Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyusuri Payakumbuh dalam Kenangan: Catatan Slow Living Seorang Istri yang Menuju Kekuatan

8 Mei 2025   11:34 Diperbarui: 8 Mei 2025   17:12 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenangan Menikmati Sate Dangung-Dangung Payakumbuh. Foto Yusriana Siregar Pahu

Kini meski ada luka, ada juga rasa syukurku. Sate ini membuatku merasa dekat denganmu.

Setelahnya, aku menikmati Karupuak Sanjai, bareh randang, dendeng batokok, dan palai rinuak. Setiap camilan dan masakan seakan menyampaikan cerita Payakumbuh dari generasi ke generasi akan selalu begini. Aku juga mencoba galamai, dodol khas dari tepung beras kesukaanmu, dan santan yang legit melekat---seperti kenangan. Al Hijrah nama toko baru pilihan favorit kita.

Di warung tradisional, aku juga bisa mencicipi bika, lompong sagu, dan onde-onde ketawa. Di sore yang mendung, makanan ini menjadi pelipur hati. Ada juga lamang tapai, perpaduan ketan dan fermentasi yang unik dan dalam, seperti hidup yang tak selalu manis tapi selalu bermakna. Rasa manis kuah tapai hitam khas kegemaran kita.

Payakumbuh: Hangat dan Membumi

Selama di sana, aku tak pernah merasa sendiri. Warga Payakumbuh begitu hangat. Mereka tidak bertanya hal pribadi, tidak mengorek luka, hanya menyapa dan menawarkan tawa. Anak-anak sekolah menyapaku di jalan, "Ibu dari mana?" Aku hanya menjawab, "Dari kota, ingin menenangkan hati."

Aku berbincang dengan seorang Ibu penjual jagung bakar di dekat Taman Ratapan Ibu. Ia berkata, "Kita tidak bisa melawan kehilangan, Nak. Tapi kita bisa berdamai dengannya." Kata-kata sederhana itu seperti obat yang sulit kutemukan bahkan di buku filsafatmu.

Nafas Payakumbuh yang Lembut

Aku sempat menyaksikan latihan Randai dan Tari Piring di salah satu sanggar kecil di kota ini di sekolah Ni Ye temanmu. Gerakan yang tegas tapi indah, dialog yang mengandung pesan moral, dan kostum penuh warna seakan menunjukkan bahwa kehidupan selalu punya dua sisi---keras dan lembut, hilang dan datang. Penuh filosofi memang kesenian ini. Aku bisa tersenyum melihat ini.

Di malam hari, aku menyusuri pasar malam yang penuh lampu temaram. Ada yang menjual kerajinan tangan, ada pula penjual makanan tradisional. Di antara keramaian yang tenang itu, aku menemukan kain tenun dan sulaman minang yang cantik. Aku membelinya bukan untuk kenang-kenangan, tapi sebagai lambang: bahwa aku siap merajut kembali hidupku, benang demi benang seperti kain ini. Uniknya, aku dapat potongan harga.

Slow Living: Belajar Memaafkan Waktu

Hidup perlahan bukan berarti berhenti. Slow living yang kujalani di Payakumbuh bukan tentang melarikan diri dari kenyataan, tapi tentang berdamai dengannya. Aku belajar menerima bahwa dirimu memang tak akan kembali, tapi cintamu tetap tinggal---dalam tiap embusan angin Lembah Harau, dalam aroma santan sate Danguang-danguang, dan dalam tenang senja di Puncak Mahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun