Mohon tunggu...
Riant Nugroho
Riant Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Spesialis Kebijakan Publik, Administrasi Negara, dan Manajemen Strategis

Ketua Institute for Policy Reform (Rumah Reformasi Kebijakan)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kebijakan Anti Banjir untuk Jakarta

3 Januari 2020   20:04 Diperbarui: 3 Januari 2020   20:01 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelumya, kawasan tersebut biasanya memang digenangi air pada saat hujan, namun karena kawasan tersebut dihuni manusia, maka jadilah disebut banjir. Sesederhana itu.

Setiap kawasan perkotaan, apalagi menjadi kota besar, hunian adalah kebutuhan mutlak. Tidak terkecuali Jakarta dan kota-kota yang mendadak menjadi metropol di sekitarnya. Tidak ada kawasan yang tidak diolah menjadi hunian. Tuduhan pertama adalah tidak ada amdal, atau amdalnya abal-abal. Tuduan selanjutnya adalah pasti ada sesuatu di belakangnya. 

"Tuduhan" tersebut barangkali benar. Namun yang sebenarnya terjadi adalah kawasan seperti Jakarta, ibukota Republik Indonesia, adalah sebuah kawasan yang tidak mengerti bagaimana menjadi kota modern, lebih jauh lagi kota metropolitan, bahkan megapolitan. Jakarta nampaknya baru sebatas kampung, sehingga tidak perlu kecewa jika perilaku dan kebijakannya pun banyak "kampungan". 

Salah satu definisi dari "kampungan" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berkaitan dengan kebiasaan di kampung; terbelakang (belum modern); kolot; tidak tahu sopan santun; tidak terdidik; kurang ajar (https://kbbi.web.id/kampung).

Begitu juga dengan rerata perilaku dan kebijakan yang ada. Perilaku yang diperlukan adalah individualis (mandiri), tetapi yang hadir adalah egois (menang sendiri). 

Kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan dengan accountability dan responsibility, namun yang hadir adalah kebijakan yang answerability. Bahkan, saling-tuding-ability. Saling menyalahkan. Padahal sudah jelas siapa yang harusnya bertanggung-jawab.


Jadi, bagaimana sebaliknya? Ini lebih penting daripada menyalahkan warga Jakarta dan polcymakers-nya. Untuk itu dalam menyelenggarakan kota semegah Jakarta, ada tiga kebutuhan yang harus dimiliki. Asumsi yang benar. Teori yang benar. Dan Praktek yang benar. Ketiganya ada pada satu lajur atau lintasan. Artinya: Asumsi yang benar menentukan Teori yang benar dan selanjutnya menentukan Praktek yang benar.

Dari Asumsi ke Kebijakan
Jadi, solusinya adalah kita perlu punya asumsi, yang kemudian menentukan teori yang dipilih, dan kemudian menetapkan kebijakan.

Asumsi pertama adalah bahwa kota memerlukan lahan hunian yang cepat dan dalam jumlah besar. Untuk itu, hunian di perkotaan harus naik ke atas, bukan meluas-melebar. Teorinya adalah teori upward settlement atau pemukiman ke atas.

Praktiknya, kebijakan dan pengadaan perumahan yang naik ke atas, ukuran cukup luas, tidak kumuh, dan harga terjangkau, baik untuk sistem sewa maupun milik. Singapura dan Zu Hai (China) lebih dapat dicontoh daripada Hongkong atau Mumbai. Memang ada kawasan hunian tapak, namun pada kluster tertentu dengan pajak yang cukup pantas tinggi.

Konsekuensinya, terdapat kawasan yang dibebaskan secara massif oleh Pemerintah namun untuk kepentingan publik. Kawasan ini terutama di kawasan sepanjang sungai dengan lebar sampai 100 meter. Kawasan ini tidak boleh dijual atau peruntukan apa pun, melainkan hanya sebagai kawasan konservasi alam. Mereka yang melepas asset tanahnya mendapatkan hunian bertingkat yang baik dalam jumlah yang cukup untuk extended family-nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun