Hal ini menunjukkan adanya kekosongan hukum yang cukup signifikan. Sementara itu, praktik child grooming telah diakui secara internasional sebagai bentuk kejahatan seksual yang sangat merugikan anak. Konvensi Hak Anak (CRC) mewajibkan negara-negara pihak, termasuk Indonesia, untuk mengambil langkah-langkah efektif dalam melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual.
Kendala dalam Penegakan Hukum
Terdapat sejumlah kendala dalam penegakan hukum terkait praktik child grooming di Indonesia. Pertama, kesulitan pembuktian. Child grooming umumnya dilakukan melalui komunikasi pribadi di media sosial atau aplikasi pesan singkat, sehingga sulit ditemukan bukti fisik yang cukup kuat. Kedua, ketiadaan pasal khusus yang mengatur grooming membuat aparat penegak hukum harus menggunakan pasal umum, misalnya pasal pencabulan atau pornografi anak, yang sering kali baru dapat diterapkan setelah terjadi perbuatan eksploitasi.
Selain itu, rendahnya literasi digital di kalangan anak dan orang tua membuat korban sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi target grooming. Faktor stigma sosial juga berpengaruh, karena keluarga korban cenderung menutup-nutupi peristiwa tersebut untuk menjaga nama baik, sehingga kasus sering tidak dilaporkan. Kendala lainnya adalah keterbatasan kapasitas aparat penegak hukum dalam menelusuri jejak digital, mengingat kejahatan siber sering dilakukan lintas platform dan lintas negara.
Referensi :
Undang-Undang
Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang TPKS
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang ITE
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Jurnal
Dewa L. O. Suendra, dkk., “Kebijakan Hukum terhadap Tindak Pidana Child Grooming,” Kerta Wicaksana: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, 2020, hlm. 101.