Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Perjalanan "Monolog Hoegeng" (Bagian 03)

28 November 2023   01:37 Diperbarui: 28 November 2023   01:54 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampilan "Monolog Hoegeng" di hadapan Kapolri dan Panglima TNI dalam acara Peresmian Monumen Hoegeng/dok.pribadi

Jelang subuh, ketika corong masjid-masjid di sekitar kampung mengumandangkan lantunan ayat-ayat suci, saya seperti mendapatkan bisikan yang demikian halus. Mengantarkan saya pada sebuah kata, yang kemudian saya ketikkan pada layar laptop. Kata itu adalah "Hoegeng". Kata yang juga nama seorang jenderal polisi berhati bening.

Sayang, sehabis nama itu saya ketik, rupanya tak ada kata-kata lain yang menyusul. Ya sudah. Saya diamkan saja. Sementara layar laptop hanya menampilkan nama itu.

Saya pandangi penuh-penuh nama itu. Lama. Pandangan mata saya benar-benar terpaku pada layar laptop. Sampai-sampai langit di luar mulai tampak terang.

Istri saya yang terbangun saat subuh menghampiri. Ia menegur, "Tidur dulu, Yah. Istirahat."

"Sebentar, Ma. Ini belum selesai. Pagi ini aku harus menyerahkan naskahnya ke Bu Wakapolres," jawab saya.

"Bisa kan dilanjut nanti?"


"Aku takut kalau waktunya nggak nyampe, Ma. Lagian nanti janjiannya jam 9 pagi," balas saya.

Ia pun lekas beringsut. Mulai sibuk dengan pekerjaan rumah.

Sebentar saya tinggalkan layar laptop. Membiarkannya tetap menyala. Saya kerjakan hal lain yang perlu. Membangunkan anak-anak. Lalu, mengajak mereka mengerjakan apa yang harus mereka kerjakan.

Setelah semua selesai, saya kembali pada layar laptop itu. Empat jam lebih layar itu hanya membubuhkan nama Hoegeng, tanpa kata-kata lain yang tertulis di sana. Saya tertawa kecil. Lalu, menggumam, "Eyang Hoegeng, apa sebenarnya yang hendak Eyang katakan kepada mereka? Katakanlah! Lalu, izinkan saya menuliskannya. Karena, saya tahu, tidak mudah untuk mengatakannya. Tetapi, saya pikir, itu harus dikatakan, Eyang. Agar mereka mengetahui dan mengenal siapa sesungguhnya diri mereka, Eyang. Katakan saja, Eyang. Saya yang akan menuliskannya."

Entah, darimana datangnya. Untuk beberapa lama kemudian, saya seperti mendapatkan dorongan daya yang tidak diketahui. Kata-kata itu terdorong keluar dari balik tempurung kepala, lalu mulai menyusun barisan kata, menjadi kalimat, menjadi alenia pembuka. Kata-kata itu tak jauh dari bahasa cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun