Mohon tunggu...
Riant Nugroho
Riant Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Spesialis Kebijakan Publik, Administrasi Negara, dan Manajemen Strategis

Ketua Institute for Policy Reform (Rumah Reformasi Kebijakan)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kebijakan Anti Banjir untuk Jakarta

3 Januari 2020   20:04 Diperbarui: 3 Januari 2020   20:01 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perihal banjir di Jakarta, para pejabat pembuat kebijakan dan pakar berbicara saling melengkapi --jika tidak hendak disebut sebagai "silang sengketa" yang halus. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan bahwa banjir di Jakarta disebabkan banyak faktor, dari alam, seperti kerusakan ekosistem dan ekologi, hingga ulah tangan manusia sendiri, termasuk membuang sampah dengan sembarangan.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengemukakan selain curah hujan yang tinggi, normalisasi sungai Ciliwung dari panjang sungai 33 km yang sudah di tangani dengan normalisasi baru 16 km.

Gubernur Anies Baswedan mengemukakan bahwa penyebab utama dari banjir di wilayahnya karena tidak ada pengelolaan air dari kawasan hulu bagian selatan Jakarta dibiarkan tanpa ada pengendalian, sehingga apa pun program penangan banjir di wilayah pesisir akan percuma. Anies memilh naturalisasi daripada normalisasi.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) banjir tersebut diakibatkan oleh diguyur hujan di wilayah Jabodetabek, yang diprediksi hingga sepekan ke depan wilayah tersebut akan diguyur hujan dengan intensitas hujan dari menengah hingga lebat.

Kondisi tersebut didasari pada kondisi Monsoon Asia yang bertiup dari arah utara timur laut dari Samudra Pasifik yang masuk menuju kepulauan Indonesia. Monsoon Asia kemudian membelok di sekitar Pulau Kalimantan, Jawa, dan Sumatera bagian selatan. Selain kondisi Monsoon Asia, juga terdapat tiupan angin dari Samudra Hindia.

Kedua angin di atas bertemu di atas wilayah Jabodetabek. Pertemuan dua arah angin yang mengakibatkan penumpukan udara yang mengandung uap air yang membentuk awan-awan hujan.

Guyuran hujan di wilayah Jabodetabek juga diperparah dengan naiknya suhu muka laut di perairan Indonesia yang meningkatkan proses penguapan.

Pakar Teknik Lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali, menyampaikan curah hujan tinggi penyebab banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya, di mana curah hujan tersebut merupakan curah hujan tertinggi di dalam catatan, di mana pada tahun 2017 curah hujan di kawasan Jabodetabek menyentuh angka 340 mm, di tahun 2013 curah hujan hanya berkisar 300 mm, di tahun 2020 hingga 377 mm.

Seharusnya curah hujan yang sangat ekstrem dan bencana banjir yang berulang kali melanda wilayah khususnya DKI Jakarta sudah bisa diprediksi jauh sebelum terjadi. Termasuk besaran curah hujan yang akan menimbulkan debit air bertambah. Menurut Firdaus, memikirkan langkah antisipasi banjir seharusnya sudah dilakukan ketika berada di musim kemarau, bukan di musim penghujan.

Dengan harapan antisipasi banjir dapat dilakukan sedini mungkin. Kita selalu lupa, ketika musim hujan kita baru kemudian banjir genangan, kita panik lalu sibuk mengevakuasi. Ini yang perlu dirubah.

Isu Kebijakan
Jadi, apa isu kebijakan kita? Pertama, banjir adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah kota besar yang tidak mengerti bahwa ia adalah kota besar. Banjir adalah fenomena dengan satu penyebabnya: air menggenangi tempat tinggal manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun