Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... pengembara kata

Penyiar radio yang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cakil Adalah Cermin Diri

26 Agustus 2025   18:05 Diperbarui: 26 Agustus 2025   18:05 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cakil dalam pewayangan (sumber: kompas.com)

Tokoh yang satu ini, barangkali bisa disebut sebagai tokoh yang paling apes di sepanjang sejarah cerita Mahabharata. Setiap kali muncul di atas panggung, dia hanya dipertontonkan sebagai sosok pecundang. Apesnya lagi, ia selalu dilawankan dengan para ksatria Pandawa dan selalu kalah.

Betapa, citra sosoknya begitu konyol dan pandir. Padahal, kalau diamati tindakannya melawan ksatria Pandawa, terutama Arjuna, bisa dikatakan sebagai peristiwa heroik. Apalagi dengan tingkah dan aksi laganya yang benar-benar bersemangat.

Bagaimana tidak bersemangat, tingkahnya saja sudah sangat pethakilan. Bergulang-guling. Salto. Jingkrak-jingkrak. Lompat-lompat. Semua dilakukan dengan penuh energi. Totalitas! Demikian orang-orang menyebutnya.

Bagi saya, aksi laga yang dimainkan tokoh ini jauh lebih hidup, bernyawa, dan membuat panggung bergairah. Saya merasa mendapatkan suatu tontonan yang lebih menarik dan atraktif darinya ketimbang pola permainan Arjuna yang lembut dan halus, nyaris tak memperlihatkan daya hidup. Maklum, mungkin karena Arjuna itu ksatria yang sakti, sehingga ia tak perlu dipoles lagi agar tampak benar-benar sakti.

Atau bisa jadi pula hal itu bertujuan agar tercipta keseimbangan dalam permainan itu, sebab bagaimana nasib panggung yang mereka naiki jika keduanya memiliki gaya yang sama. Bisa jadi makin amburadul. Bisa jadi pula daya hidup panggung jadi nyaris tak ada karena di dalam keseimbangan itu dibutuhkan dua kutub yang berbeda.

Ada yang sakti, ada yang tidak. Ada yang menang, harus ada yang kalah. Ada yang perthakilan, juga mesti ada yang bersahaja. Dan semakin banyak variasi alias keragaman itu, semakin hiduplah panggung. Sekalipun, dengan dua variabel pun sudah cukup. Setidaknya, untuk menghadirkan konflik.

Ya, konflik itulah yang membuat ada peristiwa. Dari peristiwa itu kemudian lahir kisah yang diceritakan. Dari cerita itu kemudian muncul berbagai macam saluran dan cara mengisahkan. Tetapi, apa sebenarnya tujuan dari konflik itu?

Tidak lain adalah agar kita menemukan keindahan-keindahan dalam kehidupan. Tentu, dalam hal ini bukan keindahan rupa. Akan tetapi, jauh di kedalaman keindahan itu sendiri. Keindahan rupa hanya akan mendorong kita terlalu suka bermain prasangka. Setidaknya, kita akan bermain-main dengan cara berpikir yang komparatif. Membandingkan dua hal yang berbeda.

Tetapi, keindahan yang jauh dari prasangka justru akan menemukan keindahan itu ke dalam bentuk komposisi, yaitu susunan dari berbagai keanekaragaman unsur yang saling melengkapi. Seperti pertunjukan wayang yang menampilkan sosok protagonis dan antagonis bermain dalam satu panggung. Mereka bertarung dalam sebuah peperangan.

Di saat itu pula yang kita tonton bukan siapa yang benar atau salah, bukan siapa yang akan menang atau kalah. Tetapi, yang kita saksikan dengan saksama adalah cara mereka bertarung yang menampilkan permainan komposisi gaya berlaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun