Kini meski ada luka, ada juga rasa syukurku. Sate ini membuatku merasa dekat denganmu.
Setelahnya, aku menikmati Karupuak Sanjai, bareh randang, dendeng batokok, dan palai rinuak. Setiap camilan dan masakan seakan menyampaikan cerita Payakumbuh dari generasi ke generasi akan selalu begini. Aku juga mencoba galamai, dodol khas dari tepung beras kesukaanmu, dan santan yang legit melekat---seperti kenangan. Al Hijrah nama toko baru pilihan favorit kita.
Di warung tradisional, aku juga bisa mencicipi bika, lompong sagu, dan onde-onde ketawa. Di sore yang mendung, makanan ini menjadi pelipur hati. Ada juga lamang tapai, perpaduan ketan dan fermentasi yang unik dan dalam, seperti hidup yang tak selalu manis tapi selalu bermakna. Rasa manis kuah tapai hitam khas kegemaran kita.
Payakumbuh: Hangat dan Membumi
Selama di sana, aku tak pernah merasa sendiri. Warga Payakumbuh begitu hangat. Mereka tidak bertanya hal pribadi, tidak mengorek luka, hanya menyapa dan menawarkan tawa. Anak-anak sekolah menyapaku di jalan, "Ibu dari mana?" Aku hanya menjawab, "Dari kota, ingin menenangkan hati."
Aku berbincang dengan seorang Ibu penjual jagung bakar di dekat Taman Ratapan Ibu. Ia berkata, "Kita tidak bisa melawan kehilangan, Nak. Tapi kita bisa berdamai dengannya." Kata-kata sederhana itu seperti obat yang sulit kutemukan bahkan di buku filsafatmu.
Nafas Payakumbuh yang Lembut
Aku sempat menyaksikan latihan Randai dan Tari Piring di salah satu sanggar kecil di kota ini di sekolah Ni Ye temanmu. Gerakan yang tegas tapi indah, dialog yang mengandung pesan moral, dan kostum penuh warna seakan menunjukkan bahwa kehidupan selalu punya dua sisi---keras dan lembut, hilang dan datang. Penuh filosofi memang kesenian ini. Aku bisa tersenyum melihat ini.
Di malam hari, aku menyusuri pasar malam yang penuh lampu temaram. Ada yang menjual kerajinan tangan, ada pula penjual makanan tradisional. Di antara keramaian yang tenang itu, aku menemukan kain tenun dan sulaman minang yang cantik. Aku membelinya bukan untuk kenang-kenangan, tapi sebagai lambang: bahwa aku siap merajut kembali hidupku, benang demi benang seperti kain ini. Uniknya, aku dapat potongan harga.
Slow Living: Belajar Memaafkan Waktu
Hidup perlahan bukan berarti berhenti. Slow living yang kujalani di Payakumbuh bukan tentang melarikan diri dari kenyataan, tapi tentang berdamai dengannya. Aku belajar menerima bahwa dirimu memang tak akan kembali, tapi cintamu tetap tinggal---dalam tiap embusan angin Lembah Harau, dalam aroma santan sate Danguang-danguang, dan dalam tenang senja di Puncak Mahat.