kampung tempat tangisan pertama saya berkumandang. Bukan karena ingin, melainkan ada panggilan yang memaksa saya kembali. Panggilan itu datang dari Kepala Bagian Humas Kota Pekalongan, waktu itu dijabat Bu Maryati.
Kala itu beliau sedang melakukan penyegaran media radio yang dikelola Humas. Katanya, beliau ingin membuat terobosan baru. Menyulap radio yang didanai dari APBD itu menjadi radio berita.
Atas alasan itu, beliau meminta saya untuk membantu. Setidaknya, ikut memetakan kebutuhan dan menata program yang diperlukan. Mula-mula saya agak ragu untuk menyatakan kesediaan. Akan tetapi, atas bujukan Om Suryo Sukarno---wartawan senior di Pekalongan---saya akhirnya menganggukkan kepala.
Sejak itu saya tinggalkan kota rantau, Semarang. Saya tak hanya pulang, melainkan pula kembali pada buaian kota kelahiran. Berkumpul lagi bersama keluarga kecil saya dan mulai menapaki kehidupan yang baru.
Singkat cerita, sejak menapaki kembali kehidupan di kota kelahiran rupanya banyak hal yang sungguh menarik. Saya mulai mencatat berbagai persoalan yang terjadi di kota lahir. Saya gali keterangan demi keterangan dari berbagai sumber informasi. Mulai dari wawancara dengan pejabat-pejabat publik sampai obrolan ringan di warung dan tempat-tempat lain.
Setelah informasi terkumpul, saya buat daftarnya. Saya petakan masalah-masalah itu ke dalam buku catatan harian. Dan, menariknya lagi, saya menemukan begitu banyak persoalan yang membayang-bayangi kehidupan Kota Pekalongan.
Uniknya, dari banyaknya masalah yang sempat saya susun daftarnya, tak begitu banyak masalah yang terselesaikan. Malahan, lebih banyak masalah yang kurang mendapatkan perhatian. Mungkin, masalah-masalah itu dianggap sudah tidak relevan. Dipandang sebagai sesuatu yang tidak penting lagi.
Pandangan semacam itu tidak bisa semerta saya salahkan. Mungkin ada pertimbangan lain. Misal, ditimbang dari perubahan zaman yang menuntut gerak cepat dan lincah. Maka, bukan sebuah kekeliruan pula jika beberapa masalah itu ditinggalkan. Boleh jadi masalah-masalah yang ditinggalkan itu justru berpotensi membebani laju percepatan itu.
Walau begitu, sisi lain kota ini menampilkan perihal yang tak kalah menarik. Masa-masa awal saya menapaki kembali jalanan kota kelahiran, di berbagai tempat saya menjumpai sekumpulan anak muda. Mereka membangun komunitas.
Bagi saya, hal itu menjadi penyegar bagi kehidupan masyarakat kota seluas 45 kilometer persegi ini. Aktivitas mereka menjadi pemantik bagi daya kreasi anak muda Pekalongan. Bahkan, menjadi dorongan pula bagi usaha untuk menciptakan ruang-ruang ekspresi sekaligus ruang apresiasi. Apalagi latar yang menjadi alasan komunitas-komunitas ini didirikan adalah kesamaan hobi.
Pada saat bersamaan, saya juga sempat mengundang mereka untuk duduk bersama di studio. Mengajak mereka ngobrol seputar aktivitas mereka. Sekian banyak episode saya lalui bersama komunitas yang beragam. Hanya, saya menangkap kesan bahwa fenomena unik ini menunjukkan pola yang hampir seragam. Komunitas, bagi sebagian besar anak muda kala itu, sekadar menjadi tempat penyaluran hobi.