Mohon tunggu...
Riant Nugroho
Riant Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Spesialis Kebijakan Publik, Administrasi Negara, dan Manajemen Strategis

Ketua Institute for Policy Reform (Rumah Reformasi Kebijakan)

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Sebuah Model 5 Kluster Kondisi Utang

24 Januari 2020   22:31 Diperbarui: 24 Januari 2020   22:28 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Kluster Kondisi Utang

Dilaporkan, total utang pemerintah hingga November dalam bentuk SBN mencapai Rp 4.044 triliun, terdiri dari SBN domestik Rp 2.978,74 triliun dan SBN valas Rp 1.065,5 triliun. 

Utang dalam bentuk pinjaman mencapai Rp 770,04 triliun yang didominasi pinjaman luar negeri Rp 761,95 triliun. Rasio total utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB diperkirakan 30, 03% terhadap PDB, naik dibanding bulan sebelumnya sebesar 29,87%. Jumlah ini "masih" di bawah "aturan" di UU 17/2003 tentang Keuangan Negara penjelasan pasal 12 ayat tiga yang mengatakan: "Ayat (3) Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto." 

Pasal yang diturunkan dari kesepakatan di Uni Eropa tahun 2003 yang pada pasal 126 menyatakan bahwa anggota UE dibatasi defisitnya hingga 3% GDP dan total hutangnya hingga 60% GDP. Secara perbandingan, utang itu masih aman, dibanding dengan Malaysia yaitu 50 persen dari PDB dan Jepang yang mencapai 200 persen dari PDB

Apa yang dapat kita pelajari? Pertama, kita, sebagai publik, yakin dengan penjelasan resmi, meski di baliknya tidak mengerti itu, dan tidak mengerti apa yang terjadi dengan ekonomi kita masing-masing. 

Ekonomi sudah menjadi "bahasa Tuhan", setelah melewati fase "bahasa elit", "bahasa rejim", dan "bahasa kebenaran ilmiah". Masyarakat merasakan hidup, secara ekonomi, makin tidak mudah, tetapi tidak tahu apa penyebabnya, karena para pakar yang ada di pemerintahan mengatakan semua baik-baik saja, dan mereka yang berani mempertanyakan disergah dengan kalimat khas: "kalau tidak tahu jangan bertanya". 

Termasuk ketika menanyakan apa alasan kok menggunakan 3% dan 60%?  Apalagi menanyakan mengapa kok mengkopi Uni Eropa?

Ke dua, mungkin kita perlu tahu, bahwa sistem politik Indonesia dan, mungkin, semua negara di dunia tidak lagi "menganut" demokrasi, tetapi, ekonokrasi, sebuah diksi yang dikenalkan melalui buku Joe Earle, Cahal Moran, dan Zach Ward-Perkins dengan judul The Econocracy: the perils of leaving economics to the experts (2017). 

Premisnya, Inggris menjadi negara ekonokrasi di mana ekonomi menjadi tujuan utama politik, yang bahkan menjadikan demokrasi hanya sebagai etalase. 

Sistem politik ekonokrasi menjadikan para ekonom menjadi penentu kebijakan, bahkan penentu politik. Mereka terutama memperjuangkan pelaku pasar, terutama pelaku besar, dan meninggalkan publik. Masalah-masalah sosial semakin memburuk karena permasalahan negara hanya diatasi dengan disiplin ekonomi. Terlebih disiplin ekonomi mikro, atau setidaknya didasari dari keyakinan kebenaran mutlak dari ekonomi mikro. 

Ketiga, nampaknya teori yang rumus ekonomi yang canggih, matematalistik, komputeristik, nampakya mulai meninggalkan logika yang menjadi hadiah dari Tuhan kepada manusia, seperti serial film BBC yang dibukukan dalam The Ascent of Man (1973) karya Jacob Bronowski, guru besar matematika sekaligus ahli sejarah umat manusia. Hemat saya, logika utang Pemerintah ada dalam lima kluster.

Kluster pertama, utang, terutama utang internasional, naik berapa saja komposit berapa saja, aman-aman saja, sepanjang daya bayarnya naik. Daya bayar itu ada dua: pertama, terjadi kenaikan surplus transaksi berjalan internasional, atau ekspor melebihi impor. Kedua, kemampuan bayar pajak dari masyarakat terus meningkat.

Kluster ke dua, utang pemerintah terus naik, surplus transaksi berjalan naik terus, namun daya bayar pajak terhambat dan ada di bawah kenaikan utang. Kondisinya awas, dan pembayaran utang berpotensi diperoleh dari penarikan utang yang baru.

Sama dengan itu, kluster ke tiga, utang pemerintah terus naik, kemampuan bayar pajak dari masyarakat terus meningkat, namun surplus transaksi berjalan menurun, bahkan defisit. Kondisinya awas, dan pembayaran utang berpotensi diperoleh dari penarikan utang yang baru.

Kluster ke empat, utang pemerintah terus naik, kemampuan bayar pajak dari masyarakat terus menurun, transaksi berjalan minus. Kondisinya berbahaya, berapa pun bersaran utang dan kompositnya. Pembayaran utang pasti dibayar dari dari penarikan utang yang baru.

Kluster ke lima, utang pemerintah terus naik, kemampuan bayar pajak dari masyarakat terus menurun, transaksi berjalan minus. Malangnya, Pemerintah terpaksa menurunkan persentase atau besaran pajak, terutama pajak korporasi, untuk mengajar investasi global. 

Kondisinya sangat berbahaya, berapa pun bersaran utang dan kompositnya. Pembayaran utang sudah pasti dibayar dari dari penarikan utang yang baru.

Dari lima kluster Itulah sebenarnya kita dapat mengembangkan kebijakan utang yang lebih baik dan kuat daripada yang ada saat ini. Komentar ekonomi mungkin adalah itu tidak mudah, apalagi defisit transaksi berjalan itu di luar urusan kami, atau pajak itu sulit karena faktornya banyak. 

Itulah sebabnya, harus disadari kebijakan publik itu tidak mudah, termasuk kebijakan keuangan negara, sehingga perlu kolaborasi dengan sektor lain. Tidak perlu lagi "bahasa Tuhan". Tidak memadai lagi arogansi Ekonokrasi.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun