Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyusuri Payakumbuh dalam Kenangan: Catatan Slow Living Seorang Istri yang Menuju Kekuatan

8 Mei 2025   11:34 Diperbarui: 8 Mei 2025   17:12 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenangan Menikmati Sate Dangung-Dangung Payakumbuh. Foto Yusriana Siregar Pahu

Menyusuri Payakumbuh dalam Ceria: Catatan Slow Living Seorang Istri yang Berharga

Ada saatnya hidup terasa begitu bingung---dengan kehilangan, dengan kenangan manis, dengan rasa ceria yang tak terulang lagi selain menelusuri jejak ceria itu kembali. Setelah kepergiannya, dunia menjadi lambat. Tapi justru dalam kelambatan itulah aku mulai kembali melihat.

Bukan untuk melupakan, tapi untuk merawat luka, pelan-pelan. Payakumbuh menjadi tempatku bersandar sejenak, di pangkuan ranah yang indah dan penuh cinta. Aku tidak datang sebagai pelancong, bukan juga sebagai wisatawan dengan agenda penuh.

Aku datang sebagai perempuan yang sedang mencoba mengembalikan makna hidup---dengan satu teguk kopi pahit, satu langkah di bukit Ngalau nan Indah, satu gigitan makanan penuh cerita pada satu tusuk sate Dangung-Dangung.

Menyambut Hari di Kota Batiah

Payakumbuh menyambutku dengan udara paginya yang sejuk lagi ramah. Kota kecil ini selalu slow tidak terburu-buru. Langitnya luas, sawahnya hijau memantul warna-warna langit yang tak bisa kulihat di kota besar. Di sinilah aku mulai belajar slow living---gaya hidup yang mendengar nafas sendiri, yang menikmati waktu berjalan dengan sabar.

Aku tinggal di Kampung Ibuh. Nagari kecil sederhana di kaki perbukitan, dikelilingi lanskap Bukit Barisan yang seakan turut rindu memelukku.

Setiap pagi, ibu pemilik rumah menawarkanku sarapan dengan senyum hangat dan lontong gulai khas Payakumbuh. Ada yang berbeda saat makan disuguhkan oleh hati yang tulus---bukan sekadar kenyang, tapi terasa diterima dan dicintai.

Wisata Alam: Pelipur Lara dari Ibu Pertiwi

Hari pertama, aku memulai perjalanan sunyiku dari Lembah Harau. Dinding-dinding karst yang menjulang seperti benteng raksasa di Cina memeluk sawah hijau di dasarnya. Manis menyejukkan mataku. Suara air terjun yang khas jatuh di kejauhan menjadi musik alam yang membelai luka di hati.

Ada Air Terjun Sarasah Bunta yang jernih, Air Terjun Aka Barayun, dan Sarasah Murai---semuanya mengajakku duduk, diam, mendengarkan deburan air dan deburan hatiku sendiri.

Tak jauh dari situ, aku menapaki Ngalau Indah, gua alami yang menyimpan stalaktit dan stalagmit berumur ribuan tahun. Aku berjalan pelan, menyusuri lorong gelap dengan penerangan temaram. Sesekali kelelawar melintas. Tapi tak ada rasa takut---hanya sunyi yang menenangkan.

Di puncaknya, aku melihat kota dari atas: kecil, damai, dan seperti menyapaku dengan sabar. Kenangan duduk berdua di tahun 1997 dan 2015 dulu kembali terbentang manis. Membuatku melepas senyum sambil berucap, 'Makasi kenangan manis itu.'

Hari berikutnya, aku menuju Bukik Limbuku dan Bukit Kelinci. Di sana, anak-anak bermain, dan kelinci-kelinci kecil melompat riang. Aku duduk di bawah pohon rindang, memejamkan mata, membayangkan kenangan manis di sini. Kami sedang duduk berdampingan. Tak ada air mata, hanya bisikan dalam hati: "Aku tahu kamu ingin aku bahagia, bukan."

Lalu aku singgah di Puncak Mahat, menyaksikan matahari tenggelam dari ketinggian, sembari membawa secangkir kopi Payakumbuh kesukaanku. Aku suka pahit dan kamu suka manis. Rasa hangat kopi arabika lokal menyejukkan batin yang selama ini dipenuhi kabut rindu.

Makanan: Ingatan yang Menggugah

Ada kenangan di setiap makanan di kota Ibuh ini. Di Payakumbuh, aku seperti bertemu kembali dengan bagian dari diriku yang dulu: yang masih sering tertawa ceria, yang menikmati hidup tanpa beban. "Bacarito se. Galak se!" Begitu kamu dan Ni Yanti mengomentari langkah kita.

Tentu saja aku mencicipi Sate Danguang-Danguang lagi. Duduk di warung sederhana, aku memesan seporsi lengkap. Dagingnya empuk, kuah kuningnya kental berpadu rempah, santan, dan air asam.

Setiap tusuknya seperti membuka lembaran kenangan---kita dulu sangat suka sate ini. Kami pernah berjanji akan kembali ke Payakumbuh bersama-sama, tapi ternyata aku yang kembali sendiri.

Kuah Kuning: Foto Yusriana Siregar Pahu
Kuah Kuning: Foto Yusriana Siregar Pahu

Ingat ketika pagi-pagi kita menelusuri jalan ini mencari sate. Tak satupun kedai terbuka. Meskipun mobil kita sudah menelusur hingga ke pasar Payakumbuh. Ternyata kata Mbah google sate beroperasi mulai senja. Si adek dan akupun sempat kecewa.

Kini meski ada luka, ada juga rasa syukurku. Sate ini membuatku merasa dekat denganmu.

Setelahnya, aku menikmati Karupuak Sanjai, bareh randang, dendeng batokok, dan palai rinuak. Setiap camilan dan masakan seakan menyampaikan cerita Payakumbuh dari generasi ke generasi akan selalu begini. Aku juga mencoba galamai, dodol khas dari tepung beras kesukaanmu, dan santan yang legit melekat---seperti kenangan. Al Hijrah nama toko baru pilihan favorit kita.

Di warung tradisional, aku juga bisa mencicipi bika, lompong sagu, dan onde-onde ketawa. Di sore yang mendung, makanan ini menjadi pelipur hati. Ada juga lamang tapai, perpaduan ketan dan fermentasi yang unik dan dalam, seperti hidup yang tak selalu manis tapi selalu bermakna. Rasa manis kuah tapai hitam khas kegemaran kita.

Payakumbuh: Hangat dan Membumi

Selama di sana, aku tak pernah merasa sendiri. Warga Payakumbuh begitu hangat. Mereka tidak bertanya hal pribadi, tidak mengorek luka, hanya menyapa dan menawarkan tawa. Anak-anak sekolah menyapaku di jalan, "Ibu dari mana?" Aku hanya menjawab, "Dari kota, ingin menenangkan hati."

Aku berbincang dengan seorang Ibu penjual jagung bakar di dekat Taman Ratapan Ibu. Ia berkata, "Kita tidak bisa melawan kehilangan, Nak. Tapi kita bisa berdamai dengannya." Kata-kata sederhana itu seperti obat yang sulit kutemukan bahkan di buku filsafatmu.

Nafas Payakumbuh yang Lembut

Aku sempat menyaksikan latihan Randai dan Tari Piring di salah satu sanggar kecil di kota ini di sekolah Ni Ye temanmu. Gerakan yang tegas tapi indah, dialog yang mengandung pesan moral, dan kostum penuh warna seakan menunjukkan bahwa kehidupan selalu punya dua sisi---keras dan lembut, hilang dan datang. Penuh filosofi memang kesenian ini. Aku bisa tersenyum melihat ini.

Di malam hari, aku menyusuri pasar malam yang penuh lampu temaram. Ada yang menjual kerajinan tangan, ada pula penjual makanan tradisional. Di antara keramaian yang tenang itu, aku menemukan kain tenun dan sulaman minang yang cantik. Aku membelinya bukan untuk kenang-kenangan, tapi sebagai lambang: bahwa aku siap merajut kembali hidupku, benang demi benang seperti kain ini. Uniknya, aku dapat potongan harga.

Slow Living: Belajar Memaafkan Waktu

Hidup perlahan bukan berarti berhenti. Slow living yang kujalani di Payakumbuh bukan tentang melarikan diri dari kenyataan, tapi tentang berdamai dengannya. Aku belajar menerima bahwa dirimu memang tak akan kembali, tapi cintamu tetap tinggal---dalam tiap embusan angin Lembah Harau, dalam aroma santan sate Danguang-danguang, dan dalam tenang senja di Puncak Mahat.

Payakumbuh memberiku ruang untuk tidak tergesa-gesa. Kota ini tidak mendikte harus kuat hari ini juga. Ia membiarkanku duduk lama di tepi sawah, berjalan pelan di pematang, atau hanya memandangi langit biru di atas kepalaku.

Kembali dengan Hati yang Baru dan Penuh Kekuatan

Saat waktunya pulang, aku tak membawa oleh-oleh banyak. Hanya satu dua kain dan sedikit makanan kering. Tapi hatiku---penuh. Penuh makna, penuh ketenangan dan kekuatan. Aku tahu kehilangan tak bisa disembuhkan dengan satu perjalanan, tapi setidaknya aku tahu: aku bisa melanjutkan hidup, satu langkah lembut dalam doa untukmu.

Payakumbuh mengajariku bahwa dalam pelan pun hidup bisa tetap indah dan kuat. Bahwa kenangan tak harus dilupakan, cukup disimpan dalam doa. Bahwa kehilangan tak harus diusir, cukup diterima sebagai bagian dari cinta yang lebih luas.

Di sanalah, dalam kota kecil bernama Payakumbuh, aku belajar berjalan lagi. Pelan. Tapi pasti. Kuat. Sweety.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun