Mohon tunggu...
Riant Nugroho
Riant Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Spesialis Kebijakan Publik, Administrasi Negara, dan Manajemen Strategis

Ketua Institute for Policy Reform (Rumah Reformasi Kebijakan)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perencanaan Strategis: Bukan Visi Misi

26 Maret 2020   12:48 Diperbarui: 26 Maret 2020   13:00 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Visi dibatasi oleh eksistensi pemimpin. Artinya, karena visi melekat kepada pemimpin, maka rentang visi yang hendak dicapai adalah rentang di mana pemimpin mempunyai masa kerja. Ini menjadi penting, karena belakangan ini banyak pemimpin membuat visi yang merentang hingga di luar akuntabilitasnya sebagai pemimpin. Jika seseorang diberi kepercayaan Presiden Direktur untuk masa kerja 5 tahun, maka ia wajib membangun visi selama 5 tahun di mana ia mempunya akuntabilitas.

Mengapa ini penting? Karena sering pemimpin organisasi berusaha melepaskan tanggung jawab ke-visi-annya, dengan membuat visi jauh melebihi masa kerjanya, sehingga tatkala paa masa akhir jabatan ia diminta pertanggungjawaban akan visinya, maka ia dengan mudah mengatakan "Lho, itu harus dicapai beberapa tahun setelah ini." Di belakang kata-kata itu tersirat politik dari si pemimpin, bahwa ia memaksa agar organisasi memilihnya lagi sebagai pemimpin agar visi tercapai. Anda dapat menerima sebagai fakta atau menolak dengan alasan idealisme, tetapi tetap saja itu faktanya.

Pemimpin yang bertanggungjawab adalah pemimpin yang dapat mempertanggungjawabkan visinya! Pertanyannya adalah kalau begitu organisasi hanya punya visi jangka pendek? Tidak. Pertama, visi --jika hendak disebut demikian---jangka panjang adalah misi organisasi itu sendiri. Ke dua, pemimpin dapat membangun dua visi, yaitu core vision yaitu visi di mana ia mempunyai rentang akuntabilitas, yaitu sepanjang masa kerjanya, dan sekaligus membangun expanded vision yaitu visi yang merentang jauh ke depan, di mana tahap pertama dicapai melalui pencapaian core vision-nya. Dengan demikian, pemimpin mempunyai "jualan" untuk dijajakan kepada konstituten agar terpilih menjadi pemimpin --dan ini hal yang wajar sepanjang visi yang dibangun untuk kepentingan konstituten.

Visi jangka panjang penting untuk dibangun, sepanjang merupakan visi yang bersifat makro dan mempunyai ruang inovasi yang luas sehingga tidak menjadi sandungan bagi setiap pemimpin yang muncul.

Pada hemat saya, visi yang demikian berjangka panjang, dan menjadi bagian melekat dari organisasi --dan bukan lagi pemimpin semata---maka visi tersebut dapat dikategorikan sebagai specific mission. Keunggulan dari pemimpin yang menjadikan visi tersebut menjadi tak terpisahkan dari organisasi, sehingga sekaligus menjadi misi. Keunikannya adalah, jika sebuah perusahaan mempunya visi yang sedemikian melekat kepada misi, mereka tidak memerlukan lagi rumusan visi yang baru, bahkan ketika berganti pemimpin.

Perencanaan strategis langsung dapat dimulai dari tujuan-tujuan, yang terbagi ke dalam tujuang jangka panjang (5 tahun) dan jangka pendek (1 tahun) --pada dasarnya tidak ada tujuan jangka menengah, karena kurun waktu panjang langsung (lima tahun) dibagi habis oleh kurun waktu pendek (tahunan).


Bahkan, pada organisasi-organisasi nirlaba, seperti gereja, masjid, rumah sakit, pemelihara lingkungan, pelayanan sosial, badan regulator, dan sejenisnya, maka yang menjadi pegangan adalah hanyalah misi dari organisasi karena dari misi secara langsung dapat dirancang tujuan yang hendak dicapai dalam rentang 3-5 tahun, yang didetilkan menjadi tujuan tahunan, untuk kemudian dikembangkan menjadi detil rencana program.

Namun demikian, sering terjadi expanded vision yang tidak wajar, yaitu ketika expanded vision disahkan sebagai long term policy yang wajib dilaksanakan oleh pemimpin selanjutnya. Expanded vision seperti ini merupakan batu sandungan bagi pemimpin di masa depan, karena belum tentu visi pemimpin yang akan datang sama dengan pemimpin sebelumnya, dan belum tentu pula visi pemimpin sebelumnya yang ada pada expanded vision tersebut relevan dengan jaman yang berubah. Pertanyaannya apakah ada contoh seperti itu.

Salah satu yang dapat ditemukan hari ini adalah visi Indonesia 2025 yang dijadikan sebagai Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pemba-ngunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Siapa pun Presidennya, pada periode hingga 202, harus mengikuti undang-undang ini, termasuk pula prioritas dan strateginya --namanya juga Undang-Undang.

Kebijakan ini barangkali benar secara hukum, tetapi tidak etis, karena menjadikan batu sandungan bagi pemimpin masa depan. Jika Pemimpin Indonesia tahun 2019-2024 tidak sepakat dengan UU tersebut, berarti ia melanggar UU. Dan, Presiden tidak boleh melanggar UU, kan? "Ok, kan bisa dirubah". Kalau membuat UU hanya untuk kemudian dirubah, untuk apa, bukan?

Hal yang sama juga terjadi di perusahaan. Tidak sedikit CEO yang merancang visi yang amat panjang jauh ke depan, yang dapat dinilai sebagai fait-a-comply yang berlebihan terhadap masa depan dan pemimpin masa depan. Tentu saja, yang menjadi masalah terutama pada perusahaan BUMN, karena pada perusahaan swasta sering dianggap lumrah, terutama jika CEO-nya adalah juga sekaligus owner, bahkan founder.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun