Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Perjalanan "Monolog Hoegeng" (Bagian 03)

28 November 2023   01:37 Diperbarui: 28 November 2023   01:54 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampilan "Monolog Hoegeng" di hadapan Kapolri dan Panglima TNI dalam acara Peresmian Monumen Hoegeng/dok.pribadi

Walau terbiasa menulis, siapapun akan menjumpai writer's block. Jangankan yang awam seperti saya, yang sudah kelas maestro pun demikian. Jadi, Anda tak perlu berkecil hati, ketika mengalami situasi demikian.

Hanya, Anda---juga saya---perlu menemukan cara agar terbebas dari jerat kekosongan itu. Tetapi, lagi-lagi, setiap orang punya caranya masing-masing. Saya memilih untuk tidak menuliskan apapun, ketika mengalami writer's block. Kenapa? Karena, akan sia-sia belaka jika saya memaksakan diri untuk menulis.

Dan, itulah yang saya alami saat pikiran saya benar-benar buntu. Saya serahkan sepenuhnya pada waktu. Apakah ia akan menghukum saya atau tiba-tiba ia akan mendatangkan malaikat penolong.

Yang saya lakukan pagi yang buta itu, hanya menghabiskan waktu, menikmati alunan musik dan beberapa tayangan film pendek. Ada yang membuat saya terpingkal-pingkal. Ada pula yang menguras airmata saya. Benar-benar saya habiskan waktu untuk sesuatu yang barangkali sia-sia.

Tetapi, itulah yang membuat beban yang melekat di benak perlahan mengelupas dengan sendirinya. Seperti sebuah ayakan pasir. Untuk mendapatkan ukuran pasir yang lembut, ayakan itu mesti diguncangkan. Sesekali juga harus dihentak-hentak pula. Lalu, dikoyak dan digoyang lagi. Sehingga, apa-apa yang tak perlu tertinggal di atas ayakan, siap untuk disisihkan.

Ah, agak mendingan. Saya merasa plong! Pikiran saya lumayan enteng. Toksin dalam pikiran mulai terurai. Sedikit-sedikit saya jumputi serpihan toksin pikiran itu. Lalu, saya sisihkan.


Sekalipun begitu, saya tak ingin terburu-buru menuliskan naskah Monolog Hoegeng itu. Terlebih, pesan-pesan yang begitu membuat pikiran saya seolah-olah terpenjara.

Bagaimana tidak? Yang saya tulis harus begini-begitu. Harus memuat ini-itu. Harus mengandung nilai anu. Stop!

Saya harus kembali pada tokoh Hoegeng yang utuh. Itu yang menjadi fokus saya pada akhirnya. Saya endapkan segala sesuatu yang mengganggu pikiran. Saya diamkan segala sesuatu yang telah tersaring itu mengendap dan menemukan tempatnya yang tepat.

Saya tak harus memaksakan diri, juga memaksa apa-apa yang sudah dalam pikiran itu memasuki ruang yang saya kehendaki. Mereka akan menempatkan dirinya sendiri dengan tepat, di saat yang tepat pula. Dan, saya harus menjadi tuan rumah yang baik bagi apa-apa yang datang dan memasuki ruang pikiran saya.

Saya kembali membaca-baca beberapa artikel mengenai sosok Jenderal Hoegeng. Sesekali menengok layar laptop yang menayangkan video dokumenter sang jenderal. Juga, menonton wawancara Najwa Shihab dengan Bu Meri, istri sang jenderal. Tapi lagi-lagi tak muncul apa-apa. Pikiran saya masih belum bisa menemukan kata pertama untuk saya tulis.

Jelang subuh, ketika corong masjid-masjid di sekitar kampung mengumandangkan lantunan ayat-ayat suci, saya seperti mendapatkan bisikan yang demikian halus. Mengantarkan saya pada sebuah kata, yang kemudian saya ketikkan pada layar laptop. Kata itu adalah "Hoegeng". Kata yang juga nama seorang jenderal polisi berhati bening.

Sayang, sehabis nama itu saya ketik, rupanya tak ada kata-kata lain yang menyusul. Ya sudah. Saya diamkan saja. Sementara layar laptop hanya menampilkan nama itu.

Saya pandangi penuh-penuh nama itu. Lama. Pandangan mata saya benar-benar terpaku pada layar laptop. Sampai-sampai langit di luar mulai tampak terang.

Istri saya yang terbangun saat subuh menghampiri. Ia menegur, "Tidur dulu, Yah. Istirahat."

"Sebentar, Ma. Ini belum selesai. Pagi ini aku harus menyerahkan naskahnya ke Bu Wakapolres," jawab saya.

"Bisa kan dilanjut nanti?"

"Aku takut kalau waktunya nggak nyampe, Ma. Lagian nanti janjiannya jam 9 pagi," balas saya.

Ia pun lekas beringsut. Mulai sibuk dengan pekerjaan rumah.

Sebentar saya tinggalkan layar laptop. Membiarkannya tetap menyala. Saya kerjakan hal lain yang perlu. Membangunkan anak-anak. Lalu, mengajak mereka mengerjakan apa yang harus mereka kerjakan.

Setelah semua selesai, saya kembali pada layar laptop itu. Empat jam lebih layar itu hanya membubuhkan nama Hoegeng, tanpa kata-kata lain yang tertulis di sana. Saya tertawa kecil. Lalu, menggumam, "Eyang Hoegeng, apa sebenarnya yang hendak Eyang katakan kepada mereka? Katakanlah! Lalu, izinkan saya menuliskannya. Karena, saya tahu, tidak mudah untuk mengatakannya. Tetapi, saya pikir, itu harus dikatakan, Eyang. Agar mereka mengetahui dan mengenal siapa sesungguhnya diri mereka, Eyang. Katakan saja, Eyang. Saya yang akan menuliskannya."

Entah, darimana datangnya. Untuk beberapa lama kemudian, saya seperti mendapatkan dorongan daya yang tidak diketahui. Kata-kata itu terdorong keluar dari balik tempurung kepala, lalu mulai menyusun barisan kata, menjadi kalimat, menjadi alenia pembuka. Kata-kata itu tak jauh dari bahasa cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun