Perjalanan menuju Desa Gumantar menjadi salah satu pengalaman yang tak akan mudah kulupakan. Bersama teman-teman kelompok KKP, kami menempuh hampir tiga jam dari pusat kota, melewati kelokan yang panjang, tanjakan yang terus menyiksa punggung, dan angin yang tak henti mencambuk wajah. Meski aku hanya duduk dibonceng, tubuhku tetap memanggul lelah. Tapi siapa sangka, ketika roda motor akhirnya berhenti di tanah desa ini... lelah itu perlahan berubah menjadi diam. Diam yang menyembuhkan.
Untuk pertama kalinya aku menapakkan kaki di desa ini, sebuah wilayah yang bersandar di utara Lombok, tempat tradisi tidak hanya dikenang, tapi masih hidup dan bernapas dalam keseharian. Terutama di Dusun Desa Beleq, dusun tertua di Desa Gumantar, di mana hampir seluruh rumah warganya masih setia menjaga warisan leluhur: rumah adat Sasak.
Rumah-rumah itu berdiri rendah namun kokoh. Dibangun dari anyaman bambu pada dinding, lantai dari tanah liat yang dipadatkan dan dicampur abu, dan atap yang terbuat dari ilalang kering (alang-alang). Tiang-tiang kayu penyangga berdiri di atas batu bulat sebagai fondasi alami. Tak ada semen, tak ada keramik, apalagi cat warna-warni semuanya alami, dan justru dari kesederhanaan itulah keindahannya memancar.
Arsitektur ini bukan sekadar bentuk bangunan, tapi cermin dari falsafah hidup masyarakat Sasak: kesederhanaan, keharmonisan dengan alam, dan penghormatan terhadap warisan nenek moyang.
Udara desa ini bersih, sejuk, dan membawa aroma tanah yang belum dijamah modernitas. Tidak banyak suara, tidak banyak sapa. Tapi senyum-senyum hangat yang kuperoleh di jalan cukup untuk membuatku merasa tidak asing, seolah desa ini tahu cara menerima tanpa harus memeluk erat.
Langkah kakiku terasa ringan saat menyusuri jalan setapak berbatu. Sesekali aku mendongak ke langit yang bersih dari polusi, membiarkan mata bertemu dengan birunya langit dan lembutnya awan yang bergerak pelan. Angin sore menggoyangkan pucuk-pucuk pohon, dan entah bagaimana, aku merasa seperti sedang disambut oleh alam sendiri pelan, lembut, dan tulus.
Kami datang untuk melakukan survei lokasi Kuliah Kerja Partisipatif (KKP). Tempat ini kemungkinan besar akan menjadi rumah sementaraku selama lebih dari satu bulan ke depan. Dan jika benar demikian, aku tidak keberatan sedikit pun. Dari kesan pertama, desa ini seperti ruang sunyi yang telah lama kurindukan, tempat di mana lelah bisa rebah, dan batin bisa kembali belajar perlahan.