Mohon tunggu...
ribut wijoto
ribut wijoto Mohon Tunggu... -

ribut wijoto, penggemar karya sastra indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kepenyairan Jatim Selayang Pandang

11 Oktober 2015   22:00 Diperbarui: 12 Oktober 2015   16:43 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Arief B. prasetyo, penyair yang hingga kini masih disibukkan “perjuangan mencipta personalitas teks”, menuliskan puisi yang serasa chaos. Struktur puitik mecah memecah, pendar memendar, saling menyingkir, dan saling berpusaran. Di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap, kunang-kunang terbang, menikung, mengiang, membandang, terus, terus, cepat, ringkus, remas, hempas, keras-keras, jadi jerit bianglala yang terkulai di telaga, yang terberai, terkapar menggapai-gapai akar darah…

Akrobatik diksi puisi “Mahasukka” tersebut amat lincah. Kalau pada puisi Zawawi, diksi “utang” menjadi pusat dan digulirkan secara berkelanjutan, Arief tidak membutuhkan pusat diksi. Kata “pinggulmu”, kata tempat pijak kenyataan teks, dimunculkan hanya sekali, selebihnya pusaran ataupun belitan-belitan adegan. Sebuah struktur puisi yang panik.

Pembacaan Nirwan Dewanto terhadap puisi Arief B. Prasetyo perlu diketengahkan. Nirwan mendapatkan kesulitan dalam mengikuti gerak gelibat puisi Arief. Dan atas kesulitan itu, klaim disorongkan. “Jika pembaca tersesat terlalu pagi, ia akan habis sebelum sampai pada neraka semut api atau mahasukka”, tulis Nirwan dalam semacam kata penutup dari antologi Mahasukka. Nirwan lebih suka berdasar pada tradisi puisi yang telah ada, menghakimi karya puisi baru. Perbedaan-perbedaan bentuk atau variasi-variasi puitik yang membingungkan dianggapkan sebagai “menyalahi tradisi”. Pandangan yang mirip dengan Sutan Takdir Alisyahbana ketika mengomentari puisi, “karya Chairil Anwar” buruk. Ukuran puisi tradisi Pujangga Baru dipakai, sementara Chairil membuka bagi tradisi pasca-Pujangga Baru. Nirwan tidak terbuka terhadap tawaran. Akan lebih bermanfaat bagi publik puisi, Nirwan memahami (atau memaknai) tawaran puisi Arief lalu memberi gambaran struktur teks sebagai variasi dari tradisi puisi yang telah pernah ada.

Puitika akrobatik juga terbit pada puisi W. Haryanto. Lewat puisi, pembaca bisa menyaksikan kata-kata berlompatan membentuk realitas-realitas tanpa terduga, tetapi dapat diterima nalar. Kata-kata dirakit tanpa kepercayaan pada landasan kuat membentuk lompatan. Kata-kata seakan bersijingkat dalam medan makna. Latar belakang dihadirkan sebatas pemenuhan alur teks.

Di sebelah matamu, segala rasa bersalahku hilang di daratan jauh, dan kegelisahanku mencipta gairah-beku karang-karang di langit, dengar penggalan tanyaku ini, Ida; ketika kuntum arus ombak memberi sebuah akhir dari radang-radang pelapukan musim; dan lihat lukaku ini, Ida. Penggalan dari puisi “Surat yang Terpotong, Buat Aida”.

Penggambaran puisi tampak jauh dari suatu ekspresi. Rasa bersalah yang semestinya abstrak, masuk dalam wilayah moral, pada puisi mendapat citra visual konkret. Segala rasa bersalahku hilang di daratan jauh. Rasa bersalah dihilangkan, tetapi dimunculkan rasa gelisah. Dua ciri rasa puas terhadap interaksi manusia. Tidak ada paradigma lebih lanjut dari dua oposisi material teks yang dalam kehidupan sosial empirik bersatu karakter. Yang terjelaskan, sebuah penggal tanya. Juga luka. Segalanya dengan visualisasi mengejutkan.

Bila pada Arief, akrobatik puisi muncul dalam wilayah antar kata. W. Haryanto memunculkannya dalam wilayah antar kalimat. Arief sering mempercayakan kenyataan dalam banyak tanda baca koma dengan isian satu kata, sehingga teks menjadi sugestif. Sebuah percepatan sintaksis, percepatan pikiran, dan tercipta suasana mistis. Puisi W. Haryanto mengisyratkan penolakan terhadap sugesti. Kalimat-kalimat yang panjang dari puisi W. Haryanto menyebabkan pembaca sepenuhnya berada di kesadaran. Karenanya, kerumitan pada puisi menggambarkan kerumitan dalam logika berpikir. Puisi membentuk sebuah dunia dan dunia tersebut dipenuhi pikiran-pikiran spontan.

Selanjutnya, puisi HU. Mardi Luhung berjudul “Ziarah ke Reruntuhan Makammu” patut dicermati khasanah tata kramanya. Tapi lewat kangkangan-kangkangan kakinya, yang persis di tengahnya, aku lihat lubang-lubang syahwat merayu segala gerak yang lewat, segala gerak yang menyusun bangkai-bangkai laki dan perempuan, menjadi sedotan-sedotan dengan nganga yang cuma dua saluran “menyedot sampai tuntas, atau disedot sampai habis!”

Puisi Mardi dengan “kangkangan-kangkangan” serta “sedotan-sedotan” puitiknya (meminjam istilah puisi Mardi sendiri) seolah menguji standar ketertiban estetik. Sopan santun dari kanon estetik dipertanyakan, disodok-sodok dengan kenyataan ragam bahasa pinggiran. Ucapan atau bahkan umpatan-umpatan dalam khasanah publik diambil lalu dijadikan bahasa puisi. Mardi Luhung telah melakukan reproduksi bahasa publik, terutama bahasa masyarakat pinggiran kota besar. Reproduksi ini membuat bahasa puisi menampakkan seabrek kegaduhan dan kekalutan dari persinggungan-persinggungan personal dan kepentingan. Mardi mengulang kinerja Chairil Anwar yang berhasil mengangkat ragam bahasa Melayu Rendah dalam keindahan. Puisi bertindak sebagai penyuci kericuhan bahasa publik marjinal.

Lain Mardi, lain pula Beni Setia. Penyair, yang katanya tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali menulis ini, memproduksi kenyataan dari beberapa nama tokoh sejarah dan merengkuhnya dalam peristiwa yang banal. Dan Ronggowarsito+Hasan Mustopa menjelajahi New York dan New Delhi dengan bis bertingkat –di Cililitan mereka ketemu J.P. Coen (puisi “Catatan Turistik tentang Jakarta”).

Pertemuan tiga tokoh dari jaman berbeda, dan tempat berbeda, serta sarana pertemuan yang aneh pada puisi Beni Setia menciptakan kenyataan banal namun parodis. Masing-masing tokoh dalam puisi masih dilekati identitas kesejarahan. Representasi terhadap biografi tokoh tidak begitu kuat, mungkin sengaja. Sehingga teks puisi tampak bermain di wilayah permukaan. Justru kebanalan biografi tersebut, ketika masing-masing tokoh dipertemukan, kenyataan parodi yang melawan sejarah terciptakan. Ruang dan waktu dalam sejarah dihapuskan. Lahir kemudian, kenyataan teks dari persilangan biografis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun