Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Canus Kena Tilang

7 Juni 2023   23:18 Diperbarui: 7 Juni 2023   23:37 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lantas, kita menjadi mudah tersinggung, marah, dan tidak terima jika apa-apa yang dirasa menjadi milik kita itu diusik. Bahkan, bila perlu kita sampaikan kepada khalayak tentang apa-apa yang dirasa sebagai milik kita itu. Tentu, harapannya adalah agar orang lain pun mengakui kepemilikan kita terhadap apa-apa yang dirasa sebagai milik kita itu. Dan paling konyolnya lagi, ketika apa yang kita miliki itu raib atau hancur, kita pun akan mengatakan kepada semua orang tentang peristiwa apa yang menyebabkan raib dan hancur itu.

Ya, betapa repotnya kita.

Bahkan, di wilayah yang lebih sensitif, klaim-klaim kepemilikan juga masih berlaku. Misalnya, kebenaran. Kita kerap tak sadar, bahwa kita ini kerap membuat klaim atas kebenaran. Kita merasa bahwa kebenaran adalah milik kita. Sementara kebenaran orang lain, kebenaran yang berbeda, dianggap sebagai sesuatu yang keliru, sesuatu yang salah. Kita lupa, bahwa sesungguhnya kebenaran itu milik Gusti Allah. Maka, hak manusia adalah menerima petunjuk kebenaran dari Gusti Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Jika demikian, kebenaran adalah kuasa-Nya, bukan wilayah kekuasaan kita sebagai makhluk-Nya.

Sebab itu, yang paling bisa dilakukan adalah memasrahkan diri kepada-Nya. Bertanya tentang kebenaran mana yang akan ditimpakan kepada kita. Tetapi, tak perlu menilai-nilai kebenaran orang lain.

Tetapi, kenyataan kerap menjebak kita. Bukannya sibuk menanyakan kebenaran apa yang akan menimpa, kita malah sibuk menilai orang lain. Padahal, peristiwa mi'raj-nya Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w., tatkala Beliau diharuskan bolak-balik menghadap Gusti Allah untuk bertanya dan menawar jumlah rakaat salat yang akan diamanatkan kepada Beliau dan selanjutnya diteruskan kepada umatnya itu adalah sebuah tanda bagi umat manusia agar mereka memilih untuk sibuk menanyakan kebenaran-kebenaran Gusti Allah. Begitu pula dengan peristiwa nabi Ibrahim, Musa, Nuh, dan semua nabi yang pernah diturunkan dan diutus oleh Gusti Allah untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran-Nya.

Kebenaran Tuhan jelas tak bisa ditolak, tetapi masih ada ruang-ruang untuk didialogkan. Sebagai hamba, manusia diberi hak untuk melakukan dialog itu kepada Tuhannya. Bahkan, Tuhan lebih senang jika ada seorang hamba yang suka mengajak-Nya dialog. Tetapi, Tuhan tidak begitu suka dengan sikap hamba-Nya yang justru sibuk menuding sana-sini sebagai pihak yang salah.


Kepasrahan Canus adalah bentuk dialog itu. Apakah ia akan menerima kebenaran yang tidak diinginkannya, bukanlah urusan yang mesti ditakuti. Canus tahu persis proporsi manusia sebagai hamba. Ia tak mungkin melanggar porsi itu sekalipun sebenarnya bisa saja dilakukan. Tetapi, ia tidak ingin melakukannya. Bagi Canus, cukuplah Gusti Allah yang jadi penolongnya. Jika memang tertolong, ia akan selamat. Jika tidak, maka sesungguhnya ada pelajaran baik yang sedang diajarkan Tuhan kepadanya.

Ah, sepertinya aku sendiri pun harus memburu Canus. Di mana Canus berada sekarang? Ada banyak hal yang ingin aku pelajari darinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun