Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Universe

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Recehan: Selera dan Kualitas

26 Agustus 2020   08:29 Diperbarui: 26 Agustus 2020   08:28 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Recehan (republika.co.id)

Di era media sosial seperti sekarang ini, tidak terlalu sulit suatu peristiwa menjadi tenar atau viral. Salah satu yang viral, beberapa waktu yang lalu adalah video prank seorang Youtuber asal Bandung terhadap transpuan. Video prank yang dinilai melecehkan dan merendahkan transpuan tersebut menuai kecaman banyak pihak. 

Tak menunggu lama, pihak polisi menangkap sang Youtuber dan menjebloskannnya ke dalam penjara. Apakah masalah selesai? Belum tentu. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa video recehan seperti prank tersebut bisa viral? Dan mengapa konten- konten sejenis itu sering dijadikan bahan atau konten di media sosial?.

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya pengertian prank perlu dipahami. Kata "prank" berasal dari bahasa Inggris. Sejauh ini belum ada terjemahan kata prank dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). 

Menurut kamus Oxford; prank adalah kata kerja, yang dilakukan sebagai trik atau tipuan untuk seseorang sebagai candaan atau olok- olok. Kalau mau jujur, tayangan televisi nasional dan konten media sosial saat ini sudah sering menampilkan konten- konten seperti prank atau mendekati prank. 

Lihat saja acara Pesbuker, Akademi Dangdut, video- video Youtuber Indonesia dan lain sebagainya. Kebanyakan sifatnya melecehkan ataupun merendahkan orang lain. 

Mengapa konten- konten yang seperti itu cukup banyak dan laris?. Karena, selera sebagian besar orang Indonesia masih dilevel recehan. Disebut recehan karena tidak edukatif, dangkal, ringan, kurang bermutu tetapi berisik.

Manusia pada umumnya suka hiburan atau sesuatu hal yang membuat dirinya tertawa dan terhibur. Tidak ada yang salah dengan itu. Sayangnya, yang demikian kerap tidak memperhatikan nilai etika, edukasi dan estetika lagi. Bak gayung bersambut, demi menaikkan rating dan keuntungan finansial, media dan kreator konten banyak memproduksi atau membuat konten- konten receh untuk hiburan masyarakat.

Secara tidak langsung, kerja sama masyarakat- yang suka recehan- dengan industri hiburan yang opurtunis dan pragmatis telah melahirkan tidak sedikit "monster" ditengah masyarakat. Masyarakat dan industri hiburan yang membuat Youtuber asal Bandung sedemikian rupa dan populer. Masyarakat dan industri hiburan jugalah yang menghakiminya. 

Itulah yang terjadi saat ini. Dan bukan hanya acara tv, konten media sosial ataupun film, bahkan bacaan dan topik pembicaraan sehari- hari kebanyakan orang Indonesia juga masih dilevel recehan. 

Orang Indonesia masih banyak yang suka membaca tulisan/buku yang konspiratif, berisi hoax dan sejenisnya. Dan sebagian besar orang Indonesia juga lebih tertarik bila berbicara ataupun diskusi tentang topik- topik yang ringan dan dangkal. Kalaupun berbicara atau berdiskusi tentang hal yang serius dan dalam, hanya sepintas lalu saja.

Kebiasaan lain dari sebagian orang Indonesia yaitu  lebih suka menonton acara tv seperti sinetron azab, reality show uya kuya dibandingkan National Geographic. Orang Indonesia lebih suka menonton video youtube Ria Ricis dibandingkan video kuliah umum atau video tentang sains. Ini merupakan problem besar bangsa Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun