Firman Muntaco menyadari betul bahwa tulisannya memiliki kekuatan. Ia menggunakan sebagai media untuk menebarkan ide dan menyampaikan pesan.
Hal-hal yang pada masa itu sedang happening, bersifat penting dan mendesak, tak luput ditulisnya. Seperti: kebijakan pemerintah yang mengharuskan warga negara memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), sebagai identitas yang diakui dan dicatat oleh negara.
Wisata Kota Jakarta
Membaca buku ini rasanya seperti sedang berwisata. Firman Muntaco bak memetakan kota Jakarta dan sekitarnya. Mengajak pembaca berkeliling kota, menikmati ikon-ikon populer pada masanya.
Dari ruang publik, tempat bersejarah, gedung-gedung, taman rekreasi, nama kawasan, nama jalan, hingga bioskop lawas.
Tergambar suasana Tanjung Priok di Jakarta Utara sampai Kebun Raya yang terletak di Bogor. Dari lapangan Petamburan di sisi barat Jakarta, sampai Kampung Melayu di sisi timur Jakarta.
Budaya yang berupa tradisi, kesenian, gaya busana dan kuliner khas juga hadir melengkapi. Termasuk nama tokoh serta artis tenar dalam negeri maupun luar negeri.
Firman Muntaco adalah “Duta Budaya Jakarta” yang sejati. Melalui karya-karyanya seperti Gambang Jakarte kita dapat berkenalan dan memahami bahkan mencintai Jakarta dengan kekhasan kehidupan tradisi penduduk aslinya, kaum Betawi. (Dr. Ing. Fauzi Bowo)
Anotasi bagi Pembaca Lintas Generasi
Perbedaan masa generasi, menjadikan saya terhenti pada beberapa (banyak) bagian ketika membaca. Berupaya mengerti apa maksud dari frasa atau kata yang ditulis.
Asyiknya, ada halaman anotasi pada bagian belakang buku. Tentunya, sangat membantu memahami konteks kata atau istilah. Jadilah saya, pembaca lintas generasi, menikmati cerpen sembari membuka-buka halaman anotasi. Seru!
- Evening in Hongkong: merk minyak rambut
- Soir de Paris, cap duyung: merk minyak wangi
- Jawa CZ: merk motor buatan Cekoslowakia.
- B.M: Berita Minggu, koran mingguan yang populer pada tahun 1950-1960an
- Se-beset: CBZ (Centrale Buurgerlijk Zieken-Inrichting), sekarang RS. Cipto Mangunkusumo
- Kapitol (Capitol): nama bioskop, letaknya di dekat Masjid Istiqlal
- Tongkangan, daerah di wilayah Kota yang menjadi tempat bermulanya diadakan acara Pasar Malam tahun baru Imlek
- Tangsi jaga monyet: markas tentara di Harmoni/Jl Suryopranoto, kini tak ada lagi
- Gang Kingkit: Jalan Juanda, Pecenongan
- Gang Perpili: ucapan Betawi untuk Laan Triveli, kini Jalan Tanah Abang II
- Tanjidor: rombongan musik dengan trompet, tambur besar, dan sebagainya
- Tengah hari bengkak: tengah hari sedang panas-panasnya
- Jaman kude gigit besi: zaman “tempo doeloe”
- Jengki (celana): celana yang sempit kakinya, seperti yang dipakai oleh koboi Amerika
- Uang penegor: uang yang diberikan suami kepada istrinya (pasangan pengantin baru) supaya sang istri mau menjawab tegurannya.
- Ce-nie-ce-pay: setahun sekali
- Rebowes: surat izin mengendarai (SIM)
Kembali ke Masa Lalu
Bagi pecinta jadulan seperti saya, buku ini bisa menjadi alternatif bahan bacaan yang menghadirkan nuansa tempo dulu yang kental. Nuansa tahun ’50-an hingga ’60.
Saya seolah turut naik trem menyusur jalanan ibukota. Nah, asyik, karena saya belum lahir saat zaman trem ada di Jakarta ini.
Trem adalah moda transportasi massal andalan yang bergerak pelan di atas jalur rel di jalan raya. Trem beroperasi tahun 1869-1882 (trem kuda), digantikan trem uap (mulai Th.1883), trem listrik (mulai Th. 1899), hingga Th. 1962 jalur trem di Jakarta dinonaktifkan.