Mohon tunggu...
Rian Amaranto
Rian Amaranto Mohon Tunggu... Guru - Guru Informatika

Seorang guru dengan hobi menulis dan berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tangkal "Hoax" dengan Literasi"Digital"

10 November 2017   09:53 Diperbarui: 10 November 2017   10:16 2384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keluarga merupakan pendidikan pertama dalam upaya memerangi hoax. Karena peran keluarga sangat dominan dalam pengawasan penggunaan media sosial oleh anak. Berawal dari keluarga, orangtua dapat mengawasi dengan ketat berbagai informasi atau isu - isu yang menyebar di media sosial. Peran orang tua dalam keluarga sebagai guru pertama untuk pendidikan anak harus lebih intensif. Orang tua harus lebih protektif dalam menggunakan media sosial untuk anak - anak sebagai media belajar di rumah. Orangtua harus meluangkan waktu untuk mendampingi anak dalam belajar di rumah. 

Orangtua harus mampu menjembatani anak dengan kebutuhannya akan dunia teknologi khususnya dalam menggunakan fasilitas media sosial. Penggunaan media sosial sebagai fasilitas belajar di rumah tanpa kontrol orangtua akan berubah menjadi hal yang berakibat fatal serta meningkatkan pengawasan orang tua terhadap anak, terlebih lagi bagi orang tua yang sibuk dengan rutinitas di kantor.

 Sebagai pendidik, menyikapi berita bohong atau hoax diperlukan sikap berpikir kritis sehingga tidak begitu saja kita mempercayainya, untuk itu diperlukan wawasan dan pengetahuan agar kita tidak termakan oleh berita bohong atau hoax. Sikap kritis yang dimaksud disini yaitu membangun kerangka berpikir kritis dan logis bagi peserta didik dengan kegiatan membaca, menelaah, dan menulis, praktik membaca dan menulis harus lebih menitik beratkan kepada membaca dan menulis untuk belajar, sehingga kegiatan pembelajaran tidak monoton dan pasif dengan membaca semata. Sebagai guru atau pendidik, beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menyikapi berita bohong atau hoax antara lain membekali dengan wawasan yang luas dengan meningkatkan minat baca melalui budaya literasi.

Guru dalam mentransfer ilmu kepada peserta didik harus kreatif, khususnya dalam mengaplikasikan berbagai informasi yang sesuai dengan perkembangan peserta didik. Informasi yang disampaikan harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan perkembangan peserta didik sehingga mudah dipahami dan diterima oleh peserta didik, Dengan demikian mampu menangkal hoax yang mempengaruhi perkembangan peserta didik.

Guru sebagai fasilitator dalam belajar, harus mampu menjelaskan kepada peserta didik terkait informasi - informasi yang bersifat fakta atau hoax. Guru sebagai orang tua kedua di sekolah harus mampu memberikan tindakan preventif terhadap peserta didik dalam menyikapi dampak negatif berita bohong atau hoax. Tindakan preventif ini dapat dilakukan dengan memberikan bimbingan dan konseling melalui penguatan pendidikan karakter yaitu pengembangan pendidikan budi pekerti.

Guru sebagai figur sentral di lembaga Pendidikan atau sekolah, memiliki tanggungjawab professional dan moral dalam menghadang hoax. Sebab hoax merupakan upaya serius pembodohan. Memutar balikkan fakta, bahkan fakta ilmiah sekalipun. Sayangnya belakangan ini memang tidak mudah bagi guru untuk mengambil pengaruh. Meski itu hanya terbatas di kalangan siswa-siswinya sendiri. Guru sulit memenangi pertarungan pengaruh dengan internet di era milenium ini. Namun bukan berarti guru tidak bisa berbuat apa-apa. Banyak hal yang masih bisa dilakukan.

Internet memang mampu menampilkan banyak hal yang lebih menarik, tetapi guru memiliki kelas dengan otoritas penuh. Sebagian besar waktu siswa dia habiskan di sekolah, dalam banyak hal kondisi tersebut menempatkan guru sebagai figur yang memiliki banyak pengaruh. Pada posisi strategis itulah guru harus mampu mendayagunakan pengaruhnya, Mengambil komando dalam upaya memerangi hoax, dengan bersikap terbuka tetapi kritis. Pada peran konvensionalnya guru harus mampu menampilkan dirinya sebagai pribadi yang tidak konservatif. Guru tidak menjadi antithesis dari sebuah perubahan.

Guru dituntut mampu memahami jiwa jaman menggunakan perspektif yang tepat dan demokratis. Sehingga akan lebih mudah memahami pola pikir siswa-siswanya. Karena penyadaran akan sesuatu akan lebih mudah jika menggunakan 'bahasa' yang mereka pahami. Terlebih tiap jenjang Pendidikan memiliki 'bahasa' khasnya masing-masing, sesuai tahap-tahap perkembangan pola piker peserta didik. 

Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang bersedia dikendalikan oleh orang lain. Sehingga bagi generasi milenium yang menyukai hal-hal yang instan, kata jangan ini atau jangan itu, justru memancing keingintahuan, menjadi stimulus bagi mereka untuk mencari tahu. Internet menyediakan apa yang mereka perlukan, memuaskan kedahagaan mereka atas rasa ingin tahunya.

kegiatan pembelajaran harus didampingi dengan guru kreatif dan melek informasi. Penyampaian substansi materi pembelajaran yang disajikan oleh guru harus aktif, kreatif, dan kritis. Guru harus mampu mengajak peserta didik untuk membaca sebuah realitas, berpikir kritis, hingga menemukan problem solving atas persoalan tersebut. Selain itu, materi pembelajaran juga harus didesain menarik dengan mengaitkan pada isu-isu yang tengah berkembang sekarang ini.

Pengalaman pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun