Mohon tunggu...
Rian Andini
Rian Andini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Emak Blogger

rianandini999.blogspot.com resensiriri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

"Book Shaming", Tren Konyol Dunia Literasi

24 Februari 2019   11:10 Diperbarui: 24 Februari 2019   17:47 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agak bingung ketika mulai menulis ini, karena topik ini rasanya tidak penting-penting amat untuk dibahas. Saya mendengar istilah book shaming untuk pertama kali melalui aplikasi Instagram. Admin akun Ig tersebut mempertanyakan perihal adanya isu 'rasis' soal pengelompokan pembaca berdasarkan buku bacaannya.

Saya buat contoh mudahnya saja ini ya: fans Tere Liye berarti noob alias cupu alias tidak keren dan silakan duduk di pojokan. Sedangkan fans Pramoedya adalah pro alias kece banget alias silakan duduk di samping dosen. Seperti itulah kira-kira pengelompokkan 'rasis' ala kaum literasi yang beredar di media sosial.

Komentar dari postingan admin itu jelas beragam, walaupun tetap emak-emak yang mendominasi komentarnya karena emak-emak memang selalu ada di segala jenis isu.

Ada yang mengakui dosa karena pernah menghina Tere Liye, ada juga yang akhirnya berani mengaku sebagai fans komik Miiko, dan yang paling dominan tentu saja kalimat penyesalan pernah melakukan penghinaan sesama manusia cuman gegara buku. 

Saya dulu semasa baru akil baligh pernah mendapat pinjaman bukunya Djenar Maesa Ayu. Efek buku itu cukup luar biasa pada diri saya yang waktu itu baru merasakan hormon puber.

Saya yang kala itu memang masih jauh dari kata dewasa menyimpulkan bahwa hubungan rumah tangga adalah bentuk eksploitasi seksual terhadap wanita yang disembunyikan dalam label halal.

Nah loh, tidak setiap buku ternyata bisa dimaknai dengan baik oleh semua segmentasi umur.

Efek jangka panjangnya ialah saya akhirnya jomblo berkepanjangan, bahkan sampai saya selesai kuliah.

Di tengah kebimbangan mau memaksa lelaki mana yang mau diajak jadi pendamping wisuda, saya akhirnya menyerah dan menelepon orang tua. Wisuda yang terasa seperti bagi rapot.

Walaupun penyebab kejombloan saya adalah bukunya Djenar juga masih berstatus asumsi (hihi, ini cuman bercanda ya), tapi kesalahpahaman atas unsur intrinsik sastra karena pembaca yang tak sesuai umur pastilah sering terjadi.

Karena itu, Tere Liye dan Wattpad hadir untuk mengisi celah itu. #eeeeaaa

Sama saja seperti itu, masing-masing manusia memang punya tahapan pada masing-masing diri untuk bisa memahami suatu bacaan.

Teman saya pernah bercerita soal toko buku di luar Indonesia sana yang bahkan bisa membagi buku bacaannya dalam beberapa level sesuai dengan kemampuan pembacanya.

Mungkin cara ini cukup bagus untuk bisa memahami diri kira-kira kita sudah di level mana. Sekalian untuk evaluasi, agar segera naik level dan menajajal berbagai genre buku lainnya.

Jadi, rasanya kita pun tidak bisa menghina para pembaca buku Tere Liye, karena setiap buku memang memiliki segmentasi usia serta faktor selera yang unik

 Tidak semua karya bisa cocok sama selera kita, iya kan?

Karena itu, mi indomie dibuat dengan banyak varian rasa. Jadi, kita setuju ya untuk tidak perlu menghina karya tulisan lain cuman gegara tidak cocok dengan selera diri.

Tapi, di luar dari semua itu, ada yang lebih parah ketimbang book shaming yaitu writer shaming. Saya kerap membaca curhatan para penulis wattpadd favorit saya (#eeaaa saya pun masih suka baca cinta-cintaan remaja) mengeluhkan tentang banyaknya pesan bernada perundungan. Mulai dari penghinaan karya sampai pada penghinaan personal, dikiranya menulis itu semudah ngupil yang hanya butuh jari kelingking apa!

Jadi, untuk sesama pecinta buku, ingatlah bahwa ada istilah selera dan usia yang melatari seorang pembaca memilih buku.

Saya yakin, semua pembaca yang terus haus akan buku pastilah akan terus berkembang. Pada ujung-ujungnya, semua pembaca akan memakan semua genre dan menyadari bahwa membaca adalah proses pencarian jati diri yang tiada henti, bukan begitu wahai kaum literasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun