Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Universe

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Otomatisasi Mendisrupsi Esensi Manusia sebagai Pekerja

6 Desember 2021   06:00 Diperbarui: 8 Desember 2021   14:05 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2025 saja World Economic Forum dalam Future of Jobs Repot 2020 memproyeksikan tingkat otomatisasi akan mencapai 47%.

Kita akan semakin menjumpai robot humanoid - yang menurut ilmuwan sebagai Homo neanderthals versi modern - melakukan aktivitas atau bekerja.

Setiap tahun tingkat otomatisasi akan terus naik. Sumber: gettyimages
Setiap tahun tingkat otomatisasi akan terus naik. Sumber: gettyimages

Menurut ilmuwan kecerdasan buatan, tahun 2035 nanti robot cerdas akan mampu melakukan operasi bedah layaknya dokter bedah. Dan tahun 2135 yang akan datang kecerdasan buatan dapat melakukan semua pekerjaan manusia (Katja Grace, et al, 2016).

Jika hasil kajian para ilmuwan itu tepat, maka prinsip “saya bekerja untuk anda (employer), maka Anda wajib memenuhi kewajiban saya” tidak lagi relevan.

Maka, yang tersisa adalah apakah nilai kita sebagai manusia yang bekerja masih diukur dari pencapaian dan status? Apakah kita masih ditentukan dari apa yang kita lakukan?

Kebahagiaan

Pekerjaan telah membentuk kepribadian kita. Itu pula yang menentukan kita sebagai manusia. Ambisi kita untuk memperoleh karir, materi dan prestise (reputasi) dalam pekerjaan sering mengaburkan esensi bekerja.

Salah satu bentuknya adalah kita terlalu sering bekerja. Indonesia sendiri termasuk negara yang memiliki jam kerja yang panjang, yaitu 2.133,88 jam (sebelum pandemi) per pekerja dalam setahun (BPS, 2020).

Terlepas dari apapun motif yang membuat kita terlalu sering bekerja ternyata jam kerja yang panjang (lebih dari 40 jam dalam seminggu) berkorelasi dengan ketidakbahagiaan.

Data dari OECD tahun 2019 tentang Average Annual Hours Actually Worked per Worker dan World Happines Report 2019 menunjukkan bahwa orang yang memiliki jam kerja pendek umumnya lebih bahagia bila dibandingkan dengan orang yang memiliki jam kerja panjang. Bagaimana dengan produktivitas kerjanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun