Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis, Perlukah Dipaksa?

30 Juli 2025   03:48 Diperbarui: 30 Juli 2025   10:58 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa nggak mau menulis? Itu pertanyaan yang jawabannya bisa saja sangat beragam. Setiap kepala pasti punya alasan. Maka, akan sangat repot kalau hanya menanyakan perihal itu.

Alih-alih mengurai masalah, eh malah jadi terjebak pada asumsi pribadi. Menganggap mereka yang tidak menulis sebagai orang yang di bawah standar. 

Ups! Standarnya siapa? Atau menganggap mereka yang tidak menulis sebagai kelompok yang tidak mau maju. Maju menurut siapa? Dan, bagaimana ukurannya? 

Oh, jangan sampai asumsi-asumsi itu keluar dan menjadi pegangan di dalam menilai orang. Justru dengan asumsi itu seseorang bisa saja akan menjadi sasaran bully dari mereka yang enggan menulis. Apalagi ketika dikaitkan dengan harta yang dimiliki setelah menyandang predikat sebagai penulis.

Memang, di beberapa sudut, ada orang yang berpandangan positif tentang penulis. Mereka sangat menghargai keberadaan penulis. Bahkan, memandang penulis sebagai sosok istimewa. Apalagi ketika mereka berada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. 

Sebagaimana pernah disampaikan sastrawan gaek asal Jogja, Indra Tranggono, saat mengisi acara obrolan Kojah Sastra. Beliau katakan, "Menjadi penulis itu sebuah kebanggaan tersendiri. Apalagi ketika di masyarakat disapa dengan Pak Penulis. Rasanya beda banget."

Tetapi, lagi-lagi, Indra Tranggono sampaikan, bahwa untuk menjadi penulis itu butuh proses panjang. Orang yang kadung terjun ke lapangan itu mesti siap menerima segala sesuatu. Ia mesti nggetih, katanya.

Maka, apapun upaya yang dilakukan untuk mengajak orang mau menulis juga tidak gampang. Akan tetapi, jangan kepalang kecewa atas segala upaya yang sudah dilakukan. 

Perasaan kecewa justru akan membuat diri semakin terhimpit. Bahkan, boleh jadi akan membuat diri berputar-putar di lingkaran masalah itu-itu saja. Padahal, masih banyak hal lain yang juga memerlukan sentuhan.

Mas Puthut EA, dalam sebuah diskusi santai di Linggo Asri beberapa tahun silam, pernah berkata, "Tidak semua orang mesti dipaksa menulis. Bahkan, setelah mereka mendapatkan pelatihan pun tak perlu dipaksa. Sebab, menulis itu bukan pilihan, melainkan tentang bagaimana ia membiasakan dirinya."

Waktu itu, saya hampir mendobrak pandangan itu. Tetapi, saya lantas mikir, "Lho, sekelas Puthut EA saja bicara begitu. Lha, saya yang belum punya kelas apa kuasa saya?" 

Alhasil, saya pun meng-oke-kan saja. Bukan sepenuhnya setuju atau sepakat, melainkan menghindar dari perdebatan yang bisa saja akan memalukan diri sendiri. Sambil kemudian, saya renungi apa yang menjadi pikiran saya.

Bahwa, menulis merupakan kecakapan berbahasa adalah benar adanya. Tetapi, apakah setiap orang mampu menguasai bahasa? Rupanya tidak. 

Bahwa, menulis merupakan sarana belajar berpikir kritis tidaklah keliru. Akan tetapi, sejauh mana orang mau mendayagunakan pikirannya? Rupanya tidak semua orang sanggup.

Bahwa, menulis merupakan sarana berkomunikasi yang tersistem dan terstruktur memang demikian adanya. Hanya, dalam kenyataannya, komunikasi yang dijalankan bisa saja mengalami kebuntuan. Why? Karena ada banyak kegagalan dalam pembelajaran bahasa.

Lalu, perlukah mencari yang harus disalahkan? Rasa-rasanya akan semakin capai jika itu dilakukan. Ada banyak lapisan yang mesti ditembus. Ada banyak kesalahan pula yang mesti ditebus.

Mungkin, akan lebih enak kalau kita merebus telur sambil memasak mi instan. Setidaknya, untuk mengganjal perut yang keroncongan. Ya, macam anak kos saat kelaparan, mereka butuh makan. Sementara aktivitas lainnya pasti akan diabaikan. Apalagi menulis?

Ya, menulis butuh energi. Salah satu energi yang mesti disiapkan ya makanan. Maka, makan saja dulu sebelum menulis. Siapa tahu saat makan ada seekor lalat yang nyemplung ke dalam mangkuk. Dan dari situ kita mendapatkan ide untuk menulis. Atau, boleh jadi setelah makan kita bisa bikin tulisan review makanan yang kita bikin sendiri. 

Artinya, sebenarnya apa saja bisa ditulis. Nggak harus menunggu disuruh apalagi dipaksa. Nulis, ya nulis aja.

Tapi, sekali lagi, apakah menulis adalah sebuah kebutuhan? Jawabannya bisa sangat beraneka macam. Relatif. Bagi mereka yang suka menulis pun berbeda-beda tujuannya. Jadi, tidak bisa dilihat secara sepintas. Hitam putih.

Semua tujuan itu juga sah-sah saja. Tidak perlu diperdebatkan. Sebab, setiap orang juga punya kebutuhan-kebutuhan yang mesti dicukupi untuk menopang kehidupan masing-masing. Termasuk, ketika ada seseorang yang nggak memilih menulis sebagai bagian yang mesti ia kerjakan. 

Bahkan, meski mereka tahu ada banyak tokoh hebat di negeri ini yang lahir dari kebiasaannya menulis, mereka tetap tak menghiraukan. Kalau ini dianggap salah, maka sebenarnya mesti dicari dulu penyebabnya. Tak hanya tunggal, melainkan berlapis-lapis. Bahkan, bertingkat-tingkat pula. 

Yang paling bisa kita raba adalah tak adanya upaya serius untuk mengenalkan tokoh-tokoh ini di ruang publik, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan. 

Kajian-kajian mengenai tokoh dan pemikiran mereka tak cukup mendapatkan porsi di lingkungan yang katanya diisi oleh kalangan terpelajar. Sebagai contoh, apakah pemikiran HOS. Cokroaminoto misalnya, dikaji secara mendalam sehingga membuahkan konsep maupun teori baru yang dapat digunakan sebagai pijakan bernalar? 

Sementara, kalaupun ada kajian mengenai tokoh dan pemikirannya tak jarang kajian itu bersifat sangat terbatas. Hanya ada di lingkungan tertentu. Akibatnya, kurang terpublikasikan secara lebih luas dan mampu diserap oleh masyarakat, terutama kaum muda.

Mengapa bisa begitu? Salah satu penyebabnya, ketokohan mereka kerap didudukkan dalam posisi yang sangat sederhana. Yaitu, sebagai tokoh politik atau minimal disosokkan sebagai pahlawan. Bukan sebagai pemikir.

Wah, kalau sudah menyentuh wilayah politik, agaknya saya mesti hati-hati. Sebab, mesin-mesin politik yang dinamai partai bisa saja mendadak jadi sangat sensitif. Telinga mereka lebih tajam menangkap gema dan suara. Omongan apapun bisa dituding sebagai provokasi. 

Yang juga menjadi masalah di sejumlah daerah---seperti Pekalongan---penulis belum dipandang sebagai pekerjaan yang menjanjikan. Padahal, banyak bakat baru yang terus lahir dan tumbuh. 

Akan tetapi, ekosistem yang tak cukup mendukung membuat pertumbuhan itu mandeg di tengah jalan. Bahkan, beberapa di antara mereka tumbang. Ironi memang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun