Mohon tunggu...
Irma Sabriany
Irma Sabriany Mohon Tunggu... Freelancer - Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jatuh Cinta di Tidore

7 April 2018   08:35 Diperbarui: 8 April 2018   05:45 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan dari Benteng Tahula (dok. pribadi)

Rumah Adat di desa Gurabunga (dok. pribadi)
Rumah Adat di desa Gurabunga (dok. pribadi)
Tak kalah dari Gurabunga pemadangan di Lada Ake juga sangat Indah. Jika cerah maka nampaklah pulau Maitara dan kota Ternate. I'm lucky girl. Saat kunjunganku aku bisa menyaksikan semuanya. Aku juga menyempatkan mengunjungi kedaton Tidore. Untuk masuk ke kedaton ini juga ada aturan-aturan yang harus di taati oleh pengunjung.

Lada Ake (dok. pribadi)
Lada Ake (dok. pribadi)
Kedaton Tidore (dok. pribadi)
Kedaton Tidore (dok. pribadi)
Menutup perjalanan aku di kota Tidore, aku mendaki puncak Gunung  Tidore.  Muhammad Fajri Malagapi atau biasa dipanggil Enos, juniorku di Korpala Unhas yang menantangku, ayok kak mendaki Kie Matubu. Ajakannya pun kuterima.

Pendakian menuju puncak Tidore yakni Kie Matubu melalui desa Toloa. Perencanaan meninggalkan desa Toloa pukul 06.00 WIT tetapi kenyataannya berangkat pukul 10.21 WIT. Untuk ketinggian desa Toloa yakni 0 MDPL. Perjalanan dimulai. Tim kami terdiri dari 6 orang yakni aku, enos, dan empat orang pemuda dari Desa Toloa.

Menurut kak Chudiks, jika pendakian dilakukan via Desa Gurabunga aku hanya membutuhkan waktu 3-4 jam perjalanan. Nah karena aku memulai via desa Toloa kemungkinan waktu yang dibutuhkan sekitar 6-8 jam. Pendakian ke Kie Matubu tidak perlu membayar retribusi.

Sebelum memulai pendakian, kami berdoa memohon keselamatan dan dimudahkan perjalanan berangkatlah kami berenam. Awalnya melewati jalan setapak kemudian masuk ke kebun pala. Pala dan beberapa rempah-rempah lainnya merupakan komoditas utama mata pencarian masyarakat. Banyak jalur yang bercabang, beruntung teman pendakianku adalah warga yang telah hafal jalur ini.

Medan yang dilalui menanjak, tidak ada 'bonus' sama sekali sampai di puncak sehingga membuat kaki ini nyut-nyut. Tentu saja perjalanan ini menguras tenaga, apalagi siang itu matahari sedang 'cantik-cantiknya'. Dibutuhkan management air disini. Sejujurnya pendakian ini aku tidak membawa perlengkapan masak. Hanya membawa snack, air enam botol (1500 ml) dan nasi kuning (enam bungkus). Tenda yang kami bawa adalah tenda biru. Itu loh tenda yang biasa digunakan dalam acara misalnya perkawinan.

Ada pantangan ketika mendaki Kie Matubu yakni dilarang membuang air kecil dan besar di dekat puncak, sehingga untuk pendaki laki-laki membawa botol bekas untuk wadah membuang air kecil. Nah kalau pendaki perempuan bisa saja membawa pampers. Waktu pendakian itu aku menahan buang air kecilku selama dua puluh empat (24) jam.

Meskipun tidak membuang air kecil, tetapi menjelang puncak banyak terdapat botol bekas yang berisi air kencing. Ini sama saja, justru menimbulkan sampah. Menjelang puncak terdapat sumber air yakni sebuah  kolam yang airnya dapat dikonsumsi.

Pagi hari adalah waktu terbaik untuk menikmati pemandangan dari puncak Kie Matubu. Aku sempat menyaksikan indahnya sunrise, sebelum turunnya  kabut. Ketinggian puncak Tidore 1730 MDPL meskipun dengan tinggi yang tak begitu menjulang, tetapi diperlukan upaya ekstra untuk sampai di puncaknya.

Tiba di puncaknya, aku disuguhkan pemandangan dengan jelas keindahan pulau Ternate dengan gunung Gamalamanya. Ada juga pulau kecil berada di antara Ternate - Tidore yakni pulau Maitara. Menurut teman pendakianku ada tiga pulau di sisi selatan yakni Makian, Moti dan Mare. Nah yang besar itu berada di sisi barat itulah pulau Halmahera.

Setelah mengabadikan moment, pukul 09.00 WIT aku bergerak turun. Belum cukup satu jam perjalanan akhirnya hujan turun sehingga medan yang dilalui pun menjadi licin dan yang paling parah sang pacet yang bermunculan. Medan yang licin membuatku terpeleset. Jika tak salah ingat sekitar delapan kali aku terpeleset. Dan ada lima belas bekas gigitan pacet di badanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun