Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tak Ada Uang Lagi di Timbangan, Bun?

8 April 2025   14:09 Diperbarui: 8 Mei 2025   09:57 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenangan uang di timbangan itu: Foto Dokpri Yusriana

Tak Ada Uang Lagi di Timbangan

Annisa duduk diam di ujung meja karja suaminya di kamar, Farhat. Matanya terpaku pada timbangan kecil yang sejak dulu tak pernah berpindah tempat dari atas meja itu. Ya, meja itu penuh dengan peralatan kerja suaminya, Farhat. Meja itu tak boleh Annisa bersihkan. Bila dibersihkan, Farhat suaminya akan mengaku kehilangan barang ini dan itu.

Sunyi menebal di ruang kerja yang sempit itu, waktu seperti berjalan lambat, dan seakan ikut berduka. Sudah tiga puluh hari Farhat pergi meninggalkannya dan ketiga anak mereka. Tak ada lagi langkah-langkah unik tak bersuara menuju pintu. Bahkan mengagetkannya di dapur ketika memasak.

Ya, suara langkah Farhat memang tak terdengar. Gerakan tangannya di atas piring gorengan atau di bahu Annisalah yang membuatnya sadar bahwa Farhat sudah berada di belakangnya.

Tak ada lagi teman berebut kompor di dapur untuk memanaskan air untuk segelas kopi. Tak ada lagi suara sendok beradu di gelas kopi itu. Yang paling ia rindukan---tak ada lagi lembaran uang jajan yang biasa ditinggal di atas timbangan ini. Annisa membelai permukaan timbangan itu. Hanya ada sisir dan bekas bungkus obat suaminya, Farhat.

Dulu, Farhat selalu melakukannya tanpa banyak bicara. Ia hanya meletakkan selembar uang di sana. Kadang lima puluh ribu, kadang seratus, kadang lebih kecil dua puluh ribu. Sesuai kemampuan suaminya setiap hari.

Tapi yang membuat Annisa tersentuh bukan jumlahnya, melainkan perhatiannya. Uang itu menjadi bahasa cinta yang tak diucapkan, hanya diletakkan---diam-diam, namun penuh makna. "Uang jajan harian."

Sejak Farhat tiada, Annisa sempat seperti kehilangan arah. Hidupnya bergerak, tapi tak benar-benar berjalan. Ia pergi kerja, kembali ke rumah, duduk menatap timbangan yang kini hanya benda mati. Biasanya sepulang kerja, ia memanen uang itu. Ia simpan di tas kerja untuk besok.

Ia tak pernah mengambil uang di ATMnya. Ia niatkan, uang di rekening untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Uang di timbangan belanja harian di dapur. Bila kurang, barulah Annisa menambahnya. Kini tak ada lagi kejutan pulang kerja itu, tak ada lagi alasan untuk tersenyum sebelum matahari terbenam itu.

Pernah suatu kali Annisa tak mengambil uang itu. Ia ingin mengetes Farhat. Uang itu sebetulnya buat apa? Namun pulang kerja suaminya bertanya, "Ma, uangnya kok masih utuh di timbangan? Terlalu dikit, ya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun