Pernahkah teman-teman membaca sebuah buku bertema Betawi? Buku yang menghadirkan kehangatan interaksi masyarakatnya, buku yang membawa kembali masa lalu dan mengajak kita sebagai pembaca, jalan-jalan keliling Jakarta tempo dulu?
Ini buku yang sedang saya baca, Gambang Jakarte, ditulis oleh sastrawan Betawi, Firman Muntaco.
Firman Muntaco
Firmansyah Muntaco lahir di Kampung Cideng, Jakarta Barat, pada tanggal 5 Mei 1935. Ibunya bernama Siti Satina dan ayahnya bernama Haji Muntaco.
Memiliki darah Betawi dari kedua orang tuanya, ia sangat mencintai semua hal yang ada kaitan dengan masyarakat Betawi. Perjalanan hidup menjadikan ia sebagai pemerhati, penulis, sastrawan, seniman, dan pelestari budaya Betawi.
Buku Gambang Jakarte yang saya dapat ini merupakan cetakan pertama penerbit Masup Jakarta pada Juni 2006. Buku aslinya, yaitu Gambang Djakarte I, dicetak oleh PT Suluh Indonesia pada tahun 1960 dan Gambang Djakarte II, dicetak oleh Penerbit Pantjaka pada tahun 1963.
Sebelum membuka bukunya, kita cermati bagian sampul dulu, yuk!
Gambang Jakarte karya Firman Muntaco
Sampul Buku
Tampilan sampul buku menampilkan ciri khas Betawi. Warna latar oranye, hadir pula warna merah dan hijau. Ilustrasi gambar bertema “Warung di Kampung Rawa Simpruk” karya Sarnadi Adam, seniman Betawi.
Suasana khas warung terlihat semarak. Pengunjung mengitari meja penuh toples wadah hidangan. Para lelaki mengenakan sarung, berbaju koko, dan berpeci. Sementara para wanita berkebaya encim dan berkerudung.
Ornamen gigi balang hadir pada bagian bawah sampul. Ornamen berbentuk segitiga dan bulatan yang tertata simetris ini, bisa ditemukan pada rumah masyarakat Betawi. Biasa digunakan sebagai lisplang tepian atap rumah.
Selain fungsional dan estetik, gigi balang memiliki makna filosofis, yaitu: keberanian, ketahanan, juga hubungan seimbang. Antar sesama, lingkungan, serta kepada sang pencipta.
Kata Pengantar
Sebagai pembuka, kita akan menemui lembar kata pengantar yang ditulis dengan sangat apik dan memukau oleh S.M. Ardan dan JJ Rizal. Kalimat demi kalimat menghantarkan pembaca kepada kisah kehidupan yang penuh semangat dan inspiratif dari seorang Firman Muntaco.
Isi Buku
Buku Gambang Jakarte berisi kumpulan cerita pendek atau cerpen yang dibuat oleh Firman Muntaco.
Tokoh-tokoh dalam ceritanya adalah masyarakat Betawi. Dengan segala tingkah laku dalam lika liku kehidupan sehari-hari.
Semua cerpen ia sampaikan dalam bahasa Betawi dan dalam format humor!
Lanjut yuk..!
Firman Muntaco dan Cerpen
Total jumlah cerita pendek pada buku Gambang Jakarte berjumlah 46 dengan judul yang unik-unik! Di antaranya:
Cari kutu, ai lap yu, calon mantu, nehi, kongkalikong, lenong, cap gow meh, bandeng & kue keranjang, ujan duit, radio aktip, minyak wangi, sayur asem, sop buntut, tanah abang-pasar ikan.
Menampilkan potret kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi, ada hal-hal yang diangkat menjadi tema. Adat dan tradisi, kerukunan masyarakat multietnis, kegiatan agamis, tempat bersejarah, tempat hiburan, juga informasi aktual. Nilai kebaikan dan hikmah kehidupan pun turut disampaikan.
Ada kejujuran dan apa adanya dalam cerpen karya Firman Muntaco. Tentang respon dan perilaku masyarakat yang tidak semuanya baik. Entah itu berupa pemikiran, tutur kata, sikap, atau perilaku.
Firman Muntaco menyadari betul bahwa tulisannya memiliki kekuatan. Ia menggunakan sebagai media untuk menebarkan ide dan menyampaikan pesan.
Hal-hal yang pada masa itu sedang happening, bersifat penting dan mendesak, tak luput ditulisnya. Seperti: kebijakan pemerintah yang mengharuskan warga negara memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), sebagai identitas yang diakui dan dicatat oleh negara.
Wisata Kota Jakarta
Membaca buku ini rasanya seperti sedang berwisata. Firman Muntaco bak memetakan kota Jakarta dan sekitarnya. Mengajak pembaca berkeliling kota, menikmati ikon-ikon populer pada masanya.
Dari ruang publik, tempat bersejarah, gedung-gedung, taman rekreasi, nama kawasan, nama jalan, hingga bioskop lawas.
Tergambar suasana Tanjung Priok di Jakarta Utara sampai Kebun Raya yang terletak di Bogor. Dari lapangan Petamburan di sisi barat Jakarta, sampai Kampung Melayu di sisi timur Jakarta.
Budaya yang berupa tradisi, kesenian, gaya busana dan kuliner khas juga hadir melengkapi. Termasuk nama tokoh serta artis tenar dalam negeri maupun luar negeri.
Firman Muntaco adalah “Duta Budaya Jakarta” yang sejati. Melalui karya-karyanya seperti Gambang Jakarte kita dapat berkenalan dan memahami bahkan mencintai Jakarta dengan kekhasan kehidupan tradisi penduduk aslinya, kaum Betawi. (Dr. Ing. Fauzi Bowo)
Anotasi bagi Pembaca Lintas Generasi
Perbedaan masa generasi, menjadikan saya terhenti pada beberapa (banyak) bagian ketika membaca. Berupaya mengerti apa maksud dari frasa atau kata yang ditulis.
Asyiknya, ada halaman anotasi pada bagian belakang buku. Tentunya, sangat membantu memahami konteks kata atau istilah. Jadilah saya, pembaca lintas generasi, menikmati cerpen sembari membuka-buka halaman anotasi. Seru!
- Evening in Hongkong: merk minyak rambut
- Soir de Paris, cap duyung: merk minyak wangi
- Jawa CZ: merk motor buatan Cekoslowakia.
- B.M: Berita Minggu, koran mingguan yang populer pada tahun 1950-1960an
- Se-beset: CBZ (Centrale Buurgerlijk Zieken-Inrichting), sekarang RS. Cipto Mangunkusumo
- Kapitol (Capitol): nama bioskop, letaknya di dekat Masjid Istiqlal
- Tongkangan, daerah di wilayah Kota yang menjadi tempat bermulanya diadakan acara Pasar Malam tahun baru Imlek
- Tangsi jaga monyet: markas tentara di Harmoni/Jl Suryopranoto, kini tak ada lagi
- Gang Kingkit: Jalan Juanda, Pecenongan
- Gang Perpili: ucapan Betawi untuk Laan Triveli, kini Jalan Tanah Abang II
- Tanjidor: rombongan musik dengan trompet, tambur besar, dan sebagainya
- Tengah hari bengkak: tengah hari sedang panas-panasnya
- Jaman kude gigit besi: zaman “tempo doeloe”
- Jengki (celana): celana yang sempit kakinya, seperti yang dipakai oleh koboi Amerika
- Uang penegor: uang yang diberikan suami kepada istrinya (pasangan pengantin baru) supaya sang istri mau menjawab tegurannya.
- Ce-nie-ce-pay: setahun sekali
- Rebowes: surat izin mengendarai (SIM)
Kembali ke Masa Lalu
Bagi pecinta jadulan seperti saya, buku ini bisa menjadi alternatif bahan bacaan yang menghadirkan nuansa tempo dulu yang kental. Nuansa tahun ’50-an hingga ’60.
Saya seolah turut naik trem menyusur jalanan ibukota. Nah, asyik, karena saya belum lahir saat zaman trem ada di Jakarta ini.
Trem adalah moda transportasi massal andalan yang bergerak pelan di atas jalur rel di jalan raya. Trem beroperasi tahun 1869-1882 (trem kuda), digantikan trem uap (mulai Th.1883), trem listrik (mulai Th. 1899), hingga Th. 1962 jalur trem di Jakarta dinonaktifkan.
Secuplik percakapan pada cerpen berjudul Tanah Abang-Pasar Ikan:
“Neng! Neng-neng..!” Trem membelah Jalan Majapahit. Tiba-tiba kondektur berseru:
“Sudare-sudare, jangan pada berdiri di tangge. Ayo masuk terus!” Orang-orang bergerak sedikit, “Coba kalo jato siape nyang rasain?”
“Karcis, ayo, karcis siape nyang belon?” beberapa penumpang menyodorkan uang,
“Pak!” kata seorang Babah, “Uang sudah, karcis belom dapet!” – “Kemane?” – “Mangga Besar!” – Karcis dirobek dan diberikan padanya: “Nih!”
Bukan hanya trem (kereta), kendaraan angkutan berupa mobil “oplet” juga hits pada masa itu. Oplet --seperti yang ditampilkan pada sinetron “Si Doel Anak Sekolahan”-- merupakan moda transportasi yang juga menjadi andalan masyarakat.
Pada judul lain, saya seolah larut dalam semangat dan gempita warga di rumah-rumah jelang perayaan. Perayaan Imlek, Cap Go Meh, Ramadan, dan Lebaran. Pun dalam format humor, momen syahdu bisa terasa.
Rasanya saya turut berdandan necis untuk bersiap. Menyetrika baju sampai licin menggunakan botol berisi air panas. Saat lonceng waktu berbunyi lima kali, sudah rapi dan keren seperti orang mau pergi dipotret.
Sebagai penyuka jalan-jalan pasar, saya turut merasakan riuhnya suasana pasar malam. Melangkahkan kaki melalui deretan panjang pedagang kaki lima yang membaurkan Soir de Paris, 4711, Evening in Hongkong, dan Cap Duyung. Bercampur keringat, serta merta menciptakan udara yang tak jelas “juntrungan” aromanya.
Ada pemuda bercelana jengki, menemani sang kekasih dan calon mertua ke pasar Jembatan Jalan Gajah Mada. Pan ceritanye nih, sang calon mantu ini pengen nunjukkin jase baeknye. Jadilah mereka pilah-pilih kerudung, sepatu, kacamate, dan rok yang ada rumbe-rumbenye dan ade pite-pitenye untuk sang kekasih.
Bagaimana dengan kuliner? Wah, dari sayur asem, sambel ulek, semur, pindang, bandeng dan kue keranjang, pangsit, capcay, sop buntut, es krim, buah lakci, beras kencur, sampai-sampai.. siri ame bakonye* juga ade!
(*daun sirih, tembakau, pinang, dan gambir, merupakan bahan yang biasa dipakai untuk menginang. Caranya, semua bahan diletakkan di atas lembar daun sirih yang kemudian dilipat-lipat. Biasanya, penginang akan menumbuknya terlebih dahulu dalam wadah khusus. Namun bisa juga langsung dikunyah begitu saja. Mau coba??? ... Gigi dan mulut akan diliputi warna merah tua loh, efek pencampuran kimiawi antara bahan-bahan dengan saliva)
Cerpen-cerpen pada buku ini, membawa saya seolah masuk dan berada di antara keluarga dan masyarakat Betawi. Turut menyimak percakapan demi percakapan. Dari sapaan ringan saat berpapasan di gang, sampai obrolan serius di bilik sederhana atau serambi rumah.
Misalnya, ketika mereka menyiapkan pelangke bagi sang kakak pada hari jelang akad nikah sang adik. Saat merencanakan acara nujubulanan kandungan, uang penegor, dan bawaan bandeng sepasang untuk calon mertua.
Banyak pesan-pesan khas orang tua kepada anak-anaknya. Nasihat sebagai bentuk cinta, dari orang tua yang menginginkan anak-anaknya menjalani kehidupan dan memiliki masa depan lebih baik.
Beberapa cerpen menampilkan interaksi harmonis nan indah masyarakat multietnis. Misalnya pada cerpen berjudul “Cap Gow Meh” yang menceritakan suasana malam jelang perayaan Cap Gow Meh di Senen. Juga pada cerpen berjudul "Guah..Tu", di mana delapan orang penumpang bercakap seru, dalam perjalanan oplet dari Tanah Abang menuju Kebayoran Lama.
Humor dan Kritik Sosial
Humor bukan sekadar humor. Tatkala disajikan oleh seorang yang intuitif, kritis, adaptif, memiliki kecintaan dan dedikasi, serta menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik.
Firman Muntaco memiliki penguasaan luar biasa terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di kehidupan keseharian. Baik itu bermasyarakat maupun bernegara. Multisektor menjadi bahasannya. Ekonomi, keuangan, politik, kesehatan, teknologi, pariwisata juga kebudayaan.
Keresahan yang ditangkapnya, pada kondisi, pada pergeseran budaya di kalangan muda-mudi, pada ketidakadilan, adanya kesenjangan, inkonsistensi oknum aparat, dituangkan melalui tulisan berupa cerita pendek.
Dan humor ia gunakan sebagai media penyampai pesan yang efektif.
Dengan bahasa sederhana, humor bisa dipahami dan diterima dengan mudah oleh pembaca. Secara luas bahkan di berbagai lapisan masyarakat.
Tokoh-tokoh ceritanya benar-benar orang kecil, yang perasaan, pikiran, sikap dan kecenderungannya bukan priyayi tetapi Firman Muntaco mampu menyampaikannya dalam genre sastra yang paling sulit, yakni humor. (Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono)
Firman Muntaco dan Konsistensi Menulis
Firman Muntaco menulis secara teratur semasa hidupnya. Karya cerpennya banyak dimuat di berbagai surat kabar yang populer pada masa itu. Sebagian dimuat di surat kabar Berita Minggu, pada kolom Tjermin Djakarte, yang kemudian menjadi Gambang Djakarte.
Semasa hidup, dalam salah satu seminar di Universitas Indonesia, ia menyampaikan bahwa ia mencintai kehidupan masyarakat sederhana di sekitarnya. Yakni masyarakat perkampungan, terutama pribumi asli yang disebut orang Betawi.
Ia menangkap ide dari hal-hal yang dekat. Kejadian sehari-hari, kisah seputar kehidupan yang banyak dialami masyarakat Betawi pada umumnya. Kemudian ia munculkan dalam bentuk tulisan yang bersifat menghibur, informatif, edukatif, sekaligus menyampaikan pesan positif.
Firman Muntaco terus menulis, bahkan ketika kesehatannya sedang tak baik. Ia terus berkarya walau apresiasi yang diterima tak seperti sebelumnya.
Menjelang masa akhir hidupnya, Firman Muntaco sedang menyusun autobiografi. Ia juga mengumpulkan cerpen hasil karyanya yang mencapai 5000 cerpen.
Meski karyanya ribuan, tak semua masih bisa dinikmati luas hingga hari ini. Hanya sekitar 500 cerpen yang bisa dikumpulkan dan diselamatkan oleh Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Penutup
Buku Gambang Jakarte merupakan cermin kecintaan luar biasa dari sang sastrawan, Firman Muntaco, pada Betawi dan seluruh aspeknya.
Kumpulan karya cerita pendeknya, dapat menghantarkan pembaca kepada keseharian kehidupan masyarakat Betawi. Dapat membawa pembaca menyelami karakter, budaya dan nilai kebaikan yang dianut masyarakat Betawi pada masa cerpen itu ditulis.
Pembaca bisa pula merasakan sedang berwisata. Berkeliling Jakarta tempo dulu, dengan situasi yang sedang happening pada masa itu.
Sekian, terima kasih.
Salam hangat.
Sumber informasi:
- Buku Gambang Jakarte
- Wikipedia
- Kumparan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI