Mohon tunggu...
Riant Nugroho
Riant Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Spesialis Kebijakan Publik, Administrasi Negara, dan Manajemen Strategis

Ketua Institute for Policy Reform (Rumah Reformasi Kebijakan)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kebijakan Anti Banjir untuk Jakarta

3 Januari 2020   20:04 Diperbarui: 3 Januari 2020   20:01 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namun demikian, ada contoh yang kurang baik, yaitu Hongkong, di mana pemukiman ke atasnya relatif tidak manusiawi. Model rusun yang kumuh, kecil-kecil menjulang ke atas, umpek-umpekan. Sudah begitu, harganya sangat mahal.

Teori ini yang napaknya dipilih Jakarta karena pembangunan hunian ke atas yang diserahkan kepada pengembang, tanpa dukungan cukup dari Pemerinlah setempat. Sementara itu, hunian yang dibangun Pemerintah setempat bentuknya ya tadi, kecil dan uyel-uyelan.

Jadi, isu kebijakan yang pertama bukan berkenaan dengan air, namun dengan percepatan penyediaan hunian. Jadi, kebijakan pertama yang harus dipikirkan adalah bagaimana menyediakan hunian untuk Jakarta? Tidak mudah, karena memindahkan penduduk dari Rumah Tapak ke apartemen tidak mudah, apalagi masalah budaya sakdumuk bathuk sak nyari bumi.

Belum lagi ada lahan yang diserobot pendatang dari luar Jakarta kemudian disertifikatkan dan diberi sertifikat. Belum lagi ada lahan milik Pemda yang katanya dijual diam-diam ke pengembang, entah dengan cara seperti apa.

Belum lagi keenggaranan Pemda untuk menata kepemilikan lahan Pemda. Belum lagi keengganan untuk melakukan kebijakan bank tanah. Belum lagi keenggananan untuk meng-earmark kebijakan hunian dengan perpajakan dan insentif atasnya.

Asumsi ke dua, dalam jangka panjang naturalisasi tidak akan menyelesaikan masalah, selain membengkakkan anggaran untuk pembangunan dan itu pun tidak efektif. Naturalisasi tetap terbaik, namun harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Karena itu teori ke dua adalah revitalisasi sungai dalam bentuk naturalisasi atau mengembalikan ke bentuk alam.


Seoul merevitalisasi sungai  Chonggyechun, meski dengan model perpaduan dengan normalisasi. Naturalisasi adalah memastikan sungai berfungsi seperti aslinya sebagai pembawa air dan pensuplai air ke bawah tanah Jakarta.

Untuk itu, sempadan sungai seluas 100 meter harus dibebaskan. Tapi bagaimana? Ini adalah tantangan kebijakan yang harus diselesaikan. Diperlukan kepala daerah yang berani, jujur, punya konsep, strategi, dan kemampuan eksekusi.

Gubernur Anies mengambil pendekatan naturalisasi, tapi sayang belum ada kebijakan aksi yang cukup untuk melaksanakannya. Pada saat menjadi policy-makers, seorang cendekiawan yang sebelumnya menjadi penulis puisi, harus mampu menjadi penulis prosa. Yang berarti berhenti dari kata-kata ke fakta-fakta.

Dan memang tidak mudah, tapi tidak berarti tidak menulis "prosa", melainkan memilih "berpuisi". Tim kebijakannya pun harus membantu memikirkan ke sana.

Kebijakannya? Salah satunya, seperti dikemukakan di depan, trade-off policy. Lahan perorangan dibebaskan secara masif oleh Pemerintah namun untuk kepentingan publik. Kawasan ini terutama di kawasan sepanjang sungai dengan lebar sampai 100 meter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun