Aku sempat ngobrol kanak-kanak dengan Kak Masna. "Kak, Mama Kak sakit terus. Kapan sembuhnya?" Tanyaku polos saat itu.
"Iya, Dek. Biarlah Mama Kak sakit terus tak apa. Asalkan tetap bernyawa. Hidup beliau sangat berarti buat Kak dan adik-adik Kak. Mudahan Ayah Kak juga sabar. Ada saja Mama Kak di rumah syukur alhamdulillah. Meski tak bisa ngapa-ngapain." Katanya saat itu.
Ketika satu persatu Ayah dan Mamaku dijemput Allah SWT, baru aku sadar apa makna orang yang kita sayangi di dekat kita meski mereka cuma duduk atau berbaring di tempat tidur. Dalam hati aku menangis. 'Rabbi, aku masih butuh Abang, sehatkanlah tanpa harus ke rumah sakit.'
Biasanya Abang 3 hari demam dan istirahat, beliau sudah segar lagi. Namun Januari hingga Maret ini seperti berulang peristiwa 2019. Abang sakit lebih dari dua bulan. Di dapur aku menangis agar tak terlihat oleh Yola dan Abang. Aku tak ingin Abang kepikiran.
Abang karena sering sakitpun sering berkomentar, "Ma Teguh, tak menyesal punya suami seperti Abang? Suka sakit?"
Begitupun saat hari Kamis itu sepulang sekolah, aku menyuapi abang makan. Beliau tak puasa lagi di hari ketiga dan keempat ini, aku bujuk bayar pidiyah saja karena abang lemas. Beliau cuma bisa duduk di tempat tidur. Beliau setuju.
"Ma Teguh, kenapa Ma Teguh dapat suami sakit-sakit seperti Abang. Tapi kalau bukan Abang suami Ma Teguh, tentu tak dapat anak sehebat Teguh, ya." Begitu ucap beliau tiap frustasi atas sakitnya.
"Pekerjaan di PDM banyak. Sakit terus seperti ini apa gunanya?" Lanjut beliau lagi sambil menghabiskan makanan dan minumannya.
"Besok, Epi adik Abang datang. Besok Jumat kita ke rumah sakit, ya!" Bujukku. "Dirawat atau pulang?" Lanjutku lagi.
"Apa kata dokter besok." Jawab Abang.
"Abang mau sehat?" Tanyaku lagi. Abang diam saja.