Mohon tunggu...
Riant Nugroho
Riant Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Spesialis Kebijakan Publik, Administrasi Negara, dan Manajemen Strategis

Ketua Institute for Policy Reform (Rumah Reformasi Kebijakan)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perencanaan Strategis: Bukan Visi Misi

26 Maret 2020   12:48 Diperbarui: 26 Maret 2020   13:00 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Sebuah kritik kepada buruknya beberapa pasal kunci Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional)

(Pernah dimuat pada Majalah Bappenas, Januari 20097)

Oleh: Dr. Riant Nugroho

Rumah Reformasi Kebijakan

Dalam lima tahun terakhir ini muncul peristilahan yang melekat pada setiap upaya pencalonan Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, bahkan calon-calon pejabat publik lain[1]. Mereka senantiasa menyampaikan (setelah, tentu saja, sebelumnya diwajibkan) visi dan misinya. Hal ini bahkan menjadi acuan dari setiap penyusunan Rencana Strategis dari setiap organisasi publik dan nirlaba[2].

Hanya pemaknaannya saja yang membuat "gelisah", karena visi adalah tujuan yang hendak dicapai, dan misi adalah turunan visi yaitu bagaimana melaksanakan visi tersebut. Hal ini juga saya alami sewaktu menjalani tes untuk menjadi seorang pejabat pimpinan pada sebuah lembaga publik di Jakarta. Pada hemat saya, selama ini kita terjebak kepada kerancuan atau semacam "salah kaprah" berkenaan dengan pemaknaan dari specific words di dalam manajemen strategis. Mari kita mulai dari yang seharusnya di dalam konteks yang dikembangkan pada pemikir, praktisi, dan best practices.

Misi adalah yang pertama, karena misi melekat kepada organisasi. Misi adalah raison d'etre, atau alasan mengapa organisasi hadir atau eksis. Jadi, misi menentukan ke mana akan pergi, atau visi. Jika misi melekat pada organisasi, dan tidak berubah selama organisasi ada, kecuali organisasi dirombak atau direformasi, maka visi melekat pada individu yang memimpin organisasi.

Setiap pemimpin organisasi harus mempunyai visi ke mana organisasi di bawa selama di bawah kepemimpinannya. Ini perlu dipahami, karena seringkali pemimpin organisasi terlalu berlebihan, sehingga mencanangkan visi lebih dari yang dapat dicapainya. Ini juga membuat pemimpin menjadi terlalu berobsesi atau obsesif kepada apa yang dapat dicapainya, bahkan kepada kekuasaan organisasi. Jika pun pemimpin hendak mencanangkan visi melebihi jabatan kepemimpinannya, maka ia harus menetapkan detil dari visi yang hendak dicapai pada masa kerjanya, dan menetapkan bahwa visi jangka panjang adalah visi yang digerakkan oleh capaiannya pada visi di mana ia bekerja.

Pemahaman ini perlu dikemukakan, mengingat sebagian besar dokumen Perencanaan Strategis atau Renstra di Indonesia, maupun pada sejumlah buku teks yang dipergunakan di Indonesia, mengemukakan bahwa visi adalah yang pertama, dan misi merupakan penjabaran lebih rinci dari visi.

Pada UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dikatakan bahwa: "Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan (pasal 1: 11) dan: "misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksankan untuk mewujudkan visi (pasal 1: 12). Selanjutnya disebutkan strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi (pasal 1: 13).

Secara pemaknaan, visi sudah benar. Namun, yang dimaksud misi di sini adalah strategi, dan yang dimaksud dengan strategi adalah program. Misi bukanlah trickle down dari visi.

Pemahaman bahwa misi merupakan bagian ataupun tururnan ataupun penjabaran visi sebagaimana ditemukan pada UU No. 25 Tahun 2004 tidak ditemukan secara memadai pada pemikir-pemikir tentang manajemen strategis yang banyak diikuti, baik di dunia akademisi maupun praktek, baik pada lembaga pemerintaha, bisnis, maupun nirlaba seperti Hunger dan Wheelen pada bukunya Strategic Management (2010), Allison dan Kaye pada bukunya Perencanaan Strategis bagi Organisasi Nirlaba (2005), Mintzberg dan Quin pada bukunya The Strategy Process (1991), Thompson dan Strickland III pada bukunya Strategic Management (1995), Dess dan Miller pada bukunya Strategic Management (1993), Certo dan Peter pada bukunya Strategic Management (1991), Nutt dan Backoff pada bukunya Strategic Management on Public and Third Sector Organizations (1992), Bowman pada bukunya The Essence of Strategic Management (1990), Mintzberg pada bukunya The Rise and Fall of Strategic Plannig (1994). Rowe dkk pada bukunya Strategic Management: A Methodological Approach (1994), Calingo Strategic pada bukunya Management in the Asian Context (1997), Hax dan Majluf pada bukunya The Strategy Concept and Process: A Pragmatic Approach (1991), Steiner pada bukunya Strategy Planning: What Every Manager Must Know (1979), Pearce dan Robinson pada bukunya Strategic Management: Strategy Formulation and Implementation (1988), Fred R. David pada bukunya Strategic Management (2010), Bryson pada bukunya Strategic Planning for Public and Nonprofit Organizations (1995), Freeman pada bukunya Strategic Management: A Stakeholder Approach (1984), Robert pada bukunya Strategy: Pure and Simple (1993), Thompson dkk pada bukunya Strategy: Winning in the Marketplace (2004), Kaplan & Northon, Strategy Maps (2004).

Para ilmuwan manajemen strategis mempunyai beberapa pendapat, namun ada satu pendapat yang sebangun, bahwa misi bukan penjabaran dari visi. Atau --jika dikontraskan dengan pasal 1 (2) UU 25/2004-- pemikiran yang ada adalah bahwa misi BUKAN rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi.

Dengan studi literatur, dan pembelajaran melalui pendidikan, pengajar, dan praktek, maka pemikiran yang dikembangkan Bappenas tidak memadai untuk dijadikan sebagai acuan. Bahkan guru manajemen Peter Drucker dalam Managing for Nonprofit Organization (1994) secara tegas mengemukakan bahwa pada organisasi nirlaba, utamanya non pemerintah, yang ada hanyalah misi. Karena setelah misi yang ada adalah strategi untuk menerjemahkan aksi-aksi. Visi melekat pada strategi itu sendiri, yang terbagi pada tahapan-tahapan. Organisasi yang berganti misi sama dengan berganti organisasi itu sendiri. Karena misi adalah satu-satunya alasan mengapa organisasi harus ada.

Kita dapat memahami bahwa misi dari TNI adalah menjaga keselamatan negara Indonesia. Bagaimana jika menggunakan pola pikir tersebut, maka setelah ada visi baru yang mengikut kepada Panglima TNI yang baru, maka misi pun harus diganti. Misi adalah everlasting vision karena melekat sebagai landasan kesepakatan akan kontribusi dari organisasi kepada lingkungannya.

Misi

Misi adalah sebuah tujuan melekat dari setiap organisasi sampai ia kelak bubar. Misi organisasi memberikan acuan kepada pemimpin untuk merumuskan visi yang sesuai dengan kapasitas dari pemimpin tersebut untuk membuat mission accomplished melalui kapasitas dan keunggulan yang dimilikinya. Jadi, misi melekat kepada organisasi. Ini berbeda dengan visi yang melekat kepada leader, yaitu mereka yang bertanggungjawab merealisasikan misi organisasi pada kurun waktu di mana ia memimpin.

Visi pemimpin dirumuskan hanya sepanjang akuntabilitasnya, atau sepanjang jabatannya. Tidak disarankan untuk lebih. "Kelakukan" pemimpin yang membuat visi lebih dari masa kerjanya pertanda bahwa ia ingin terus-menerus duduk di kursi kekuasaan pemimpin.Para pimpinan perumuskan visi pada kurun waktu mana ia bekerja. Kombinasi antara misi (organisasi) dan visi (pemimpin) tertuang dalam bentuk strategi

Rumusan misi haruslah mencerminkan alasan mengapa organisasi ada. Untuk itu, terdapat dua jenis misi, yaitu misi sederhanadan misi yang dipertajam. Misi sederhana, misalnya misi industri sabun adalah menghasilkan atau memproduksi sabun. Misi yang lebih tajam adalah memproduksi sabun dengan kualitas terbaik.

Misi tidak berubah jika yang menjadi alasan keberadaan suatu organisasi tidak berubah. Contohnya, misi dari Indonesia adalah menyejahterakan rakyat Indonesia. Misi ini diringkas dari misi yang dicantumkan pada UUD 1945 yaitu:

"melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial"

oLEH

Selama Pemerintah Indonesia mempunyai alasan keberadaan yang sama, tidak berubah pula misinya. Selama industri sabun menghasilkan sabun, misinya tidak berubah. Dengan demikian, misi adalah sebuah hakikat dan tujuan melekat dari suatu organisasi. Jadi, misi belong to organization, not to person. Pertanyaannya, apakah misi dapat diganti?

Jadi, misi organisasi tidak dapat setiap saat diganti-ganti. Misi dapat diganti dengan tiga alasan pokok:

1. Organisasi bubar dan diganti dengan organisasi yang baru. Pada masa lalu, kelautan adalah urusan setingkat Dirjen di Departemen Pertanian. Pada masa reformasi, kelautan menjadi Departemen khusus, sehingga misi kelautan di Departemen Pertanian berubah, dan misi itu dilekatkannya dipindahkan ke lembaga lain.

2. Organisasi berganti produk. Di masa awal, Nokia mempunyai bisnis perkayuan, hari ini ia menjadi pemimpin di industri telekomunikasi, khususnya telekomunikasi selular. Kedua organisasi ini mengalami perubahan misi.

3. Organisasi melakukan transformasi besar-besaran. Di masa lalu, Garuda Indonesia mempunyai bisnis transportasi udara, di era reformasi, di bawah CEO Roby Djohan kemudian Abdulgani, maka misi bisnis Garuda Indonesia dirubah menjadi air services. Dengan demikian, fokus bisnis Garuda bukanlah menerbangkan pesawat dari satu tempat ke tempat lain, tetapi melayani pelanggan melalui pelayanan penerbangan. Sepintas, seperti sama. Tetapi berbeda. "Transportasi" tidak membedakan membawa orang atau barang. "Pelayanan" membedakan antara orang dan barang.

Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang merumuskan misi, dan kapan? Jawaban pertama, perumus misi organisasi adalah pendiri atau para pendiri organisasi tersebut, dan misi itu dirumuskan pada saat organisasi berdiri. Kadang-kadang, karena organisasi terlalu kecil, misalnya perusahaan skala mikro, maka pendiri atau para pendiri tidak merumuskan misi secara terkodifikasi, namun "cita-cita organisasi" yang disepakati oleh para pendiri itu adalah misi.

Jawaban ke dua, oleh mereka yang in charge pada saat organisasi mengalami perubahan besar sehingga misi harus dirubah, dirombak, atau pun diganti. Ambil contoh, sebuah perusahaan diririkan pertama kali dibentuk untuk meproduksi mobil, maka mnisi adalah memproduksi produk otomotif. Tetapi, ketika perusahaan itu maju dan berkembang menjadi perusahaan multi usaha, mulai otomotif, perkebunan, keuangan, dan seterusnya, maka pada saat itulah misi bisnisnya berubah dan berkembang. Pimpinan puncak dan jajaran manajemen puncak lah yang bertanggungjawab untuk meredefinisi misi tersebut.

Jadi, simpulannya adalah, jika organisasi tidak bubar, tidak berganti produk, tidak mengalami transformasi besar-besaran, maka tidak perlu diperdebatkan tentang misi organisasi. Yang perlu diperdebatkan adalah visi organisasi.

Pertanyaan yang "tersisa", apakah misi sama dengan visi. Sangat berbeda. Jika misi melekat kepada organisasi, maka sebagaimana dikemukakan di atas, visi melekat kepada manusia, yaitu kepada individu pemimpin organisasi. Di sini kita masuk kepada isu kepemimpinansebagai "entri" untuk memasuki bahasan visi.

Visi

Visi adalah cita-cita yang dibawa oleh setiap Pemimpin pada saat ia memimpin suatu organisasi --tanpa kecuali. Jadi, visi melekat kepada manusia Pemimpin. Jika visi melekat kepada pemimpin, visi mempunyai batas-batas --sama dengan misi. Jika misi dibatasi oleh eksistensi organisasi, artinya kalau organisasi bubar, demikian pula misinya.

Visi dibatasi oleh eksistensi pemimpin. Artinya, karena visi melekat kepada pemimpin, maka rentang visi yang hendak dicapai adalah rentang di mana pemimpin mempunyai masa kerja. Ini menjadi penting, karena belakangan ini banyak pemimpin membuat visi yang merentang hingga di luar akuntabilitasnya sebagai pemimpin. Jika seseorang diberi kepercayaan Presiden Direktur untuk masa kerja 5 tahun, maka ia wajib membangun visi selama 5 tahun di mana ia mempunya akuntabilitas.

Mengapa ini penting? Karena sering pemimpin organisasi berusaha melepaskan tanggung jawab ke-visi-annya, dengan membuat visi jauh melebihi masa kerjanya, sehingga tatkala paa masa akhir jabatan ia diminta pertanggungjawaban akan visinya, maka ia dengan mudah mengatakan "Lho, itu harus dicapai beberapa tahun setelah ini." Di belakang kata-kata itu tersirat politik dari si pemimpin, bahwa ia memaksa agar organisasi memilihnya lagi sebagai pemimpin agar visi tercapai. Anda dapat menerima sebagai fakta atau menolak dengan alasan idealisme, tetapi tetap saja itu faktanya.

Pemimpin yang bertanggungjawab adalah pemimpin yang dapat mempertanggungjawabkan visinya! Pertanyannya adalah kalau begitu organisasi hanya punya visi jangka pendek? Tidak. Pertama, visi --jika hendak disebut demikian---jangka panjang adalah misi organisasi itu sendiri. Ke dua, pemimpin dapat membangun dua visi, yaitu core vision yaitu visi di mana ia mempunyai rentang akuntabilitas, yaitu sepanjang masa kerjanya, dan sekaligus membangun expanded vision yaitu visi yang merentang jauh ke depan, di mana tahap pertama dicapai melalui pencapaian core vision-nya. Dengan demikian, pemimpin mempunyai "jualan" untuk dijajakan kepada konstituten agar terpilih menjadi pemimpin --dan ini hal yang wajar sepanjang visi yang dibangun untuk kepentingan konstituten.

Visi jangka panjang penting untuk dibangun, sepanjang merupakan visi yang bersifat makro dan mempunyai ruang inovasi yang luas sehingga tidak menjadi sandungan bagi setiap pemimpin yang muncul.

Pada hemat saya, visi yang demikian berjangka panjang, dan menjadi bagian melekat dari organisasi --dan bukan lagi pemimpin semata---maka visi tersebut dapat dikategorikan sebagai specific mission. Keunggulan dari pemimpin yang menjadikan visi tersebut menjadi tak terpisahkan dari organisasi, sehingga sekaligus menjadi misi. Keunikannya adalah, jika sebuah perusahaan mempunya visi yang sedemikian melekat kepada misi, mereka tidak memerlukan lagi rumusan visi yang baru, bahkan ketika berganti pemimpin.

Perencanaan strategis langsung dapat dimulai dari tujuan-tujuan, yang terbagi ke dalam tujuang jangka panjang (5 tahun) dan jangka pendek (1 tahun) --pada dasarnya tidak ada tujuan jangka menengah, karena kurun waktu panjang langsung (lima tahun) dibagi habis oleh kurun waktu pendek (tahunan).

Bahkan, pada organisasi-organisasi nirlaba, seperti gereja, masjid, rumah sakit, pemelihara lingkungan, pelayanan sosial, badan regulator, dan sejenisnya, maka yang menjadi pegangan adalah hanyalah misi dari organisasi karena dari misi secara langsung dapat dirancang tujuan yang hendak dicapai dalam rentang 3-5 tahun, yang didetilkan menjadi tujuan tahunan, untuk kemudian dikembangkan menjadi detil rencana program.

Namun demikian, sering terjadi expanded vision yang tidak wajar, yaitu ketika expanded vision disahkan sebagai long term policy yang wajib dilaksanakan oleh pemimpin selanjutnya. Expanded vision seperti ini merupakan batu sandungan bagi pemimpin di masa depan, karena belum tentu visi pemimpin yang akan datang sama dengan pemimpin sebelumnya, dan belum tentu pula visi pemimpin sebelumnya yang ada pada expanded vision tersebut relevan dengan jaman yang berubah. Pertanyaannya apakah ada contoh seperti itu.

Salah satu yang dapat ditemukan hari ini adalah visi Indonesia 2025 yang dijadikan sebagai Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pemba-ngunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Siapa pun Presidennya, pada periode hingga 202, harus mengikuti undang-undang ini, termasuk pula prioritas dan strateginya --namanya juga Undang-Undang.

Kebijakan ini barangkali benar secara hukum, tetapi tidak etis, karena menjadikan batu sandungan bagi pemimpin masa depan. Jika Pemimpin Indonesia tahun 2019-2024 tidak sepakat dengan UU tersebut, berarti ia melanggar UU. Dan, Presiden tidak boleh melanggar UU, kan? "Ok, kan bisa dirubah". Kalau membuat UU hanya untuk kemudian dirubah, untuk apa, bukan?

Hal yang sama juga terjadi di perusahaan. Tidak sedikit CEO yang merancang visi yang amat panjang jauh ke depan, yang dapat dinilai sebagai fait-a-comply yang berlebihan terhadap masa depan dan pemimpin masa depan. Tentu saja, yang menjadi masalah terutama pada perusahaan BUMN, karena pada perusahaan swasta sering dianggap lumrah, terutama jika CEO-nya adalah juga sekaligus owner, bahkan founder.

Pastinya, visi adalah agenda pemimpin, bukan agenda staf. Dengan demikian, menjadi aneh jika ada suatu nasehat bahwa untuk merumuskan visi perlu dibentuk sebuah "Tim Visi" yang diberi mandat merumuskan visi organisasi. Ini adalah fakta yang banyak terjadi pada banyak organisasi di Indonesia, khususnya organisasi publik dan kemasyarakatan yang nirlaba.

Model perumusan visi oleh suatu tim pada hemat saya adalah sebuah bentuk tidak-dimengertinya makna the basic meaning of leadership accontability, karena akuntabilitas utama dan pertama dari pemimpin adalah menetapkan visi. Jadi, tugas merumuskan visi adalah tugas pemimpin, bukan tugas sekelompok orang yang diberi mandat untuk merumuskan visi. Mengapa? Karena pemimpin dipilih dengan pertimbangan ia mempunyai visi yang terbaik di antara para kandidat yang lain.

Alangkah tidak sesuainya, seseorang ditunjuk menjadi pemimpin tetapi tidak mampu merumuskan visi akan dibawa ke mana organisasi yang dipercayakan kepadanya. Mengapa hal ini menjadi penting? Dari pengalaman, begitu banyak organisasi, terutama organisasi publik dan nirlaba, begitu memasuki era kepemimpinan baru, maka dibentuk Tim Perumus Visi (dan Misi).

Sebuah pemberian tanggungjawab yang tidak pada tempatnya. Memang, organisasi dapat saja membentuk tim perumus Visi, tetapi tim ini dipimpin oleh "CEO"nya. Jika di Departemen atau Kementerian dipimpin oleh Menteri --bukan pejabat eselon I apalagi eselon II atau III. Jika di Partai, maka dipimpin oleh Ketua Partai. Jika di perusahaan, oleh Direktur Utama. Tugas tim adalah memilihkan kata yang sesuai dengan visi yang digagas CEO. Visi sendiri adalah tanggung jawab dari Top Leader.

Benang Merah

Paparan pemikiran manajemen strategis di awal dan pemahaman lanjutan digambarkan sebagai berikut. Yang pertama adalah misi, karena merupakan raison d'etre dari keberadaan suatu organisasi. Pada setiap kurun waktu, organisasi dipimpin oleh seorang pemimpin. Pemimpin ini hadir membawa leadership's vision untuk membimbing organisasi mencapai misinya --agar mission accomplished. Ketercapaian misi organisasi pada kenyataannya tidak mempunyai batas-batas, baik batas "waktu" maupun batas "keberhasilan".

Makna suatu "keberhasilan" sangat cepat lekang oleh waktu sehingga organisasi senantiasa mengembangkan misinya. Contoh, organisasi Republik Indonesia Indonesia mempunyai misi untuk menyejahteraan rakyatnya. Makna dan kualitas kesejahteraan pada tahun 1945 berbeda dengan di tahun 1965, 1995, dan 2005. Contoh lain, perusahaan otomotif mempunyai misi menguasai 20% pasar otomotif. Pada saat populasi manusia hanya 100, maka pangsa pasar itu berjumlah 20. Namun, ketika populasi menjadi 1.000.000, maka pangsa pasar itu menjadi 200.000.

Setelah misi, visi, maka kemudian dirumuskan strategi, yang selajutnya diturunkan menjadi kebijakan, selanjutnya menjadi program-program kerja, diteruskan menjadi proyek-proyek, kemudian kegiatan-kegiatan yang menghasilkan produk. Produk inilah yang merupakan "kinerja", yang merupakan materialisasi dari visi pemimpin dalam merealisasikan misi organisasi.

Masalah yang penting menjadi perhatian adalah, bahwa visi adalah domain dari setiap leader. Sayang, pada banyak buku teks yang dipergunakan pada organisasi publik, visi dirumuskan oleh sebuah tim perumus visi. VISI DIRUMUSKAN OLEH PEMIMPIN. Mengapa? Karena, PEMIMPIN DIPILIH KARENA MEMPUNYAI VISI YANG TERPILIH akan ke mana organisasi dibawa.

Yang menjadi masalah, perumusan visi seperti pola yang sekarang berubah menjadi sebuah KESEPATAKAN DI ANTARA PARA ANGGOTA ORGANISASI. Kalau sudah seperti itu, maka PEMIMPIN TADI BUKAN LAGI PEMIMPIN. Ia hanya sekedar KOORDINATOR. Model ini juga dipergunakan pada lembaga-lembaga yang tidak menganut seorang pimpinan tunggal tetapi pimpinan kolektif. Pada sistem politik, pola ini dilakukan pada organisasi polit-biro di Soviet pada era komunisme. Pola ini juga diikuti antara lain pada lembaga gereja beraliran manajemen presbitarian di mana, pimpinannya adalah sebuah kolektivitas atau komune atau kelompok yang diangkat sebagai kongregasi dari warga gereja --biasanya disebut sebagai "Majelis" atau "Majelis Agung".

Jadi untuk organisasi publik yang dipimpin oleh seorang top executive, seperti Presiden di tingkat Pemerintahan, Menteri di tingkat Departemen dan Kementerian, Kepala untuk Badan atau Lembaga Pemerintah non Departemen/Kementerian, Gubernur di tingkat Propinsi, Bupati di tingkat Kapubaten dan Walikota di tingkat Kota. Untuk organisasi seperti ini, seseorang ditunjuk atau dipercaya menjadi pemimpin harus membawa visi. Nasihat mengatakan without vision people shall perished.

Demikian juga organisasi yang dipimpin seorang pimpinan yang tidak membawa visi, dan ia menyerahkan pembuatan misinya kepada bawahannya yang dibentuk untuk membuat visinya --dan hal ini yang terjadi pada lembaga-lembaga publik di Indonesia, kecuali lembaga Presiden. Tim yang dipimpinnya hanya dapat dimintai memberikan masukan untuk mendetilkan visi, sementara tugas merumuskan visi berada pada kewajiban (bukan hak!) dari pemimpin.

Tugas tim adalah mendetilkan visi, hingga menjadi strategi dan seterusnya. Pemimpin yang tidak bersedia merumuskan visinya terhadap organisasi dapat dikatakan tidak bertanggungjawab atas kehormtan yang diberikan kepadanya sebagai pemimpin puncak -- atau leader. Karena, jika gagal mencapai visi, ia mempunyai ruang yang amat leluasa untuk menyalahkan bawahannya.

Manajemen strategis--sejak formulasi hingga implementasi--- perlu mengikuti kaidah-kaidah tersebut karena memang kaidah tersebut bersifat given atau tidak dapat ditolak. Sama seperti jika seorang anak lelaki kecil hendak kencing, maka langkah pertama adalah membuka resleting celana, menurunkan celana luar, menurunkan celana dalam, mengeluarkan alat pengeluar urine (maaf- penis) dan baru urine dari dalam ginjal dibuang. Jika baru celana luar yang dibuka, tetapi celana dalam belum, tetapi langsung kencing, maka jorok, bukan? Apalagi jika celana belum dibuka langsung kecing, apa namanya kalau bukan ngompol.

Shakespeare --yang bukan guru manajemen--- dalam Hamlet, drama yang ditulisnya, mengatakan what is the meaning of the name, misalnya --seperti kasus di atas "misi" adalah "terjemahan visi"--- atau yang harus ada adalah "Program" (ingat, Program Pembangunan Nasional atau Propenas, yang menggantikan Repelita di jaman Orba) baru kemudian Strategi (ingat ada Renstra, yang dibangun mengacu kepada Propenas). Penamaan tersebut tidak bisa dipungikiri karena alergi dengan istilah Orde Baru, Rencana Pembangunan Nasional, meski kata "rencana pembangunan nasional" itu bukanlah mencerminkan atau copy right dari Orde Baru.

Pada manajemen strategis, "nama" adalah meaningful karena memberikan makna yang berlainan. Ini juga yang perlu menjadi kekritisan kita ketika memberi nama rangkaian manajemen strategis yang kita buat. Ibarat hendak ke bulan, sampai ke derajad pun, kalau perlu dibuat secermat mungkin. Salah satu derajad di bumi bisa hanya 1 senti, tetapi pada jarak ratusan kilometer, bentangan 1% bisa membuat pesawat luar angkasa "ulang-balik" berubah menjadi "pesawat ulang tidak balik"

Jadi, apa agenda kita sekarang. Agenda ini terpulang pertama-tama kepada Bappenas. Sebagai perancang dan pelaksana UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional perlu memperbaiki beberapa pasal vital yang tidak sebangun berkenaan dengan pemahaman akademik, universal, danbest practices dunia. "Berbeda" adalah baik, sepanjang "tidak asal beda", atau "nyleneh".

Jika setiap periode pemimpin misi (yang melekat pada organisasi), maka organisasi itu akan dengan cepat disorientasi bahkan sebenarnya "sudah bubar, karena misinya berubah/berganti" tetapi "masih berjalan" karena wadahnya masih "hidup". Mirip zombie.

Visi adalah tugas pemimpin, bukan tugas bawahan. Pemahaman ini barangkali banyak dipengaruhi Bryson (1995), yang sebenarnya tidak sebangun dengan keberadaan faktual seorang leader. Para penasihat, akademisi, dan praktisi meyakini bahwa visi adalah the most original ingredient dari seorang leader. Jika Pimpinan Kementerian Menyerahkan perumusan visi kepada bawahan seperti yang terjadi hingga kegiatan yang dilakukan oleh sebuah produsen sabun mandi, "cuci tangan bersama".

Pembelajaran

Tetapi memahami misi dan visi saja tidaklah memadai. Karena itu, kita perlu memahami bagaimana perencanaan strategis secara utuh, tidak semata-mata dari teori, tetapi bagaimana membawa teori dan pengalaman terbaik menjadi fakta seni dan ketrampilan, menjadi in action.

Masalah lain adalah, kita terlanjur melihat perencanaan strategis sebagai panasea, obat mujarab bagi semuanya. Akibatnya, begitu suatu organisasi selesai merumuskan renstra, semua bernafas lega: "Nah, selesailah tugas kita!" Kita seringkali berfikir (dan berbuat), bahwa kalau renstra sudah ada, maka renstra akan berjalan dengan sendirinya.

Para pimpinan tinggal mencetak dan membagikan ke seluruh bawahan, kemudian akhir masa kerja, dievaluasi. Percayalah, jika evaluasinya baik, pasti begitu banyak cosmetics-action pada hasil evaluasi. Yang saya ketahui, dari banyak evaluasi kinerja organisasi, yang terjadi adalah yang dicapai tidak nyambung dengan renstra. Semua orang berjalan sendiri-sendiri. Alasannya adalah menyesuaikan dengan perobahan. Padahal, disebut "penyesuaian" jika penyimpangan yang terjadi hanya pada kisaran 20% dari rencana. Lebih dari itu hanya dua sebutan yang dapat dipilih: memberontak terhadap rencana atau tidak ada rencana sama sekali --jika pun ada hanya formalitas belaka.

Berapa banyak kerugian kita membuat renstra yang hanya untuk kepentingan formallitas, karena sudah "menjadi kewajiban", "menjadi kebiasaan", dan sejenisnya ? Untuk membuat satu renstra, sebuah Departemen memerlukan biaya sekitar Rp 500 juta sampai dengan Rp 1 milyar. Taruh kata, Rp 500 juta. Jika di Indonesia ada 10.000 ada lembaga publik di pusat dan daerah, termasuk lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, akuntatif, BUMN dan BUMD, universitas, maka paling tidak telah dikeluarkan biaya Rp 5.000.000.000.000, atau Rp 5 trilyun. Berapa banyak dari biaya tersebut yang memberikan hasil yang diharapkan ? Jika terjadi penyimpangan 20%, di atas kertas terjadi "kerugian" Rp 1 trilyun. Belum lagi jika terjadi kerugian sampai 50%. Itu dari sisi biaya renstra, belum dari kerugian impak renstra yang salah.

Renstra penting bagi organisasi, tetapi kita tidak dapat menjadikannya sebagai obat amat mujarab, dan dengan punya renstra, seakan sim salambim ! tujuan tercapai !

Jika kita terkena penyakit itu, mari kita simak komentar dari John M. Bryson dalam Strategic Planning for non public and non profit organizations (1995, 9): "Clearly, strategic planning is no panacea. As noted, strategic planning is simply a set of concepts, procedures, and tool designed to help leaders, managers, and planners think and act strategically: Used in wise and skillful ways by a "coalition of the willing", strategic planning can help organizations focus on producing effective decissions and actions that further the organization's mission, meets is mandates, and satisfy key stakeholders".

 Dan, jangan lupa, perencanaan strategis tidak pernah menggantikan peran pemimpin. Strategic planning is not a substitute for leadership. Pemimpin merupakan faktor sentral dalam organisasi.

Namun, meski organisasi mempunyai pemimpin, tapi tanpa rencana strategis, ia dapat menjadi adalah organisasi yang tidak tahu ke mana akan pergi. Memang, dengan memiliki rencana strategis, organisasi Anda mungkin tidak akan mencapai tujuan yang dikehendaki. Tetapi, tanpa rencana strategis, maka organisasi yang Anda pimpin pasti akan tersesat dan tidak akan mencapai tujuan yang dikehendaki. Organisasi bukan saja pergi ke somewhere else, tetapi amat mungkin organisasi akan pergi ke nowhere.

Rujukan

Allison, Michael, dan Jude Kaye, Perencanaan Strategis bagi Organisasi Nirlaba (2005), Jakarta: Obor-TIFA

Boulton, Richard E.S., Barry D. Libert, Steve M. Samek, dalam bukunya Cracking Value Code (2000), New York: Harper Business.

Bowman, Cliff, The Essence of Strategic Management (1990), New York: Prentice Hall

Bryson, John M., Strategic Planning for Public and Nonprofit Organizations (1995), San Francisco: Jossey-Bass.

Calingo Strategic Management in the Asian Context (1997), Singapore: Willey

Certo, Samuel C., dan J. Paul Peter, Strategic Management (1990), New York: McGraw-Hil.

Certo, Samuel C., dan J. Paul Peter, 1991, Strategic Management: Concepts and Applications, New York: McGraw Hill

Champy, James, 1995, Reengineering Management, New York:Harper& Row

David, Fred R., Strategic Management (2011), New York : Prentice Hall

Dess, Gregory, dan Alex Miller, Strategic Management (1993), New York: McGraw-Hil.

Drucker, Peter, Managing for Nonprofit Organization (1994), Harper & Row

Drucker, Peter F., Management Challange for the 21st Century (1999), New York: Harper & Row.

Freeman, R. Edward, Strategic Management: A Stakeholder Approach (1984), Boston: Pitman.

Grundy, Tony, and Laura Brown, 2004, Be Your Ownd Strategy Consultant, London: Thompson Learning

Hax, Arnoldo C, dan Nicolas S. Majluf, The Strategy Concept and Process: A Pragmatic Approach (1991), New York: Prentice Hall

Hope, Jeremy,& Tony Hope, 1997, Competing in the Third Wave: The Ten Key Management Issues of the Information Age, Boston: Harvard Business School Press

Hunger, J. David, dan Thomas L. Wheelen, Strategic Management (2010), Massachusetts: Adison-Wesley.

Kaplan, Robert, and David P. Northon, 2004, Strategy Maps, Boston: HBR Press

Mintzberg, Henry, The Rise and Fall of Strategic Plannig (1994), New York: Free Press.

Mintzberg, Henry, dan James Brian Quin, The Strategy Process (1991), New York: Prentice Hall

Mintzberg, Henry, Safary Strategy (1998), New York: Free Press.

Nutt, Paul C., dan Tobert W. Backoff, Strategic Management on Public and Third Sector Organizations (1992), New Jersey: Jossey-Bass

Ohmae, Kenichi, The Mind of the Strategist (1992), New York : McGraw-Hill.

Pearce, John A., dan Richard B. Robinson Jr, Strategic Management: Strategy Formulation and Implementation (1988), Illinois-Tokyo: Irwin-Topan

Porter, Michael E., Competitive Strategy (1980), New York: Free Press.

Porter, Michael E., Competitive Advantage (1985), New York: Free Press.

Porter, Michael E., On Competition (1998), Boston : Harvard Business Press.

Porter, Michael E., Competitive Advantage Among Nations (1998), London: McMillan Business

Porter, Michael E., and Cynthia A. Montgomery (eds.), 1991, Straregy: Seeking and Securing Competitive Advantage, Boston: Harvard Business Review Book

Robert, Michel, Strategy: Pure and Simple (1993), New York: McGraw-Hil.

Rowe, Alan J, Richard O. Masson, Karl E. Dickel, Richard B. Mann, dan Robert J. Mockler, Strategic Management: A Methodological Approach (1994), Massachusetts: Adison-Wesley.

Rumelt, Richard P., 1986, Strategy, Structure, and Economic Performance, Boston: Harvard Business Review Book

Salusu, J., 1996, Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Nonprofit, Jakarta: Grasindo.

Shirley, Rocert C., Michael H. Peters, dan Adel I. El-Ansarey, Strategy and Policy formation: A Multifunctional Orientation (1981), New York: Willey.

Steiner, George A., Strategy Planning: What Every Manager Must Know (1979), New York: Free Press

Steiner, George A., and John B. Miner, 1986, Management Policy and Strategy, New York: MacMillan

Thompson, Arthur A., dan A.J. Strickland III Strategic Management (1995), Boston: Irwin.

Thompson, Arthur A., John E. Gamble, dan A.J. Strickland III, Strategy: Winning in the Marketplace (2004), Boston: Irwin-McGraw-Hill.

Volberda, Henk. W., and Tom Elfring, 2001, Rethinking Strategy, London: Sage Publication.

Lain-lain:

Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun